“Siapa. Kau?” tanya Erik pada pria tua yang ia temukan. Darah mengucur dari paha dan dia sudah bersandar di tembok. Wajahnya pucat dan berkeringat tanda tengah menahan sakit.
“Seharusnya aku yang bertanya siapa kau?” tanya Lion balik dengan nada tidak ramah. Melirik pada para bodyguard yang langsung masuk untuk mengecek sesuatu di dalam.
“Tidak ada Nona Starla, Tuan. Tapi kami menemukan ini,” lapor salah satu bodyguard, menunjukkan menunjukkan sebuah bingkai foto di mana terdapat 3 orang di dalamnya. Starla, Xander dan Kala, yang itu berarti Starla memang tinggal di sana.
“Tunggu, kalian mencari Starla?” celetuk Lion tiba-tiba setelah mendengar nama yang disebut. Ia mendengus, menatap Erik dengan teliti. “Apakah kau ditipu oleh ja-lang itu?”
Mendengar pria asing menyebut Starla d
Barangkali Erik hanya tidur sekitar satu jam saja. Ia bangun, dengan jantung berdetak kencang membersihkan tubuh dan bercukur. Erik bahkan sampai repot-repot memanggil Espen yang masih setengah mengantuk untuk memotongkan rambutnya.“Aku tidak yakin bisa memotongnya dengan baik, Tuan. Akan lebih terjamin jika kau langsung pergi ke salon,” ucap Espen.“Tidak ada waktu untuk ke salon. Cepatlah!” perintah Erik tak sabaran.“Tapi—““Lakukan atau aku akan memecatmu!”Espen menghela napas. Akhirnya ia mengambil gunting yang sudah disediakan dan dengan konsentrasi tinggi mulai memotong rambut Erik yang sudah sepanjang leher. Karena saking seriusnya, dahi Espen sampai berkerut-kerut, bahkan berkeringat. Setidaknya ia tidak ingin mengacaukan penampilan Erik.Se
Hari kedua Erik datang ke mansion Isaac, ia dihadang di pintu gerbang oleh para bodyguard. Menatap seorang dokter yang ia bawa, Erik berbicara pada Isaac melalui panggilan ponsel jika ia ingin setidaknya Clara diijinkan masuk.“Kenapa kau harus repot-repot? Aku sudah memanggilkan dokter untuk Starla. Bawa pulang saja doktermu!” sergah Isaac dari seberang.“Aku ingin memastikan keadaannya sungguh baik-baik saja,” desis Erik tetap ngotot. “Buka gerbangmu atau aku akan menggunakan jalur kekerasan!”Isaac menghela napas dari seberang. Ia menuju kamar Starla dan berbicara pada wanita itu tentang kedatangan Erik. Melalui sebuah tablet, ia menunjukkan CCTV di mana Erik berdiri di depan gerbang bersama dengan Clara.“Kau bisa mengijinkan Clara masuk, tapi tidak dengan Erik,” uca
Seharusnya Starla tau betapa keras kepalanya Erik. Ia tidak akan pergi jika dia tidak ingin dan akan pergi jika dia ingin. Tak peduli ancaman yang dilayangkan Isaac hari ini terdengar amat mengerikan, Erik tetap tidak bergeming dari tempatnya.“Bagaimana ya? Aku sudah muak melihat wajahmu. Jadi mari bermain game. Jika kau bisa mengalahkan 5 bodyguardku ini, aku akan mengijinkanmu masuk ke area mansion. Ingat, hanya di area mansion! Dan itu tidak termasuk untuk bisa masuk ke dalam mansionku untuk menemui Starla. Tapi jika kau kalah, jangankan berdiri di depan gerbang, aku akan menembakmu dari jarak 1 kilometer dari gerbangku. Setuju?”Erik menatap Isaac datar, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut atau ingin mundur. Di tangannya tetap masih memegang sebuket bunga untuk Starla seperti biasa.Karena diam saja, Isaac meng
Seharusnya Starla tau betapa keras kepalanya Erik. Ia tidak akan pergi jika dia tidak ingin dan akan pergi jika dia ingin. Tak peduli ancaman yang dilayangkan Isaac hari ini terdengar amat mengerikan, Erik tetap tidak bergeming dari tempatnya.“Bagaimana ya? Aku sudah muak melihat wajahmu. Jadi mari bermain game. Jika kau bisa mengalahkan 5 bodyguardku ini, aku akan mengijinkanmu masuk ke area mansion. Ingat, hanya di area mansion! Dan itu tidak termasuk untuk bisa masuk ke dalam mansionku untuk menemui Starla. Tapi jika kau kalah, jangankan berdiri di depan gerbang, aku akan menembakmu dari jarak 1 kilometer dari gerbangku. Setuju?”Erik menatap Isaac datar, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut atau ingin mundur. Di tangannya tetap masih memegang sebuket bunga untuk Starla seperti biasa.Karena diam saja, Isaac meng
Starla bangun kesiangan hari ini. Tadi malam ia tidak bisa tidur cepat seperti biasa karena ia terus menerus memikirkan Erik. Sebuah senyum terus terukir di bibir sementara jantungnya terus berdesir hangat. Alhasil, ia pun mengobrol dengan Samantha sampai larut malam.Setelah mandi, Starla keluar dari kamar. Ia ingin mengambil sarapan di dapur dan mengantarkannya ke kamar Erik. Semoga ia tidak terlambat.Namun, baru saja ia masuk ke dapur, langkah kaki Starla jadi melambat melihat siluet sosok pria dalam balutan kemeja. Mengernyit, Starla mulai bersuara.“Erik?”Yang dipanggil menoleh. Dengan mata sebelah yang masih membengkak dan wajah babak belur, Erik memasang senyum hangatnya.“Hai, kau sudah bangun?” ujarnya dari balik pantries.“Apa yang sedang kau lakukan?”
Dua orang pria dengan iris mata berbeda itu saling berdiri berhadapan, mengawasi satu sama lain dengan tajam. Meski yang satu nampak segar dan yang satu lagi nampak babak belur tapi itu tidak mengurangi intensitas ketegangan yang terjadi di antara mereka.“Di mana dia?” Xander berkata dengan nada tajam menusuk. Tidak perlu repot-repot baginya untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Erik.“Dia siapa?”“Kau tau siapa yang kumaksud.”Erik tersenyum miring. Melipat dua tangan di depan dada. “Starla? Tenang saja, dia aman bersamaku.”Rahang Xander mengetat. Mendengar kata Starla disebut membuat hatinya bergemuruh.Jika saja ia tidak ceroboh meninggalkan Starla sedangkan ia tahu saat itu Lion sedang ada di Belanda, pastilah kejadian mengerikan itu tidak akan
“Ingat, jangan terlalu banyak melakukan aktivitas melelahkan hari ini,” ucap Erik pada Starla. Mereka berdua menuju pintu keluar di mana Erik tangah memeluk pinggang Starla dengan hati-hati.“Kenapa?” tanya Starla dengan nada polos.“Malam ini kita akan pergi ke mansion orang tuaku, ingat? Kita sudah membicarakan ini.”“M-malam ini?” cicit Starla setengah shock. Ia pikir Erik akan mengajaknya nanti beberapa hari lagi atau setidaknya tunggu sampai Starla siap. Namun nampaknya pria itu sudah sangat tidak sabar untuk mengenalkan Starla pada ayah dan ibunya.“Ya,” konfirmasi Erik dengan senyum di bibir. Ia tau Starla masih tidak siap tapi ia tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Lebih cepat lebih baik.“Jadi, persiapkan dirimu.” Menunduk, Erik mencium bibir Starla, berikut dengan kecupan singkat di dahi. Erik juga sempat mengelus perut Starla dan mencium si jabang bay
Para dokter membawa Starla ke ruang persalinan. Sementara ketika mereka berlarian menyusuri koridor, tangan Erik terus menggenggam tangan Starla, ia terus mengatakan pada Starla untuk bertahan dan bahwa ia akan terus berada di samping Starla.Karena Erik adalah calon ayah dari sang bayi, para dokter mempersilakannya masuk untuk terus mendampingi Starla di dalam ruang persalinan. Starla terus meringis kesakitan sementara keringat terus keluar membasahi dahi.Para dokter mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Mengatur posisi Starla agar lebih mudah nanti saat mengejan. Seorang dokter pria maju, baru saja ia menyingkap rok Starla untuk memeriksa sudah pembukaan berapa, Erik sudah mendorongnya dan mencengkeram kerah sang dokter.“Kau pikir, apa yang akan kau lakukan?!” bentak Erik murka.Sang dokter mengerjab, meliri
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan