Senin pagi aku memulai hari penuh semangat. Selain karena ini hari pertamaku bekerja setelah bertahun-tahun lamanya menjadi ibu rumah tangga, aku merasa sudah jauh lebih baik. Kurasa, luka hati yang kudapat dari Mas Heru berangsur pulih, ya bisa jadi.Selepas mengantar Lintang ke sekolah, aku bertolak menuju kantor penerbitan milik Daffa. Sesampai di sana, aku diantar oleh seorang pria menuju meja kubikel yang akan kutempati selama bekerja di tempat ini. Beberapa pasang mata menatap ke arahku, aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Aku tak mau ambil pusing dengan tatapan-tatapan mereka, toh hal begitu sudah biasa terjadi saat berstatus sebagai orang baru. Entah itu karyawan baru, murid baru, mahasiswa baru, dan yang lainnya.“Ini meja Mbak Kelana, silakan. Selamat bergabung, semoga betah, ya,” ucap lelaki yang kuketahui merupakan kepala divisi.“Terima kasih, Pak,” balasku.Sepeninggal Pak Rei, wanita berpenampilan modis mendek
“Heru, kamu gimana, sih? Kenapa Delia bisa kepleset begini? Baru aja aku tinggal sebentar.” Rachel menenangkan dengan memeluk Delia yang menangis kesakitan. “Sayang, kita ke dokter, yuk,” ajaknya. “Gak mau,” tolak Delia sembari sesenggukan. Bukannya merasa bersalah, Heru berbalik, meninggalkan calon istri dan anak tirinya begitu saja. Hal itu tentu membuat Rachel kesal. Setelah membawa Delia ke kamar, ia menyusul Heru yang sedang duduk santai di taman belakang. “Heru!” teriak Rachel. Heru mendongak sebentar, kemudian kembali acuh, memusatkan perhatiannya pada layar ponsel yang sedari tadi dalam genggaman. Kerna merasa diabaikan, Rachel merebut ponsel tersebut. Heru mendelik, perlakuan Rachel benar-benar tidak sopan menurutnya. Kelana saja, istri yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun tak pernah sekalipun melakukan hal demikan. “Balikin!” pinta Heru dingin. “Gak! Aku perlu ngomong sama kamu,” balas Rachel. Heru memalingkan wajah, ia sedang berusaha meredam amarah. Uang lima ra
Jam kerja telah berakhir, aku bersyukur bisa melewati hari ini dengan baik, ya meskipun ada beberapa drama yang terjadi, dan itu di luar ekspektasi. Tapi biarlah, namanya juga hidup, aku hanya perlu tersenyum atau tertawa saja, supaya tidak pusing-pusing amat.Pukul setengah lima sore, langkah kakiku memasuki gang sempit. Kontrakan tempatku bernaung sudah terlihat, dari kejauhan aku bisa melihat sepasang sepatu Lintang berada di depan pintu. Kupercepat langkahku, agar bisa segera bertemu dengannya.Aku lega, karena dia tak pernah lagi bertanya soal perceraian atau pun perselingkuhan, sejak aku mengatakan akan memberitahunya jika sudah besar nanti. Perihal menjemput Lintang ke sekolah pun sudah kupercayakan pada Ibu Sari—Ibu yang mengurus kontrakan, sekaligus orang kepercayaan Daffa yang kebetulan cucunya bersekolah di tempat yang sama, dan sekelas dengan putriku.Dengan senyum mengembang seraya menenteng plastik belanjaan, kubuka knop pintu. “Assalam
Malam harinya, aku sulit tidur. Pikiranku benar-benar tak tenang. Tangisan Lintang yang kulihat sore tadi terekam sangat jelas di memori. Heningnya malam menjadi saksi akan kegelisahanku. Beberapa kali aku berganti posisi, menyamankan diri dan berusaha memejamkan mata. Namun nihil, aku tetap terjaga.Aku menatap ponsel dengan pandangan ragu. Niat untuk menghubungi Mas Heru sudah ada sedari tadi, namun urung kulakukan. Aku terlalu enggan mendengar suaranya.Ah! Mana bisa aku diam begini, mengedepankan ego dan gengsi, sementara kesehatan mental anakku dipertaruhkan.Setelah memantapkan hati dan memastikan Lintang lelap dalam tidurnya, aku berjalan ke luar, sembari menggenggam ponsel di tangan.Di teras kontrakan, aku duduk sendiri seraya mencari nomor pria yang dulu tersemat di room chat whatsappku. Setelah menemukannya, kudekatkan ponsel ke telinga, menunggu panggilan itu tersambung. Perasaanku campur aduk, ini kali pertama aku menghubunginya sete
Aku terhenyak, melihat lelaki berbadan tegap berdiri di belakang Mas Heru dengan kedua tangan berada di saku celana. Daffa? Apa yang dia lakukan di tempat ini? Reflek, kudorong tubuh Mas Heru, layaknya kekasih yang tertangkap sedang berselingkuh.“Sayang…” panggil Daffa lagi.Mas Heru berbalik, memberikan tatapan tajam pada Daffa. Daffa hanya menanggapinya dengan santai, seraya menarikku agar berada di dekatnya. “Aku cariin ke rumah, gak tahunya di sini.“Daff!” bisikku seraya membelalakkan mata. Daffa merespon dengan anggukan dan senyum lembut, seolah memintaku percaya padanya.“Lana, dia siapa?” Suara Mas Heru mengalihkan fokusku.“Kenalin, saya Daffa Mahendra. Calon suami Kelana,” jawabnya mantap.Sebelum aku mengenalkan Daffa pada Mas Heru, dia memperkenalkan diri lebih dulu. Senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya, berbanding terbalik dengan Mas Heru yang menatapnya de
Namaku Rachel Tanisha Quilla, janda beranak satu yang belum lama ini memenangkan sebuah kompetisi. Ya, aku menyebutnya kompetisi. Kompetisi memenangkan hati Heru, lelaki yang merupakan mantan kekasihku dulu. Aku berhasil membuat Heru meninggalkan istrinya. Itu menjadi kebanggaan tersendiri bagiku. Entah mengapa, rasanya menyenangkan saat berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.Akan tetapi, belakangan Heru menjadi sangat menyebalkan, tak sehangat sebelumnya. Ia juga terlampau pelit. Bagaimana tidak, dia marah padaku hanya karena uang lima ratus juta. Padahal aku sangat yakin, untuk ukuran pengusaha seperti Heru, uang segitu tidak ada apa-apanya. Lagipula, dia pernah berjanji akan memenuhi semua kebutuhanku.Pertengkaran pertama kami terjadi, dan pemicunya tak lain adalah uang lima ratus juta. Aku tidak merasa bersalah sama sekali, karena dia pernah mengatakan bahwa uangnya, uangku juga. Namun, ada satu hal yang tak bisa kutoleransi, yakni caranya memperlakukan Delia
"Jadi istri saya, ya. Mau, kan?"Astaga, pertanyaan nyeleneh macam apa itu? Sepertinya, Daffa salah sasaran, dia bercanda dengan orang yang sangat amat tidak tepat."Hahahaha." Aku terbahak hingga sakit perut, sedangkan dia mengedarkan pandangan, menatap ke arah lain. "Lo yang bener aja, Daff. Mau tutor ngelamar cewek? Jangan ke gue lah, gagal romantis nanti," imbuhku menahan tawa sambil berusaha mencairkan suasana.Perlahan tapi pasti, Daffa mendekat dan berbisik tepat di telingaku. "Sebelumnya, saya gak pernah seserius ini," ungkapnya.Aku tertegun, bibirku yang tadi dengan lancarnya berkata-kata mendadak kelu. Apa ini? Kalau serius, berarti barusan dia melamarku?"Kenapa gue? Kita bahkan gak terlalu deket," tanyaku setelah berhasil menguasai diri."Kenapa bukan lo?" Balasnya.Tatapan Daffa begitu hangat. Aku mundur beberapa langkah seraya menggeleng. "Gak, Daff. Jangan gue," tolakku.Aku tak mau, hatiku belum siap menerima k
Bertepatan dengan pertanyaan itu, mobil yang dikemudikan Daffa menepi di rumah sakit tempat Mas Heru dirawat. Kesempatan tersebut kupergunakan untuk mengajak Lintang ke luar dari mobil, kami pergi meninggalkan Daffa sebelum anakku sempat menjawab pertanyaannya. "Bun, kita gak nunggu Om Daffa?" tanya Lintang. Dia tampak heran dengan langkahku yang tergesa, seperti dikejar setan. "Gak usah, Sayang, Om Daffa ada urusan," jawabku. Lintang nyaris tak percaya, kalau aku tak menunjukkan pesan singkat yang dikirim Daffa satu detik setelahnya. "Lan, sori saya gak bisa nemenin, mendadak ada hal penting yang perlu saya urus." Bagus, lah, aku jadi tak perlu berbohong dan mencari banyak alasan untuk menanggapi pertanyaan lanjutan Lintang. "Gimana? Percaya, kan, sama Bunda?" Lintang mengangguk. "Kapan kita ketemu Om Daffa lagi?" "Nanti kalau Om Daffa gak sibuk. Sekarang kita lihat Ayah, Ayah mau ketemu Lintang," ucapku sembari mengga