“Selamat pagi, Nona Starla.”
Adrie menyapa Starla yang baru masuk ke ruang makan. Dengan rambut tergerai acak-acakan, Starla menyeret kursi untuk duduk. Ia menguap dan menggelengkan kepala, menghalau rasa kantuk yang masih menerpa.
“Hai, Adrie,” sapa Starla sekenanya. Ia melirik pada menu sarapan yang tersedia di atas meja. Ayam goreng crispy, steik daging sapi, kimchi, dan salad sayur. Sungguh perpaduan yang sangat aneh.
“Kenapa? Apa kau tidak berselera? Kau ingin aku memasakkan sesuatu yang lain?” tawar Adrie ketika melihat Starla tidak juga menyentuh makanan di meja.
Starla menggeleng cepat, kemudian meraih piring berisi nasi. “Tidak, ini sudah lebih dari cukup,” jawab Starla sambil tersenyum. “Aku hanya masih sedikit mengantuk.”
“Jam berapa kau ti
Sinar matahari yang masuk menembus kaca balkon membuat Starla mau tak mau membuka mata. Mengerjab pelan, Starla merasa denyutan luar biasa di kepala, membuat ia meringis sejenak.Starla beringsut bangun sepelan mungkin hanya untuk terdiam lama. Kelopak matanya masih terlalu berat untuk ia buka secara sempurna.Hingga sebuah bayangan tentang tadi malam—tentang kehadiran Erik— tiba-tiba hadir. Kedua bola mata Starla pun melebar dan refleks menoleh ke samping, namun langsung dihadapkan oleh sebuah kenyataan pahit.Tidak ada siapapun di sana.Tidak ada Erik.Mengusap wajah, Starla mulai menata hati kembali. Seperti hari-hari selama satu bulan ini, menekan semua kerinduan yang sudah amat dalam merasuk dalam dada
"Berhenti di sana, Slave!"Starla baru saja keluar dari kamar mandi —untuk membersihkan badan— saat mendengar satu kalimat perintah tersebut. Refleks saja, Starla diam di tempat, tepat di depan kamar mandi dan hanya berbalut dengan bathrobe.Sementara itu, Erik yang duduk di atas ranjang, menyeringai. Puas karena Starla menerima perintahnya dengan baik."Sekarang. Aku ingin kau membuka bathrobe-mu. Be nakèd for your Master."Dulu, berbulan-bulan lamanya di awal-awal hubungan mereka, Starla selalu gugup saat menerima perintah ini. Namun sekarang keadaannya sudah benar-benar berubah. Tanpa rasa ragu sedikit pun, dan dengan kedua sudut bibir yang menahan diri untuk tersenyum, Starla meraih tali bathrobe dan langsung menariknya lepas. Membiarkan benda tersebut meluncur bebas di atas lantai."Good!" suara Erik. "Dan merangkaklah kemari."Glek!Starla meneguk saliva kasar, menerka-nerka
Seumur hidup Starla, mungkin ini adalah hal paling liar yang pernah ia rasa dan lakukan. Ia harus berkeliling rumah dalam keadaan telanjang^ bulat, dalam keadaan merangkak dan dengan butt plug berbentuk ekor mengganjal di lubang pantannya*. Setiap kali Starla bergerak, bulu-bulu tersebut menggesek intinya, membuat gairah Starla semakin lama semakin meninggi.Erik ada bersamanya, menarik Starla dengan collar. Sesekali mengelus rambut Starla dan menyuruh Starla duduk ketika ia berhenti. Tak lupa memberikan kecupan-kecupan ringan di dahi.“Bagus, sangat bagus,” kata Erik. Mengambil tempat duduk di sofa dengan nyaman.Kini mereka sudah ada di lantai satu, tepatnya berada di ruang tengah. Erik mengelus rambut Starla lagi yang kini masih dalam keadaan merangkak di antara kedua kakinya.“Apa kau tau seberapa menggodanya kau saat ini, Starla?” bisik Erik tepat di depan wajah Starla. Lalu ia mendaratkan ciuman di bibir Sta
Erik membawa Starla berdiri di tengah ruang. Memberinya ciuman panjang sebelum ia mengikat kedua tangan Starla ke atas, menggantung di langit-langit. Selama proses ia membenahi tali di tangan Starla, ia menggoda gadis itu dengan ciuman-ciuman kecil di telinga. Membisikkan sesuatu tentang ‘meledak belasan kali dan mungkin akan membuatmu tidak bisa berdiri besok’. Sebagai jawaban, Starla hanya tersenyum lebar. Jantungnya berdebar karena menantikan hal tersebut.Selesai dengan kedua tangan, yang mana Erik membuat Starla berjinjit karena ia menarik tali tersebut lebih tinggi dari tinggi badan Starla, Erik memutar tubuh Starla. Sangat mudah karena telapak kaki Starla tidak sepenuhnya berpijak di atas lantai.“Kau sangat sempurna,” bisik Erik. Lagi-lagi mencium bibir Starla.
