Namaku Kelana Maharani, seorang anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal, dan ibunya pergi dengan lelaki lain. Aku dibesarkan oleh nenekku yang juga sudah berpulang satu tahun lalu karena sakit. Usiaku tiga puluh satu tahun, dan sudah menikah dengan Heru Bratajaya Atmaja, lelaki yang sangat aku cintai juga mencintaiku. Dari pernikahan itu, kami dikaruniai seorang putri cantik yang diberi nama Lintang Utami Atmaja. Saat ini, Lintang berusia delapan tahun.
Ibu meninggalkan ayah karena tak mau hidup miskin, ia memilih pergi dengan pria kaya. Ayah selalu berpesan, agar aku tak menjadi wanita seperti ibu. Ayah juga mendidikku untuk tak memandang orang dari status sosial, maupun latar belakang ekonominya. Karena semua manusia sama di hadapan sang pencipta, begitu pesannya yang selalu kuingat sampai sekarang.
Aku tergolong anak yang cerdas, ulet, juga pantang menyerah. Selama sekolah sampai kuliah, selalu mendapat beasiswa. Mulanya, hidupku dan nenek sangat kekurangan, apalagi setelah Ayah meninggal. Kami tinggal di sebuah kontrakan tiga petak, yang apabila hujan airnya akan menerobos masuk ke dalam. Namun, sejak aku lulus dan bekerja dengan gaji lumayan, aku berhasil mengubah kehidupan kami dengan membelikan Nenek rumah yang lebih layak.
Tak berselang lama, Nenek meninggal. Aku tinggal sendiri dan merasa kesepian. Aku hanya menghabiskan waktu untuk bekerja, tak memikirkan hal lainnya. Pagi sampai sore bekerja, malamnya istirahat, paginya berangkat kerja lagi, begitulah seterusnya. Sampai akhirnya, oleh teman kantor aku dikenalkan dengan Mas Heru.
Jatuh bangunnya hidup membuatku sulit percaya pada siapa pun. Bagiku, lelaki terbaik di dunia hanya ayah. Maka saat ayah meninggal, aku tak percaya pada laki-laki manapun, termasuk Mas Heru.
Kuakui Mas Heru adalah pria yang baik, perhatian, mapan, dan tampan. Namun, aku yang bisa melakukan semuanya sendiri, merasa tak perlu sosok lelaki. Prinsipku menjadi tantangan sendiri bagi Mas Heru. Ia membutuhkan banyak waktu untuk membuktikan, sampai akhirnya aku mulai bisa menerima kehadirannya. Singkat cerita, kami pacaran dan menikah.
Di hari pernikahan, ibuku datang dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dia kabur dari kejaran debt collector, akibat hutang yang menumpuk. Terlepas dari dia yang sudah menyakiti ayah dan menelantarkanku, dia tetap ibuku. Bukannya di dunia ini tidak ada mantan ibu?
Aku tak setega itu membiarkan ibuku kesulitan. Akhirnya, kuputuskan menjual rumah. Lagipula, setelah menikah aku tinggal dengan Mas Heru, jadi tidak apa-apa jika rumah itu dijual. Ya, meskipun berat karena di dalamnya terdapat banyak kenangan.
Hasil penjualan rumah kuberikan pada ibu, aku berpesan agar uang itu dipergunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Selain itu, aku juga meminta ibu untuk tak lagi menemuiku. Aku sudah memaafkannya, hanya saja ada hal-hal yang sangat menyakitkan dan tak bisa kulupakan. Ibuku setuju, sejak saat itu dia menghilang, aku tak pernah lagi melihatnya.
Kembali padaku dan Mas Heru. Aku dan Mas Heru menikah atas dasar cinta dan kesiapan. Makanya, hidupku pun sangat bahagia, apalagi sejak kehadiran Lintang. Lintang semakin membuat cinta di antara kami tumbuh subur.
Sejak menikah, Mas Heru memintaku resign dari pekerjaan dan fokus mengurus rumah, anak dan dirinya. Aku menurut saja, karena dia melakukan itu untuk kebaikanku. Padahal saat itu karirku sedang bagus-bagusnya, aku baru saja naik jabatan. Kulepas semuanya demi menghormati Mas Heru sebagai suami.
Pernikahan kami berlimpah kebahagiaan. Mas Heru selalu memperlakukanku dengan baik, tak pernah sekalipun ia membentak atau memarahiku. Caranya menegur saat aku berbuat salah pun sangat romantis.
Suatu hari, dia mengajakku ikut ke acara reuni kampusnya. Di sana, aku bertemu teman-teman Mas Heru, baik pria maupun wanita. Ada satu wanita yang kuketahui bernama Rachel, tengah memperhatikan suamiku. Ada yang aneh dengan wanita itu, ia seperti berusaha menarik perhatian Mas Heru. Padahal, sudah jelas tangan Mas Heru memeluk pinggangku.
Karena terganggu, aku mengajak Mas Heru pergi, saat itulah aku bertanya tentang siapa sebenarnya Rachel.
“Mas, Rachel kenapa lihatin kamu terus?”
“Emang iya? Mas gak tahu, sayang.”
“Iya Mas, natapnya gitu banget lagi. Kayak singa kelaperan,” aduku.
“Hust! Gak boleh gitu, nanti kedengeran orangnya gak enak.”
“Emangnya kamu sama dia ada hubungan apa?”
Percakapan itu berakhir sebelum Mas Heru menjawab pertanyaanku, karena tiba-tiba Rachel sudah berada di belakang kami. Ia tersenyum sembari membawa kue coklat kesukaan Mas Heru. Sebagai istri, tentu aku terganggu melihat pemandangan itu. Untungnya, Mas Heru tak menerima pemberiannya dan malah menarikku menjauh.
Dua minggu setelah acara reuni, hal yang tak biasa terjadi. Di Minggu pagi, aku mendapati Mas Heru sudah rapi dengan baju kerjanya. Melihat itu aku langsung bertanya, “Mas mau kemana?”
“Mas harus kerja, Lana.”
“Hari Minggu begini?”
“Iya sayang. Mas minta maaf ya, gak bisa nemenin Lana sama Lintang.”
“Gak biasanya Mas hari Minggu ke kantor?”
“Ada meeting penting yang gak bisa ditunda,” jawabnya kala itu.
“Kan anak buah Mas banyak, kenapa gak minta tolong mereka?”
“Lana, ini penting,” ucapnya.
Setelah itu, aku tak bertanya lagi. Semua berjalan seperti biasa, dia mengecup keningku dan aku mencium punggung tangannya. Aku tak menaruh curiga sedikitpun, kalau Mas Heru bilang kerja, ya berarti dia memang bekerja. Namun, minggu depannya hal itu kembali terjadi, bahkan kali ini Mas Heru berangkat lebih pagi dari biasanya.
“Lho Mas, bukannya Mas udah janji mau ajak Lana sama Lintang jalan-jalan?” tanyaku tak terima.
“Maafin Mas ya, kerjaan di kantor lagi banyak banget, gak bisa ditinggal.”
“Mas kan punya banyak anak buah, kenapa apa-apa dikerjain sendiri?” Aku melontarkan pertanyaan yang sama seperti minggu sebelumnya.
“Sayang, Mas mohon pengertiannya ya. Setelah selesai, Mas janji bakal langsung pulang. Nanti kita makan malam sama-sama,” bujuknya padaku.
Lagi-lagi aku percaya, bahkan tetap memilih percaya saat kudapati Mas Heru menggunakan sandi di ponselnya dengan alasan supaya lebih aman. Padahal Lintang sudah besar, tak mungkin juga berani mengotak-atik ponsel ayahnya, lagipula anakku sudah punya ponsel sendiri. Sementara aku, selama menjadi istri Mas Heru tak pernah sekalipun kepo dengan benda itu. Aku bukan wanita posesif yang suka mengecek ponsel suami. Beda cerita dengan Mas Heru yang membatasi ruang gerakku, bahkan ia memintaku untuk tak berkomunikasi dengan laki-laki manapun.
Kejanggalan demi kejanggalan semakin terasa. Apalagi saat aku membaca tangkapan layar status W******p Mas Heru yang tak bisa kulihat di ponselku. Hari itu juga kuputuskan untuk mengikutinya. Kecurigaannku terbukti. Mas Heru main belakang dengan perempuan lain, perempuan yang kutemui saat acara reuni kala itu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku, lebih dari sekadar hancur.
Disaat bersamaan, ada Daffa yang membantuku. Dia juga bertanya apa yang terjadi. Namun, aku memilih menutup semuanya rapat-rapat. Masalah rumah tanggaku, biarlah menjadi urusanku.
Waktu berlalu begitu cepat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke sembilan. Aku sudah merencanakan banyak hal, salah satunya mengeruk harta Mas Heru. Namun, sesuatu yang buruk terjadi, Mas Heru marah hingga mengancam tak akan memberikan rumah dan sertifikat tanah yang dijanjikan.
Aku kembali memutar otak, dan lagi-lagi harus menekan ego sampai ke dasar. Semua yang kulakukan demi Lintang. Kadang-kadang, berpura-pura bodoh jauh lebih baik, daripada menanyakan sesuatu yang sudah jelas kebenarannya. Aku hanya perlu sabar sebentar lagi, karena gegabah sedikit saja, masa depan Lintang jadi taruhannya.
Perkataan Mas Heru masih terngiang-ngiang di kepalaku. Kuputuskan meminta maaf padanya, karena hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Rencanaku tak boleh gagal. “Mas, yang tadi malem, Lana minta maaf,” lirihku. Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, Mas Heru tak menjawab permintaan maafku. Ia sibuk memasang dasi, seolah aktivitas tersebut lebih menarik daripada berbicara denganku. “Mas...,” panggilku lembut. “Hmmm?” Aku memeluk Mas Heru dari belakang, menyandarkan kepala ke punggung yang dulu menjadi favoritku. Mas Heru belum bereaksi, setelah kueratkan dekapa
“Lana, Mas mau minta izin untuk menikah dengan Rachel.” Selama beberapa saat, aku terdiam. Mencerna kata demi kata yang terucap dari bibirnya. Sempat terbesit dalam pikiran, bahwa Mas Heru hanya mengerjaiku. Tapi, kulihat wajahnya sangat serius, tak ada unsur humor di sana. Saat itulah aku sadar, malam ini akan menjadi malam paling indah sekaligus menyedihkan dalam hidupku. Nada bicaranya pelan, namun berhasil memporak-porandakkan hati dan jiwaku. Aku limbung, penglihatanku mengabur. Kulepas dekapannya, dan mundur beberapa langkah. Langkah kaki yang tak seimbang membuatku terjatuh. Mas Heru bergegas membantu, segera kutepis tangannya dengan kasar seraya berusaha meredam tangis. Aku tak mau menangis di hadapannya. Namun, rasa sakit ini tak lagi mampu disembunyikan. Sekuat apa pun aku menahan, bulir bening itu keluar juga, mengalir deras membasahi kedua pipiku. “Sayang, Lana gak perlu khawatir. Mas akan tetap menjamin dan memenuhi semua kebutuhan Lana.” Plak! Tangan kiriku mendarat
Aku Heru Bratajaya Atmaja, orang-orang memanggilku Heru. Seorang pengusaha food and bavarage (FnB) yang cukup sukses, memiliki banyak restoran dengan lebih dari dua puluh cabang di berbagai kota. Malam ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan aku mengajak Kelana ke salah satu restoran. Aku sudah menyiapkan makan malam romantis, berikut dengan kado istimewa untuknya. Kelana, dia istriku. Istri yang kunikahi atas dasar cinta. Aku berpikir pernikahan kami akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sosok masa lalu yang kembali hadir, membuatku perlahan enggan menatapnya. Sosok tersebut adalah Rachel, cinta pertamaku sedari SMP. Kami bertemu di acara reuni kampus. Tubuhnya sangat aduhai. Seksi dan terawat, wajahnya cantik, lebih cantik dari istriku. Mulanya aku biasa saja, hanya merespons seperlunya bahkan ketika Rachel mengajak bicara dan menatapku, karena sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, tidak seperti dulu. Malam hari setelah acara tersebut, sebuah pesan dari nomor tak dik
“Kelana, lo kenapa?” Aku mendongakkan wajah. Mataku bertemu dengan netra hitam milik Daffa. Kulihat Daffa berdiri dengan payung ditangannya, payung itu melindungi tubuhku dari derasnya hujan. Dia memandang iba ke arahku. Aku risih dengan caranya menatapku, segera kupalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya. “Lo kenapa?” Dia mengulang pertanyaan yang sama, seraya berjongkok di hadapanku. Aku hanya menggelang, berharap dia tak bertanya lagi. Namun, aku salah besar. Perhatiannya masih terpusat padaku, membuatku ingin segera pergi dari sana. Naasnya, seluruh energiku seperti terkuras habis, aku tak punya kekuatan bahkan untuk sekadar berdiri. “Gue bantu,” ucapnya saat melihatku hendak berdiri namun tertatih. “Gak usah, gue bisa sendiri,” jawabku dengan bibir bergetar. Beruntungnya, Daffa tak memaksa. Ia hanya menatapku dengan raut antara bingung dan kasihan. Entah mengapa, aku paling tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh
Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memikirkan Lintang dan kehidupan kami setelah ini. Hingga terdengar suara adzan subuh berkumandang, saat itulah aku bergegas membersihkan diri. Pagi ini aku akan menjemput anakku, membawanya keluar dari rumah Mas Heru. Sudah cukup menuruti ego, sekarang saatnya menata hidup baru, dengan semangat yang juga baru, demi putriku.“Kelana, masih pagi banget lho ini, lo mau ke mana?” Pertanyaan Daffa menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatapnya yang tampak baru selesai melaksanakan salat, terlihat dari setelan yang ia gunakan, baju koko dan sarung.“Ada urusan,” jawabku singkat.“Urusan apa? Maksud gue, ini masih terlalu pagi, bahaya keluar sendiri.”“Gapapa Daff, gue udah biasa.”Aku tetap bersikeras keluar rumah, meskipun dia melarang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi, Daffa menghentikan langkahku.“Lo boleh pergi. Tapi izinin gu
Namaku Daffa Mahendra, pemilik perusahaan penerbitan bergengsi yang kerap diincar para penulis untuk menerbitan karyanya. Selain kredibilitas, seleksi yang ketat menjadi tantangan sendiri bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh. Hari-hariku disibukkan dengan mengelola perusahaan, memastikan semuanya baik-baik saja, dan berjalan sesuai rencana. Aku seorang yatim piatu, memiliki satu adik perempuan, dan belum menikah. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku, sementara ayah, beliau sudah tiada sejak aku kecil. Malam ini, aku baru kembali dari kantor saat hari sudah gelap. Pekerjaan yang menumpuk, membuatku pulang larut. Suara guntur bersahut-sahutan, disusul rintik hujan yang mulai terlihat membasahi kaca mobilku. Aku bergegas memacu mobil, ingin segera sampai rumah dan merebahkan diri, lelah sekali rasanya. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa pengendara yang terlihat. Wajar saja, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, terlebih hujan turun dengan derasanya. Dari balik
Kulihat Lintang memeluk boneka beruangnya dengan erat. Seolah tak mengizinkan Mas Heru atau siapa pun mengambilnya. Mas Heru tampak tersenyum, aku yakin dia berpikir Lintang mau ikut bersamanya. Seraya menggigit bibir bawah, aku menunggu jawaban Lintang dengan harap-harap cemas. Sebagai Ibu, tentu aku ingin Lintang ikut denganku. Namun, aku tak mau mengintervensi. Aku ingin dia memilih berdasarkan hati nurani.Lintang menatapku dan Mas Heru bergantian, mungkin dia bingung, apa yang terjadi pada orang tuanya? Mengapa harus memilih salah satunya?“Lintang mau sama Ayah Bunda.”Jawaban Lintang membuat mataku berair. “Maaf, Nak, karena keputusan Bunda, Lintang jadi harus memilih satu,” batinku.Aku menyejajarkan tinggiku dengannya. Kutatap mata bulatnya dalam, seraya mengelus pipi chubynya lembut. “Sayang, Ayah sama Bunda udah gak bisa sama-sama lagi,” ucapku.“Kenapa, Bunda?” tanyanya.Pe
Setelah Kelana dan Lintang pergi, Heru masuk kamar guna membereskan barang-barangnya. Ya, ia akan tinggal bersama Rachel dan Delia di rumah baru mereka. Mbok Iyem yang baru saja kembali, terkejut saat mendapati Heru berada di hadapannya. Untung saja, koper Kelana sudah diamankan lebih dulu. “Darimana, Mbok?” tanya Heru penuh selidik. “Anu, Pak. Mbok dari depan, beli sayur,” bohong Mbok Iyem. “Mana sayurnya?” Heru semakin curiga karena Mbok Iyem tak membawa apapun. “E… sayurnya gak ada, Pak,” jawab Mbok Iyem gugup. Heru memicingkan mata, ia curiga pada gelagat pembantunya yang seperti menyembunyikan sesuatu. “Kalau sampe saya tahu Mbok bantu Kelana, saya gak akan segan-segan pulangin Mbok ke kampung,” ancamnya. Mbok Iyem mengangguk patuh. Kepalanya tertunduk lesu, tak berani menatap pria yang sudah lima belas tahun menjadi bosnya. Perasaan takut dan khawatir membayangi Mbok Iyem. Bagaimana jika Heru benar-benar memulangkannya, sementara nasib keluarga di kampung bergantung pada pe
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,