Posisi Starla diubah Erik dengan cepat. Pria berambut cokelat tersebut membawa Starla ke atas meja lain yang berukuran lebih kecil.
Erik mengikat tubuh Starla dengan tali temali. Bagian perut, melingkar ke area payu-dara dan sampai ke leher Starla. Kedua kaki Starla pun tak luput dari ikatan-ikatan tali Erik, mulai dari paha dan tepat di selakangan gadis itu. Melingkar secara sempurna. Tujuan Erik adalah agar ia lebih mudah mengikatkan tali-tali lain, untuk menahan bobot tubuh Starla ketika ia harus membuat wanita itu menggantung di udara.
Kini Starla dalam posisi berlutut. Dan Erik memaksa Starla membungkuk 90 derajat ke depan. Kedua tangan Starla diikat ke belakang, menyatu dengan tali-tali yang saling terkait ke tubuh dan ia gantung di langit-langit. Rambutnya pun telah diikat menjadi satu ke belakang oleh Erik agar tidak mengganggu.
“So perfect!” puji Erik, menampar bo-kong Starla yang nampak bulat secara penuh dalam posisi ini. Warna me
Starla baru saja selesai memoles make-up tipis di wajah. Ia mengecek penampilannya kembali di depan cermin sebelum meraih sebuah tas selempang simple yang sudah ia letakkan di atas kasur dari ruang ganti tadi.Menuruni tangga, Starla tersenyum saat menemukan Erik sudah berdiri di bawah. Mendongak dan melemparkan senyum yang sama."Kau terlihat sangat cantik," puji Erik seperti hari-hari biasa yang membuat Starla semakin tersenyum lebar. Ia memejamkan mata ketika Erik meraih pinggangnya untuk mendaratkan kecupan di dahi dan bibir Starla. "Dan sepertinya kau memiliki rencana yang menyenangkan," tambah Erik dengan sebelah alis terangkat naik.Starla mengangguk membenarkan. "Mau ikut?"Erik tertawa. "Tidak sekarang,sweety.Aku punya pertemuan penting dengan para pemegang saham," jawab Erik.Memperhatikan penampilan Starla dari atas hingga bawah, lalu mengelus rambut hitam Starla yang ia biarkan terurai. "Hati-hati di jalan. Aku bera
Seorang pria yang memakai pakaian serba hitam, masuk ke dalam sebuah bar yang cukup ramai oleh pengunjung. Menenteng sebuah tas kerja berwarna hitam, ia menyapu pandangan sekitar. Pria itu menyeringai kecil ketika menemukan sosok wanita yang ia cari. Sedang duduk di sudut ruangan dengan kaca mata hitam bertengger di hidung.Tangan kanan perempuan yang dipoles indah dengan kutek berwarna merah itu memegang sebuah puntung rokok di mulut, sebelum ia menghembuskannya di udara. Membentuk kepulan asap berwarna putih.“Aku pikir kau pernah berjanji untuk tidak merokok lagi.” Pria itu berkata setelah sampai di meja perempuan itu. Mengambil tempat duduk seberang.Menyentakkan kepala ke depan, si perempuan tersenyum miring. “Aku memang sudah berjanji untuk tidak merokok lagi. Dan aku hanya melanggar janji itu sekali ini,” u
Erik sedang menekuri berkas-berkas di meja ketika pintu ruangannya terbuka. Tanpa melihat ke depan, ia berkata, “Sudah kubilang aku tidak ingin minum kopi, Becca. Oh sekalian bawakan hasil pertemuan dengan pihak UNI TV kemarin lusa.”Becca tidak menjawab, dan Erik pikir sekretarisnya itu telah pergi melaksanakan perintahnya. Akan tetapi ia mengernyit tatkala merasakan adanya kehadiran seseorang. Ia pun mendongak.“Hai.”Itu adalah Amy. Memasang senyum lebar di wajah ayu-nya yang terpoles make-up dengan sempurna.“Apa kabar Erik?” tanya Amy. Tanpa permisi menarik kursi di seberang Erik. Ia pun memutar-mutar kursi tersebut, mengamati ruang kerja Erik yang didominasi warna abu-abu.Erik mengabaikan Amy. Ia kembali menunduk untuk mengecek berkas-berkasnya. Sampai suara Amy terdengar kembali.“Aku datang ke sini karena aku
Hari ini Xander tidak dapat menemaninya dalam waktu lama. Ia bilang ada urusan yang harus diselesaikan dan Starla sekalipun tidak penasaran tentang apa itu. Dunia mafia yang tengah dijalani seorang Xander cukup menjelaskan semua. Starla tidak akan mau masuk lebih dalam.Baru saja Starla hendak beranjak dari kursi, ia dikejutkan dengan kehadiran Isaac.“Hai, beautiful! Kita bertemu lagi.” Isaac memasang senyum. Jenis senyum yang cukup mampu membuat para gadis terpaku barang beberapa detik.Tidak seperti sebelum-sebelumnya di mana Starla selalu bertemu Isaac dengan pakaian formal pria itu—kemeja, rompi dan jas—kali ini Isaac memakai pakaian kasual. Kaus polo berwarna putih dan celana jeans warna biru.Rambut hitamnya ia sisir rapi ke belakang. Nampak mengkilat karena penggunaan gel rambu
Seumur-umur, baru kali ini Amy dihina sedemikian rupa oleh seseorang.Awalnya ia tidak ingin mengambil pusing. Amy adalah sosok wanita yang memiliki kemauan kuat. Apapun yang dia mau, dia cenderung akan mendapatkannya entah bagaimana pun caranya.Erik baru saja melukai ego Amy. Pria itu mencekiknya dua kali dan terus mengatakan kalimat-kalimat penghinaan.Murahan, katanya?Tch! Amy mencengkeram sebuah foto yang tergeletak di atas meja. Hatinya mendidih melihat gambar yang diambil oleh Dan di mana Erik nampak tersenyum bahagia dengan Starla. Gadis yang dia beli dengan sejumlah uang.Mengepalkan tangan, mata Amy berkilat marah. Iris mata birunya menyiratkan dendam yang begitu besar. Akan tetapi, mulut yang tersungging senyum miring menggambarkan kelicikan.“Lihat saja, Erik. Akan aku buat matamu terbuka. Ja-lang ini tidak pantas berada di sisimu. Sebaliknya, akulah yang pantas bersamamu.” Amy meremas seluruh bagian foto, membentuknya seperti bola kecil tidak berharga. Lalu melemparnya
Sejak Erik mengajak Starla untuk tinggal di mansion, pria itu pun melakukan apa yang ia ingin. Tanpa mengambil satu benda pun dari rumah yang dulu ditinggali oleh Starla, Erik mengisi kamar Starla—yang terletak tepat di samping kamar Erik—penuh dengan barang-barang baru. Seluruh pakaian pun Erik sendiri yang memilih, sama sekali tidak meminta pendapat Starla dalam hal ini.“Kau tau, terkadang aku ingin memakai celana juga.”Erik menyeringai. “Tapi kau tau aku tidak menyukainya. Karena jika kau memakai celana,” tangan Erik mengelus paha Starla, menyingkap rok wanita itu sedikit ke atas. “Aku tidak akan bisa sebebas ini menyentuhmu.”Wajah Starla memerah. Ia berdehem lalu sedikit menjauhkan tubuh agar Erik tidak melanjutkan aksinya. Starla sangat tau jika ia membiarkan, maka mereka akan berakhir dengan bercin-ta lagi. Meski sebenarnya ia tidak keberatan, tapi ini bukan saat yang tepat. Tidak ketika Erik sudah rapi de
"Apa kau baik-baik saja, Nona?" Groot bertanya setelah menghampiri Starla. Tetap menunjukkan wajah datar meskipun ia melihat Starla tengah mengusap air mata.Starla mengangguk. Kemudian berdiri. Menatap Groot dengan mata merah yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kau sudah selesai makan siang?" Suara Starla terdengar tercekat di tenggorokan. Tanda jika ia tengah menahan diri agar tidak menangis di depan Groot."Ya.""Bisa kita pulang sekarang?"Alih-alih langsung menurut, Groot justru bertanya, "Apa wanita berambut merah tadi menyakitimu?""Tidak," geleng Starla. "Ayo pulang!" ajaknya meninggalkan meja.Groot sempat melirik mie cup milik Starla dan baru kali ini wanita itu tidak menghabiskannya. Berbalik, Groot pun masuk ke dalam mobil untuk mengantar Starla pulang ke rumah.Selama perjalanan, Starla membuang muka ke jendela. Memikirkan kembali kalimat-kalimat pernyataan Amy yang membuat hatinya sakit. Sampai air mata bening kembali berja
Isaac baru saja keluar dari sebuah kelab malam setelah bertemu dengan klien-nya. Mengambil sepuntung rokok dan menyalakannya, Isaac berjalan menyusuri gang-gang kecil yang sudah cukup gelap. Maklum saja, sebentar lagi musim dingin datang. Matahari tenggelam lebih cepat dari pada biasanya.Setelah mendapati tempat yang cukup sepi dan dirasa tidak terlalu berisik—pas untuk menenangkan pikiran sambil merokok—Isaac menyandarkan tubuh di sebuah tembok. Asap putih mengepul dari bibir tipisnya.Sreeek ... Blam!Suara pintu mobil yang dibuka dan ditutup membuat kepala Isaac refleks menoleh. Pria itu mengamati beberapa pria turun, membuka pintu tengah dan membopong tubuh seorang wanita yang terkulai lemas.Isaac mendengus kecil.Wanita itu mungkin sedang mabuk berat. Sehingga seluruh teman pria-nya perlu membawanya seperti itu.“Ah, bos! Biarkan aku saja yang—““Diam! Tunggu sampai dia
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan