Sebagai istri dan seorang ibu, aku akan lebih dulu mementingkan anak dan suami, daripada diriku sendiri. Berpura-pura terlihat bahagia, serta menutupi fakta menyakitkan dengan tawa adalah keahlianku. Pagi ini, aku sudah bangun sebelum adzan subuh berkumandang. Kutatap wajah Mas Heru yang masih terlelap, sambil terus bertanya-tanya, mengapa dia mendua?
Setelah puas menatapnya, aku beranjak dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membantu Mbok Iyem menyiapkan sarapan dan keperluan mereka.
Pukul setengah tujuh lebih lima menit, Mas Heru bergabung denganku dan Lintang di meja makan.
“Pagi cantiknya Ayah, pagi sayang,” sapa Mas Heru pada kami.
“Pagi, Ayah.”
“Pagi, Mas.”
Dia tersenyum lembut ke arahku, wajahnya nampak sumringah seperti orang yang baru saja menang lotre. Aku yakin, semua hal yang terjadi dengan Mas Heru selalu ada kaitannya dengan wanit pelakor itu.
“Oh iya, Mas, jangan lupa hadiah yang Lana minta ya.” Aku mengingatkan.
“Iya sayang, Lana tenang aja. Doain semoga rezeki Mas lancar terus, supaya Lana bisa beli apa pun yang Lana mau.” Manis sekali ucapannya, mengalahkan madu dicampur gula merah, ditambah gula pasir, plus diberi susu. Mendengarnya saja aku ingin muntah.
“Iya Mas,” jawabku singkat.
Mas Heru beralih menatap Lintang, mengusap pelan pucuk kepalanya. “Lintang udah sehat, sayang?”
“Sudah, Ayah.”
“Di sekolah jangan jajan sembarangan ya, nanti demam lagi,” ucap Mas Heru mewanti-wanti.
Lintang hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat itulah Mbok Iyem tiba, ia membawakan segelas kopi hitam tanpa gula dan memberikannya pada Mas Heru.
“Makasih, Mbok.”
“Sama-sama, Pak.”
Tak lama berselang, Lintang berangkat sekolah diantar sopir pribadi keluarga kami. Semua berjalan seperti biasa, tak ada perubahan apapun yang kuperlihatkan pada Mas Heru, selain karena apa yang kumau belum terwujud, ada hal lain yang sedang berusaha kujaga. Yakni, suasana hatinya.
Kuperhatikan wajah suamiku yang sejak tadi tak henti tersenyum. Aku berpikir, sepertinya ini saat yang tepat meminta hal lain, mumpung suasana hati Mas Heru tengah dalam kondisi baik.
“Mas, hari ini Lana mau ke mall sama temen-temen, boleh ya Lana beli emas?” tanyaku padanya.
“Tumben, biasanya Lana gak suka pake begituan.” Dia menatapku sebentar.
“Bukan gak suka, tapi emang Mas yang gak pernah ngasih uang lebih buat beli begituan,” sinisku.
Dulu, aku selalu berusaha berpikir positif, saat Mas Heru tak pernah mengizinkanku membeli ini dan itu dengan alasan perilaku konsumtif. Selain karena aku sangat mencintainya, aku juga merasa tak butuh semua itu. Namun sekarang, aku tak mau lagi terlalu bucin, ada Lintang yang harus kupikirkan masa depannya.
“Lana jangan begitu dong. Yaudah, Mas transfer sekarang ya. Sepuluh juta cukup?”
“Cukup.”
Mas Heru mengotak-atik ponselnya sebentar, setelahnya meletakkan benda itu di atas meja. “Udah masuk ya, sayang.”
“Makasih, Mas,” ucapku basa-basi
“Sama-sama. Lana harus tahu, kalau uang Mas uang Lana juga.”
Manisnya ucapan Mas Heru, sangat-sangat tidak sesuai dengan apa yang selama ini terjadi. Tapi, mumpung dia sedang membahas uang, aku berniat meminta setengah dari gajinya setiap bulan. Biarkan saja, salah siapa mendua.
“Kalau gitu, Lana minta setengah dari gaji Mas ditransfer ke rekening Lana setiap bulan, ya. Sekarang kan apa-apa mahal, kebutuhan meningkat. Jadi, udah seharusnya uang dapur juga meningkat,” selorohku.
Dahinya mengernyit, mungkin bingung mengapa tiba-tiba aku membahas sesuatu yang sebelumnya tak pernah kupermasalahkan. Aku tak peduli, yang jelas yang perlu kulakukan saat ini adalah mengeruk harta Mas Heru sebanyak mungkin.
“Gimana?” tanyaku.
“Mas setuju. Tapi, boleh Mas tanya sesuatu?” ujarnya sembari menatap intens ke arahku.
Aku mengangguk. Posisi kami berhadapan, sehingga aku dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajahnya saat ini. Antara rela dan tidak, jika lima puluh persen gajinya diberikan padaku.
“Siapa yang ngajarin Lana jadi perempuan matre?”
“Matre?” aku mengulang kata terakhir dari pertanyaannya.
“Iya. Dulu Lana gak begini.”
Otakku berpikir keras, mencari jawaban yang pas agar ia tak curiga. Senyumku mengembang kala menemukan jawaban itu. Kuambil punggung tangannya, dan kukecup dengan mesra.
“Lana cuma gak mau Mas malu. Selama ini, tetangga sering banget bisik-bisik, ngatain Mas pelit. Gara-gara Lana selalu nolak kalau diajak shopping dan gak pake banyak emas,” terangku dengan wajah sendu.
Kubuat semuanya terlihat senatural mungkin. Semoga Mas Heru percaya dengan kebohonganku. Raut wajahnya mengeras, seperti tengah menahan amarah. Aku paham betul, Mas Heru ini tipe laki-laki yang akan langsung tersulut, jika harga dirinya tersentil. Lihat saja, ia langsung mengeluarkan kartu nasabah prioritas dari dompetnya.
“Ini, beli apa pun yang Lana mau.” Dia memberikan kartu tersebut padaku.
Dalam hati aku bersorak, ternyata dia terpancing dengan segala narasi yang kukarang. Kuambil kartu tersebut seraya mencium punggung tangannya sekali lagi. “Terima kasih, suamiku.”
“Sama-sama. Kalau perlu, Lana beli mobil model terbaru, habis itu kita adain syukuran dan undang semua tetangga. Biar mereka tahu, siapa Mas sebenarnya.” Dia menyombongkan diri.
Aku semakin girang mendengar itu. Tentu saja, kesempatan ini tak boleh kulewatkan. Aku akan membeli mobil, dan barang-barang berharga lainnya. Setidaknya, ada yang bisa kuambil darinya sebelum memutuskan berpisah.
“Iya, Mas, nanti Lana beli mobil.”
“Yaudah, Mas berangkat dulu, ya.”
“Yuk, Lana anter ke depan.”
Kami berjalan beriringan. Aku mengantarnya sampai teras. Sebelum benar-benar pergi, dia mengecup keningku sekilas.
“Lana baik-baik di rumah. Jangan lupa jemput Lintang, satu lagi...”
“Jangan sering-sering ngerumpi sama tetangga,” selaku yang sudah hapal betul pesan Mas Heru saat hendak berangkat kerja.
Mas Heru terkekeh pelan. “Pinter,” ucapnya sambil mencolek hidungku.
Setelah aku mencium punggung tangannya, kami berpisah. Mas Heru berangkat kerja dan aku mengurus rumah.
Hal pertama yang kulakukan adalah mencuci baju. Aku melakukannya sembari bersenandung riang. Saat hendak memindahkan pakaian Mas Heru ke mesin cuci, ada struk belanja yang jatuh dari saku celananya. Aku mengambil struk belanja itu dan melihatnya. Mataku terbuka sempurna kala melihat nominal yang tertera. Mas Heru membeli tas dan perhiasan dengan harga puluhan juta rupiah.
“Brengsek!” umpatku.
Tadi, enak sekali dia mengataiku matre. Padahal Rachel lebih matre. Lihat saja, dia berani minta dibelikan perhiasan dan tas dengan harga fantastis, jauh dengan aku yang sebelum ini tak pernah menuntut ini itu.
Kartu nasabah prioritas yang ada digenggamanku, kupegang dengan erat. Aku akan menggunakannya lebih dari nominal yang diberikan Mas Heru pada Rachel. Naluriku sebagai istri Mas Heru, merasa tersinggung, aku tak boleh diam lagi. Akan kuambil apa yang menjadi hakku. Kupastikan, Rachel dan Mas Heru akan mendapat balasan setimpal atas perlakuan mereka terhadapku.
“Buk…” Suara Mbok Iyem mengalihkan perhatianku.
“Iya Mbok, kenapa?” tanyaku.
“Di depan ada perempuan, katanya temen Bapak.”
“Siapa?”
“Namanya Rachel.”
“Rachel? Mau apa dia ke sini?”
Aku menemui Rachel yang masih berada di teras. Entah apa tujuannya datang ke rumahku. Lihat saja, kalau dia macam-macam, aku tak akan segan-segan membuat perhitungan. “Eh, Rachel. Sini masuk!” ajakku pada Rachel. Jika mengikuti kata hati, tentu yang ingin kuucapkan adalah umpatan dan kalimat-kalimat kasar. “Makasih, Lan.” Rachel mengikutiku dari belakang. Suaranya terdengar sangat menjengkelkan. Aku membayangkan jika suara itu yang kerap kali didengar suamiku saat tak berada di rumah. Ingin sekali kurusak pita suaranya. “Duduk, mau minum apa? Biar aku buatin,” tanyaku berusaha terlihat seramah mungkin. “Eh gak usah, aku cuma mampir sebentar kok,” paparnya. “Oh gitu. Padahal lama juga gak apa-apa, Hel.” Aku tersenyum seraya duduk di sampingnya Kuakui Rachel sangat cantik, dengan dandanan yang soft dan penampilan elegannya. Jujur, sebagai wanita aku pun suka padanya, tapi sebelum kutahu dia adalah pelakor. Setelah tahu semuanya, boro-boro suka. Menatap wajah sok polos dan lugunya
Setelah Rachel pulang, aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Berada di ruangan yang sama dengan wanita itu saja cukup membuatku gerah, apalagi sampai harus berlibur bersama. Tidak akan pernah terjadi, mana mungkin aku mau pergi dengan wanita yang sudah merusak rumah tanggaku. Jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, aku meletakkan paperbag pemberian Rachel, setelahnya bersiap sebentar kemudian bergegas menjemput Lintang, aku sengaja membawakan baju ganti untuknya agar bisa langsung berangkat tanpa kembali ke rumah lebih dulu. Aku pergi dengan taksi online karena sedang malas menyetir. Jalanan tidak terlalu padat, tak butuh waktu lama untuk sampai ke sekolah Lintang. Segera kuhampiri Lintang yang tampak sedang menungguku. “Sayang…” Kupeluk tubuhnya dengan perasaan cinta, dia balas memelukku. Kuamati wajahnya yang terlihat lesu. “Lintang kenapa, Nak?” tanyaku yang menangkap ada sesuatu tidak beres terjadi dengannya. “Gak apa-apa, Bun,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tahu betul Linta
Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun. Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang. Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa
“Lana, Mas mau minta izin untuk menikah dengan Rachel.” Selama beberapa saat, aku terdiam. Mencerna kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Sempat terbesit dalam pikiran, bahwa Mas Heru hanya mengerjaiku. Tapi, kulihat wajahnya sangat serius, tak ada unsur humor di sana. Saat itulah aku sadar, malam ini akan menjadi malam paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Nada bicaranya pelan, namun berhasil memporak-porandakkan hati dan jiwaku. Aku limbung, penglihatanku mengabur. Kulepas dekapannya, dan mundur beberapa langkah. Langkah kaki yang tak seimbang membuatku terjatuh. Mas Heru bergegas membantu, segera kutepis tangannya dengan kasar seraya berusaha meredam tangis. Aku tak mau menangis di hadapannya. Namun, rasa sakit ini tak lagi mampu disembunyikan. Sekuat apa pun aku menahan, bulir bening itu keluar juga, mengalir deras membasahi kedua pipiku. “Sayang, Lana gak perlu khawatir. Mas akan tetap menjamin dan memenuhi semua kebutuhan Lana.” Plak! Tangan kiriku mendarat
Aku Heru Bratajaya Atmaja, orang-orang memanggilku Heru. Seorang pengusaha food and bavarage (FnB) yang cukup sukses, memiliki banyak restoran dengan lebih dari dua puluh cabang di berbagai kota. Malam ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan aku mengajak Kelana ke salah satu restoran. Aku sudah menyiapkan makan malam romantis, berikut dengan kado istimewa untuknya. Kelana, dia istriku. Istri yang kunikahi atas dasar cinta. Aku berpikir pernikahan kami akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sosok masa lalu yang kembali hadir, membuatku perlahan enggan menatapnya. Sosok tersebut adalah Rachel, cinta pertamaku sedari SMP. Kami bertemu di acara reuni kampus. Tubuhnya sangat aduhai. Seksi dan terawat, wajahnya cantik, lebih cantik dari istriku. Mulanya aku biasa saja, hanya merespons seperlunya bahkan ketika Rachel mengajak bicara dan menatapku, karena sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, tidak seperti dulu. Malam hari setelah acara tersebut, sebuah pesan dari nomor tak dik
“Kelana, lo kenapa?” Aku mendongakkan wajah. Mataku bertemu dengan netra hitam milik Daffa. Kulihat Daffa berdiri dengan payung ditangannya, payung itu melindungi tubuhku dari derasnya hujan. Dia memandang iba ke arahku. Aku risih dengan caranya menatapku, segera kupalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya. “Lo kenapa?” Dia mengulang pertanyaan yang sama, seraya berjongkok di hadapanku. Aku hanya menggelang, berharap dia tak bertanya lagi. Namun, aku salah besar. Perhatiannya masih terpusat padaku, membuatku ingin segera pergi dari sana. Naasnya, seluruh energiku seperti terkuras habis, aku tak punya kekuatan bahkan untuk sekadar berdiri. “Gue bantu,” ucapnya saat melihatku hendak berdiri namun tertatih. “Gak usah, gue bisa sendiri,” jawabku dengan bibir bergetar. Beruntungnya, Daffa tak memaksa. Ia hanya menatapku dengan raut antara bingung dan kasihan. Entah mengapa, aku paling tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh
Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memikirkan Lintang dan kehidupan kami setelah ini. Hingga terdengar suara adzan subuh berkumandang, saat itulah aku bergegas membersihkan diri. Pagi ini aku akan menjemput anakku, membawanya keluar dari rumah Mas Heru. Sudah cukup menuruti ego, sekarang saatnya menata hidup baru, dengan semangat yang juga baru, demi putriku.“Kelana, masih pagi banget lho ini, lo mau ke mana?” Pertanyaan Daffa menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatapnya yang tampak baru selesai melaksanakan salat, terlihat dari setelan yang ia gunakan, baju koko dan sarung.“Ada urusan,” jawabku singkat.“Urusan apa? Maksud gue, ini masih terlalu pagi, bahaya keluar sendiri.”“Gapapa Daff, gue udah biasa.”Aku tetap bersikeras keluar rumah, meskipun dia melarang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi, Daffa menghentikan langkahku.“Lo boleh pergi. Tapi izinin gu
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,