“Kami sudah mencari tahu hampir di seluruh kota dan desa namun sama sekali tidak ada yang pernah menjumpai Nona Starla.” Seorang detektif melapor pada Erik. Ia menyerahkan beberapa dokumen perjalanannya di atas meja.
“Dan terkait Isaac Wol. Aku rasa dia tidak ada hubungannya dengan menghilangnya Nona Starla.”
“Apa maksudmu?”
“Sebelum Nona Starla menghilang dari mansion ini, aku telah mencari tahu di mana keberadaan sepupu anda. Dan aku menemukan fakta bahwa ternyata tiga hari sebelum Nona Starla hilang, Isaac telah meninggalkan negara ini untuk terbang ke Malaysia. Hingga sampai saat ini, dia masih ada di sana. Nampaknya dia sedang melakukan misi penting dengan keluarga kerajaan Malaysia.”
Detektif itu kini menyodorkan beberapa foto Isaac pada Erik yang diambil dari jarak jauh. D
“Aku tau setelah aku melakukan semua hal ke-jam pada Starla, kau mengutukku setiap hari.” Erik berkata pada Espen. Ia tengah duduk di bangku taman rumah sakit.Setelah mendengar keseluruhan cerita yang lengkap, Erik tidak kuasa lagi membendung perasaan yang kacau balau. Hatinya terkoyak dalam, merasa sakit hati pada perbuatannya sendiri.Kenapa ia begitu bo-doh? Kenapa dengan mudah dia bisa percaya bahwa Starla mengkhianatinya? Terlebih lagi, kenapa tidak pernah sekalipun ia mau mendengarkan Starla?Erik menunduk, mengusap wajah dengan mata yang memerah. Hasil dari menahan tangis sekaligus sakit hati yang dalam.“Jadi, wajar saja kau tidak mau mengatakan di mana Starla sebenarnya,” lanjut Erik.Espen yang duduk di sebelah hanya diam. Menunggu. Ia tau Erik akan membuat pengakuan dosa yang lain
“Sekarang, apakah aku boleh pergi?” Ambroos bertanya pada Espen setelah memberitahu semua yang ia tahu.Espen mengangguk sambil tersenyum kaku. “Tentu saja,” ujarnya lalu melepas ikatan tali Ambroos.Tak basa-basi lagi, Ambroos segera keluar dari ruang interogasi keamanan. Senyum kemenangan pun terukir di bibir. Namun, saat ia baru membuka pintu, ada dua bodyguard Isaac yang menjaga Espen menghalangi.Mereka mengangguk pada Espen dan langsung mencekal kedua lengan Ambroos.“Apa-apaan kalian?!” seru Ambroos berusaha memberontak. Sia-sia, tubuhnya diseret masuk kembali ke dalam ruang interogasi.“Kau sudah berjanji untuk melepaskanku!” tuntutnya pada Espen.“Aku sudah melepaskanmu!” jawab Espen dengan nada enteng. Ia melangkahkan kaki kelu
Amy meringkuk ketakutan melihat di depan mata para pria berbaju hitam memukuli Dan tanpa ampun. Meski hidung dan mulut Dan sudah penuh dengan darah, mata membengkak biru dan dua gigi depannya sudah rontok, mereka tetap saja menganiaya Dan.BUGH BUGH BUAK BRAK!Amy menjerit saat sebuah kursi dilayangkan ke tubuh Dan. Membuat pria itu langsung pingsan di tempat. Memejamkan mata, Amy mulai menangis. Apakah nasibnya akan sama seperti Dan? Wanita itu menutup dua telinganya sebab sangat ketakutan.Tapi itu tidak terjadi, karena para bodyguard itu langsung meninggalkan ruangan setelah membuat Dan tidak sadarkan diri.“D-Dan?” panggil Amy. Ia mendekat dan menatap ngeri pada wajah Dansel. Muka Dan yang dulu cukup tampan kini nampak mengenaskan sekali. Bahkan sudah sedikit sulit dikenali sebab bengkak di sana-sini.“Dan ... bangun ...,” isak Amy. Dan tidak boleh tewas, sebab kalau Dan tewas Amy takut tidak akan memiliki teman di ruang
Wajah Amy memucat, sangat shock luar biasa saat mendengar seorang pria berbicara di atas panggung bahwa mereka mempunyai dua bu-dak baru yang bebas bisa digunakan oleh siapa saja. Saat semua mata melihat ke arahnya, keringat dingin keluar dari tubuh Amy. Kakinya gemetar karena rasa takut yang luar biasa.“Naik ke panggung, bitch! Biarkan kami melihat tubuh kalian berdua!” teriak salah satu pria. Yang disahuti seruan setuju dari orang-orang.“C’mon! Jangan biarkan kami menunggu!”“Cepat! Bawa mereka ke panggung! Hahahaha!”Tidak hanya Amy, wajah Dan juga teramat pucat. Perutnya mendadak mual melihat beberapa pria menatap penuh nafsu padanya.Dan berbalik badan, hendak kabur, namun dengan cepat Espen menahan dan mendorongnya ke sekumpulan para pria yang sedari tadi memperhatikan Dan. Dengan tawa keras dan tanpa dosa, mereka menyeret tubuh Dan ke atas panggung setelah merobek-robek pakaian ya
Rasanya menyenangkan.Setelah berbulan-bulan tidak pernah keluar dari dalam apartemen dan sekarang bisa melihat sekaligus merasakan sinar matahari secara langsung.Starla tersenyum, menatap langit dan awan putih di atas sana.“Ayo!” ucap Xander, merangkul Starla untuk berjalan masuk ke dalam mobil yang sudah ia siapkan. Kala mengikuti dari belakang.Hari ini adalah hari janji temu dengan Lawrence, seorang dokter kandungan yang biasa mengecek kehamilan Starla. Ketiganya sudah tidak sabar untuk mengintip si jabang bayi yang akhir-akhir ini sangat aktif bergerak dalam perut.“Setelah ini kita akan berbelanja beberapa barang bayi,” ucap Xander. Ia melirik pada Starla yang tak henti-hentinya tersenyum. Membuat hati Xander menghangat.Belum sempat Starla menanggapi, seruan dari kursi belakang terdengar.“Asyiiiiik!!!” teriak Kala kegirangan. “Starla, aku akan menunjukkan padamu toko bayi paling populer di negara ini!”“Oke!” jawab Starla tanpa pikir panjang.Beberapa jam kemudian mereka sam
Erik melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Tak peduli ia melanggar rambu lalu lintas yang sudah merah, tidak peduli ia hampir saja menabrak seorang pejalan kaki yang sedang menyeberang, tak peduli ia telah menyerempet sepeda motor pengantar makanan cepat saji.Untungnya si pengendara tidak menderita luka papun kecuali sepeda body motor yang sedikit baret karena jatuh mencium aspal.Mencengkeram setir, Erik berkendara seperti seorang buronan yang sedang dikejar polisi. Espen yang duduk di sampingnya saja sudah memucat karena merasa nyawanya hendak melayang. Sementara empat bodyguard lain yang menyusul dalam satu mobil di belakang Erik sedikit kesusahan mengimbangi laju kecepatan Erik.10 menit kemudian, mereka sampai di alamat di mana Starla tinggal. Erik keluar dari mobil, naik lift, namun saat sampai tiba di apartemen Starla, hat
“Siapa. Kau?” tanya Erik pada pria tua yang ia temukan. Darah mengucur dari paha dan dia sudah bersandar di tembok. Wajahnya pucat dan berkeringat tanda tengah menahan sakit. “Seharusnya aku yang bertanya siapa kau?” tanya Lion balik dengan nada tidak ramah. Melirik pada para bodyguard yang langsung masuk untuk mengecek sesuatu di dalam. “Tidak ada Nona Starla, Tuan. Tapi kami menemukan ini,” lapor salah satu bodyguard, menunjukkan menunjukkan sebuah bingkai foto di mana terdapat 3 orang di dalamnya. Starla, Xander dan Kala, yang itu berarti Starla memang tinggal di sana. “Tunggu, kalian mencari Starla?” celetuk Lion tiba-tiba setelah mendengar nama yang disebut. Ia mendengus, menatap Erik dengan teliti. “Apakah kau ditipu oleh ja-lang itu?” Mendengar pria asing menyebut Starla d
Barangkali Erik hanya tidur sekitar satu jam saja. Ia bangun, dengan jantung berdetak kencang membersihkan tubuh dan bercukur. Erik bahkan sampai repot-repot memanggil Espen yang masih setengah mengantuk untuk memotongkan rambutnya.“Aku tidak yakin bisa memotongnya dengan baik, Tuan. Akan lebih terjamin jika kau langsung pergi ke salon,” ucap Espen.“Tidak ada waktu untuk ke salon. Cepatlah!” perintah Erik tak sabaran.“Tapi—““Lakukan atau aku akan memecatmu!”Espen menghela napas. Akhirnya ia mengambil gunting yang sudah disediakan dan dengan konsentrasi tinggi mulai memotong rambut Erik yang sudah sepanjang leher. Karena saking seriusnya, dahi Espen sampai berkerut-kerut, bahkan berkeringat. Setidaknya ia tidak ingin mengacaukan penampilan Erik.Se
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan