“Kelana, lo kenapa?”
Aku mendongakkan wajah. Mataku bertemu dengan netra hitam milik Daffa. Kulihat Daffa berdiri dengan payung ditangannya, payung itu melindungi tubuhku dari derasnya hujan. Dia memandang iba ke arahku. Aku risih dengan caranya menatapku, segera kupalingkan wajah untuk menghindari kontak mata dengannya.
“Lo kenapa?” Dia mengulang pertanyaan yang sama, seraya berjongkok di hadapanku.
Aku hanya menggelang, berharap dia tak bertanya lagi. Namun, aku salah besar. Perhatiannya masih terpusat padaku, membuatku ingin segera pergi dari sana. Naasnya, seluruh energiku seperti terkuras habis, aku tak punya kekuatan bahkan untuk sekadar berdiri.
“Gue bantu,” ucapnya saat melihatku hendak berdiri namun tertatih.
“Gak usah, gue bisa sendiri,” jawabku dengan bibir bergetar.
Beruntungnya, Daffa tak memaksa. Ia hanya menatapku dengan raut antara bingung dan kasihan. Entah mengapa, aku paling tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh
Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memikirkan Lintang dan kehidupan kami setelah ini. Hingga terdengar suara adzan subuh berkumandang, saat itulah aku bergegas membersihkan diri. Pagi ini aku akan menjemput anakku, membawanya keluar dari rumah Mas Heru. Sudah cukup menuruti ego, sekarang saatnya menata hidup baru, dengan semangat yang juga baru, demi putriku.“Kelana, masih pagi banget lho ini, lo mau ke mana?” Pertanyaan Daffa menghentikan langkahku. Aku berbalik, menatapnya yang tampak baru selesai melaksanakan salat, terlihat dari setelan yang ia gunakan, baju koko dan sarung.“Ada urusan,” jawabku singkat.“Urusan apa? Maksud gue, ini masih terlalu pagi, bahaya keluar sendiri.”“Gapapa Daff, gue udah biasa.”Aku tetap bersikeras keluar rumah, meskipun dia melarang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut. Lagi-lagi, Daffa menghentikan langkahku.“Lo boleh pergi. Tapi izinin gu
Namaku Daffa Mahendra, pemilik perusahaan penerbitan bergengsi yang kerap diincar para penulis untuk menerbitan karyanya. Selain kredibilitas, seleksi yang ketat menjadi tantangan sendiri bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh. Hari-hariku disibukkan dengan mengelola perusahaan, memastikan semuanya baik-baik saja, dan berjalan sesuai rencana. Aku seorang yatim piatu, memiliki satu adik perempuan, dan belum menikah. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku, sementara ayah, beliau sudah tiada sejak aku kecil. Malam ini, aku baru kembali dari kantor saat hari sudah gelap. Pekerjaan yang menumpuk, membuatku pulang larut. Suara guntur bersahut-sahutan, disusul rintik hujan yang mulai terlihat membasahi kaca mobilku. Aku bergegas memacu mobil, ingin segera sampai rumah dan merebahkan diri, lelah sekali rasanya. Jalanan tampak sepi, hanya ada beberapa pengendara yang terlihat. Wajar saja, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB, terlebih hujan turun dengan derasanya. Dari balik
Kulihat Lintang memeluk boneka beruangnya dengan erat. Seolah tak mengizinkan Mas Heru atau siapa pun mengambilnya. Mas Heru tampak tersenyum, aku yakin dia berpikir Lintang mau ikut bersamanya. Seraya menggigit bibir bawah, aku menunggu jawaban Lintang dengan harap-harap cemas. Sebagai Ibu, tentu aku ingin Lintang ikut denganku. Namun, aku tak mau mengintervensi. Aku ingin dia memilih berdasarkan hati nurani.Lintang menatapku dan Mas Heru bergantian, mungkin dia bingung, apa yang terjadi pada orang tuanya? Mengapa harus memilih salah satunya?“Lintang mau sama Ayah Bunda.”Jawaban Lintang membuat mataku berair. “Maaf, Nak, karena keputusan Bunda, Lintang jadi harus memilih satu,” batinku.Aku menyejajarkan tinggiku dengannya. Kutatap mata bulatnya dalam, seraya mengelus pipi chubynya lembut. “Sayang, Ayah sama Bunda udah gak bisa sama-sama lagi,” ucapku.“Kenapa, Bunda?” tanyanya.Pe
Setelah Kelana dan Lintang pergi, Heru masuk kamar guna membereskan barang-barangnya. Ya, ia akan tinggal bersama Rachel dan Delia di rumah baru mereka. Mbok Iyem yang baru saja kembali, terkejut saat mendapati Heru berada di hadapannya. Untung saja, koper Kelana sudah diamankan lebih dulu. “Darimana, Mbok?” tanya Heru penuh selidik. “Anu, Pak. Mbok dari depan, beli sayur,” bohong Mbok Iyem. “Mana sayurnya?” Heru semakin curiga karena Mbok Iyem tak membawa apapun. “E… sayurnya gak ada, Pak,” jawab Mbok Iyem gugup. Heru memicingkan mata, ia curiga pada gelagat pembantunya yang seperti menyembunyikan sesuatu. “Kalau sampe saya tahu Mbok bantu Kelana, saya gak akan segan-segan pulangin Mbok ke kampung,” ancamnya. Mbok Iyem mengangguk patuh. Kepalanya tertunduk lesu, tak berani menatap pria yang sudah lima belas tahun menjadi bosnya. Perasaan takut dan khawatir membayangi Mbok Iyem. Bagaimana jika Heru benar-benar memulangkannya, sementara nasib keluarga di kampung bergantung pada pe
Pertanyaan Lintang membuatku terdiam. Aku bingung harus menjawab apa, dia masih terlalu kecil untuk tahu permasalahan kedua orang tuanya. Dan lagi, aku tak mau membuatnya sedih. Aku merasa perlu menutupi semuanya lebih dulu, setidaknya sampai Lintang bisa memahami, bahwa urusan orang dewasa tak sesederhana bertengkar dengan teman sebaya, kemudian minta maaf dan kembali bermain bersama.“Bun…,” Suara Lintang membuyarkan lamunanku.“Iya, sayang. Lintang mau nambah?” Aku mengalihkan pembicaraan dengan menyodorkan nasi dan lauk pauk yang belum kusentuh.Lintang menggeleng pelan. “Bercerai itu artinya gak tinggal bareng, ya, Bun?”Rupanya, Lintang masih penasaran tentang apa itu perceraian. Tapi tunggu, siapa yang memberitahu anakku jawaban seperti itu? Mengapa dia bisa berpikir demikian? Karena penasaran, aku menanyakannya langsung pada Lintang.“Siapa yang kasih tahu, hmm?”“Temen,” jawab Lintang. Kulihat dia seperti sedang mengingat sesuatu. “Temen Lintang orang tuanya bercerai. Terus m
Senin pagi aku memulai hari penuh semangat. Selain karena ini hari pertamaku bekerja setelah bertahun-tahun lamanya menjadi ibu rumah tangga, aku merasa sudah jauh lebih baik. Kurasa, luka hati yang kudapat dari Mas Heru berangsur pulih, ya bisa jadi.Selepas mengantar Lintang ke sekolah, aku bertolak menuju kantor penerbitan milik Daffa. Sesampai di sana, aku diantar oleh seorang pria menuju meja kubikel yang akan kutempati selama bekerja di tempat ini. Beberapa pasang mata menatap ke arahku, aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Aku tak mau ambil pusing dengan tatapan-tatapan mereka, toh hal begitu sudah biasa terjadi saat berstatus sebagai orang baru. Entah itu karyawan baru, murid baru, mahasiswa baru, dan yang lainnya.“Ini meja Mbak Kelana, silakan. Selamat bergabung, semoga betah, ya,” ucap lelaki yang kuketahui merupakan kepala divisi.“Terima kasih, Pak,” balasku.Sepeninggal Pak Rei, wanita berpenampilan modis mendek
“Heru, kamu gimana, sih? Kenapa Delia bisa kepleset begini? Baru aja aku tinggal sebentar.” Rachel menenangkan dengan memeluk Delia yang menangis kesakitan. “Sayang, kita ke dokter, yuk,” ajaknya. “Gak mau,” tolak Delia sembari sesenggukan. Bukannya merasa bersalah, Heru berbalik, meninggalkan calon istri dan anak tirinya begitu saja. Hal itu tentu membuat Rachel kesal. Setelah membawa Delia ke kamar, ia menyusul Heru yang sedang duduk santai di taman belakang. “Heru!” teriak Rachel. Heru mendongak sebentar, kemudian kembali acuh, memusatkan perhatiannya pada layar ponsel yang sedari tadi dalam genggaman. Kerna merasa diabaikan, Rachel merebut ponsel tersebut. Heru mendelik, perlakuan Rachel benar-benar tidak sopan menurutnya. Kelana saja, istri yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun tak pernah sekalipun melakukan hal demikan. “Balikin!” pinta Heru dingin. “Gak! Aku perlu ngomong sama kamu,” balas Rachel. Heru memalingkan wajah, ia sedang berusaha meredam amarah. Uang lima ra
Jam kerja telah berakhir, aku bersyukur bisa melewati hari ini dengan baik, ya meskipun ada beberapa drama yang terjadi, dan itu di luar ekspektasi. Tapi biarlah, namanya juga hidup, aku hanya perlu tersenyum atau tertawa saja, supaya tidak pusing-pusing amat.Pukul setengah lima sore, langkah kakiku memasuki gang sempit. Kontrakan tempatku bernaung sudah terlihat, dari kejauhan aku bisa melihat sepasang sepatu Lintang berada di depan pintu. Kupercepat langkahku, agar bisa segera bertemu dengannya.Aku lega, karena dia tak pernah lagi bertanya soal perceraian atau pun perselingkuhan, sejak aku mengatakan akan memberitahunya jika sudah besar nanti. Perihal menjemput Lintang ke sekolah pun sudah kupercayakan pada Ibu Sari—Ibu yang mengurus kontrakan, sekaligus orang kepercayaan Daffa yang kebetulan cucunya bersekolah di tempat yang sama, dan sekelas dengan putriku.Dengan senyum mengembang seraya menenteng plastik belanjaan, kubuka knop pintu. “Assalam
—PoV KelanaSatu bulan kemudian“Sayang, masuk, yuk, kita istirahat,” ajakku pada Lintang yang masih duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Meskipun mengenakan pakaian berbahan tebal, aku tak mau dia kedinginan, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, ditambah hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu.“Lintang masih mau di sini, Bun.”Aku mengambil tempat di sampingnya, mengamati wajah ayu putriku yang terlihat sendu. Satu bulan ini aku benar-benar memaksimalkan waktu bersama Lintang, menemaninya setiap hari, mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi. Meskipun apa yang aku lakukan tidak bisa mengembalikan tangan Lintang, aku tetap bersyukur karena Tuhan memberi kesempatan berkali-kali untuk memperbaiki diri, dan yang terpenting Lintang masih di sini.“Bunda temenin, ya.”“Bunda belum ngantuk?”Aku menggeleng sebagai jawaban. Saat itulah Lintang tersenyum simpul dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Tidak ada yang kami lakukan, hanya diam seraya menatap lang
—PoV Kelana “Apa maksud kamu?”Lututku bergetar mendengar penuturan Mas Heru. Entah apa maksud lelaki itu mengatakan hal tersbut, padahal aku tahu betul Lintang sedang berlibur dengan Omanya. Tapi, mengapa tiba-tiba dia datang dan bilang Lintang sudah tidak ada? Jelas, aku tak bisa diam saja menanggapi omong kosong tersebut. "Jangan asal bicara!" tekanku.“Mas akan ceritakan di jalan, sekarang Lana ikut Mas ke rumah sakit, please,” balas Mas Heru.Rumah sakit? Untuk apa? Demi menjawab rasa penasaran tersebut, aku mengangguk setuju. Lagipula, aku pun merasa tak tenang, seperti ada yang janggal, tapi tidak tahu apa.Saat hendak menaiki mobil Mas Heru, Angga menghalangi langkahku. “Mau ke mana?”“Saya harus ke rumah sakit.”“Dengan dia?”“Ya.”“Mohon maaf, tapi Pak Daff berpesan supaya Anda tidak lagi berhubu
—PoV Kelana Aku bergerak gelisah, tidurku terasa berbeda malam ini. Aku berpikir, mungkin karena tak ada Lintang. Ya, pasalnya ini kali pertama kami berjauhan. Tepat pukul dua dini hari, mataku terbuka sempurna. Entah karena alasan apa, keringat dingin membasahi tubuhku, ditambah tenggorokan yang terasa kering, padahal aku tak merasa demam. Hal pertama yang kulakukan adalah meraba tempat di sebelahku, ternyata tak ada siapa pun di sana. Sembari mengelap keringat yang terus mengucur, aku bergerak mencari Daffa. Ruangan pertama yang kusambangi adalah kamar mandi, kemudian ruang kerja, dan terakhir dapur. Namun, tak kutemukan sosok itu. Ke mana dia pergi dini hari begini? Apa menemui Nisha lagi? Lihat saja, kalau sampai itu terjadi, jangankan memberi maaf, melihat wajahnya saja aku tak sudi. Langkah kakiku bergerak menuju paviliun belakang, melihat apakah suamiku berada di sana atau tidak. Malam menjelang pagi yang dingin dan sepi, tak m
—PoV Author“Selesaikan!” titah Rachel pada sosok laki-laki yang sejak tadi mengamatinya sambil bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Marsel mengangkat sudut bibirnya, tampak puas dengan kinerja Rachel yang tak pernah mengecewakan.“Tentu sayang, istirahatlah, bersihkan dirimu, tunggu aku di kamar,” sahut Marsel.Tanpa memedulikan percikan darah yang mengenai baju dan wajah Rachel, Marsel memeluk mesra wanita itu, disusul kecupan singkat di bibirnya. Keduanya saling berbalas senyum lebar, merasa bangga dengan apa yang sudah mereka lewati hingga sampai di titik ini.“Aku harus menemui tua bangka itu dulu,” ucap Rachel.“Baiklah,” jawab Marsel. “Kau bahagia, hmm?” sambungnya.“Tentu, aku sangat bahagia, apalagi jika menyaksikan Kelana meraung-raung karena putri tercintanya tewas ditanganku,” balas Rachel seakan tak peduli dan tak
–PoV Author Sret, bugh!Lintang didorong sampai jatuh terjerembab. Ia meringis saat tubuh mungilnya bersentuhan langsung dengan dinginnya keramik malam ini. Lintang bingung, seingatnya tadi ia masih berada di depan mansion, mengapa sekarang di ruangan pengap dan gelap ini? Di mana Oma, Risya, dan Daren?Lintang menatap sekeliling, mencari keberadaan mereka. Namun, sejauh mata memandang ia tak menemukan siapapun di sana, selain dirinya dan manusia yang tadi mendorong tubuhnya dengan kasar.“Si-siapa ka-kamu?” tanya Lintang. Suaranya terbata-bata, ia merasakan aura mencekam dan tatapan tajam dari sosok di depannya.“Hai, Lintang, sudah lama tak bertemu, masih ingat Tante?”Deg!Lintang tahu pemilik suara itu tanpa perlu melihat wajahnya. Hanya saja, ia bingung mengapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini? Padahal, Rachel bisa datang ke rumahnya dan menemui ia, Pap
--PoV Heru“Lana, ayo dong jawab,” ucapku seraya berjalan kesana-kemari. Sudah lebih dari tiga kali aku menghubungi Kelana, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawab. Padahal, ada hal penting yang ingin kuberitahu pada mantan istriku itu. “Ahs! Sial! Aku harus ke rumahnya sekarang!”Aku bergegas menuju rumah Kelana dan Daffa yang berjarak cukup jauh, memakan waktu kurang lebih empat puluh menit untuk sampai di sana.Tepat pukul sepuluh malam, aku tiba di rumah itu. Namun, ada yang aneh menurutku, penjagaan di sana sangat ketat, entah apa yang membuat Daffa sampai mengerahkan lebih dari lima pengawal untuk menjaga rumah mereka.“Saya mau bertemu Daffa dan istrinya!” ucapku pada salah satu penjaga berbadan tegap dengan kepala plontos dan tatapan tajamnya.“Mereka sedang istirahat, Tuan, silakan kembali lagi besok,” balas penjaga itu.“Tidak bisa, ada hal penting yang h
—Flashback On“Good Job, boy.”Daren tersenyum bahagia saat Oma Meira mengangkat ibu jarinya, pertanda wanita itu puas dengan hasil kerja dirinya selama ini. Ya, sejak Risya tinggal sendiri, ia sering menyambangi rumah gadis itu untuk sekadar menemani atau mengajak Risya jalan-jalan.Sebelum mengenal Risya lebih dekat, beberapa kali Daren pernah melihatnya melamun dengan tatapan kosong. Daren ingat betul, sore itu ia tengah berjalan-jalan seorang diri, dan mendapati Risya menangis dalam diam. Saat itulah Daren mendekat dan duduk di samping kakak sahabatnya tersebut.“Kak Risya?”Risya yang menyadari kehadiran orang lain, segera menghapus air matanya. “Daren? Ngapain di sini?”“Jalan-jalan sore. Kakak ngapain? Kok sendirian? Lintang mana?”Mendengar nama Lintang disebut, tatapan Risya menajam, dan berniat pergi dari sana. Suasana hatinya menjadi lebih buruk
—PoV Kelana Daffa? Apa yang sedang dia lakukkan? Ah, sepertinya dia sedang membalasku karena kesalah-pahaman waktu itu. Tak dapat dipungkiri, hatiku terasa pedih melihat pemandangan tersebut. Namun, aku sama sekali tak ada niat menghampiri mereka, yang kulakukan saat ini adalah berjalan menjauh dengan perasaan hancur berantakan. Daffa, rupanya dia juga sama seperti lelaki kebanyakan—tak merasa cukup dengan satu wanita. Aku masuk kamar dan berbaring menyamping, mengabaikan suara pintu yang baru saja terbuka. Tak lama kemudian, aku merasakan seseorang berbaring di sampingku. Namun, aku memilih memejamkan mata dan mengabaikan kehadirannya. Di tengah temaramnya cahaya, air mataku kembali menetes. Kuakui, aku melakukan kesalahan dengan mencurigainya dan berdekatan dengan Mas Heru. Tapi, semua bisa diselesaikan baik-baik, bukan seperti ini—bermesraan dengan wanita lain untuk membalasku. Posisi tidurku yang berada di ujung dan membelakanginya membuat Daffa bergerak mendekat, ia memeluk pi
PoV Author Lintang, Daren, Risya dan Oma sudah berangkat menuju tempat yang hanya diketahui oleh Daren, Risya, dan wanita paruh baya itu. Sementara Lintang, ia tidak tahu akan dibawa ke mana, namun wajahnya tampak berseri, mengingat ini adalah pertama kali baginya pergi bersama mereka setelah sekian lama menjadi keluarga. Meskipun tidak tahu akan ke mana, itu tidak mengurangi rasa bahagia Lintang. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan bersenang-senang dengan sahabat, kakak dan sang oma. “Kak Icha, masih lama, ya?” tanya Lintang yang duduk di kursi paling belakang. Risya menoleh sekilas pada Lintang kemudian mengangguk singkat. “Iya. Kamu tidur dulu aja, nanti kita bangunin kalau sudah sampe.” Lintang tak bertanya lagi, ia menatap jalanan yang tampak asing. Terdapat pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya, Lintang mengernyitkan kening saat tak mendapati satu pun kendaraan yang lewat selain milik mereka. “Memangnya kita mau ke mana, Kak?” tanya Lintang lagi. Ia merasa penasaran,