Part ini bakal hareudang banget, jadi penulis mohon dengan bijak, siapkan es lilin untuk mengompres kepala.Happy membaca ~***Nampaknya, mengikat wanita sebelum menyetubuhinya* merupakan ritual wajib yang harus dilakukan oleh Erik.Starla pikir, Erik hanya butuh mengikat dua tangannya ke teralis besi kepala ranjang, tapi dugaannya salah. Erik mengikat kakinya juga dengan cara menekuk lutut Starla, mengikat paha dan betis menjadi satu. Sebelum ia melilitkan tali panjang yang lain ke kepala ranjang. Membuat lagi-lagi inti Starla terekspos secara nyata.Dengan ikatan seperti itu jelas, ia tidak bisa meluruskan kaki, bahkan menggerakkannya pun susah. Starla hanya mampu sedikit menggeliatkan badan yang terbaring di atas kasur.Erik mengambil sebuah
“Ke mana kau akan pergi?”Erik bertanya dengan dahi berkerut dalam ketika Starla menuruni tangga. Langkahnya tegas dan anggun, sangat berbeda dengan pakaian yang ia kenakan saat ini. Kaus kebesaran berlengan pendek dengan celana jins setengah paha menampilkan kaki jenjang Starla yang sangat mulus tanpa cacat.“Pergi dengan Jia Li. Ini hari terakhirnya berada di negara ini,” jawab Starla, berdiri tepat di depan Erik. Rambutnya yang dicepol sebagai fashion pelengkap membuat Erik semakin terganggu.“Dengan penampilan seperti ini?” Erik meraih pinggang Starla menempel padanya. Tangan Erik bergerak mengelus leher putih Starla, membuat gadis itu refleks memejamkan mata.Sepulang dari Amerika dulu, Erik memang tidak seposesif sebelumnya.Jika di hari-hari yang lalu ia selalu mem
“Erik! K-kenapa kau ada di sini?” Starla bertanya sedikit terbata. Erik tidak menjawab, hanya langsung menarik tangan Starla untuk berdiri, kemudian melepas jas yang ia pakai untuk ia sampirkan ke bahu Starla. “Tutupi tubuhmu,” perintah Erik setengah berbisik, lalu menatap tiga sosok manusia di depannya. “Maaf, Tuan-tuan dan Nona Li. Tapi matahari sebentar lagi akan terbenam. Jadi aku perlu membawa kekasihku pergi sebelum ia mati kedinginan terkena angin pantai,” senyum Erik yang tidak sampai pada mata. Ia meraih tangan Starla lagi dan berbalik. “Ayo!” “T-t-tunggu!” Starla mencoba mengelak, menarik tangan dari Erik tapi pria itu sama sekali acuh. Tetap menyeret Starla untuk ikut dengannya. “Jia, aku minta maaf!” seru Starla penuh penyesalan. Sementara Jia Li yang sudah berdiri hanya sanggup melambaikan tangan. Setengah merasa bersalah, setengah merasa geli. Dunia mungkin belum tau jika seorang Erik Jensen bisa begitu posesif pada perem
Starla terbangun saat ia mendengar denting piano berbunyi. Ia beringsut duduk dan mendengarkan dengan seksama melodi indah tersebut masuk ke dalam indera pendengaran. Tak perlu menebak siapa yang tengah memainkannya sebab sudah pasti itu adalah Erik.Mengambil sebuah dress—yang entah milik siapa karena Starla juga terkejut di dalam almari banyak sekali pakaian wanita—Starla keluar dari kamar.Ia tidak langsung menyapa Erik ketika sampai ambang lorong. Hanya berdiri bersandar di tembok, mengamati sosok Erik di bawah sinar rembulan yang menembus kaca jendela. Pria itu tengah memejamkan mata, larut dalam permainan piano yang ia mainkan.Saat sampai pada puncak lagu, ekspresi Erik menunjukkan kepedihan, seiring dengan menyayatnya lagu yang dibawakan. Membuat Starla tanpa sadar ikut berkaca-kaca. Sungguh, melodi itu mampu membuat hati Starla tergerak hingga merasakan apapun yang sang pemain rasakan saat ini.Berjalan menuju Erik, Starla memeluk pun
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan