Saat kata-kata tak lagi didengar saat hati tak lagi saling peduli, maka masih ada Tuhan sang pemilik hati yang dengan mudah membulak balikkan hati manusia.
~ “Jangan lancang kamu, kalau anakku tidak berbaik hati menikahimu, selamanya kamu hanya akan tinggal di rumah kecil yang sempit di desa.” “Ayah, cukup! Dia istriku jangan pernah mengatakan hal buruk apa pun tentang dia!” “Berani kamu sama Ayah.” Ayah mertuaku mulai terpancing. “Maaf Ayah aku permisi, Ayo Dek kita pulang,” Mas Bagas lagi-lagi menarik tanganku kali ini sedikit lebih kasar, aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Bahkan kami belum sempat bersalaman dengan mertuaku, Mas Bagas sudah lebih dulu menarikku keluar rumah. Kugiring anak-anakku masuk ke mobil. Anak-anak tampak bingung karena biasanya mereka tidak akan pulang sebelum menyalami kakek dan neneknya. “Uma kenapa ga salaman dulu?” tanya Meisya. “Iya nih Uma, aku mau salaman sama nenek ah, yu balik lagi!” Tambah Arumi. “Waduh bagaimana dong Sayang, Uma buru-buru nih. Papah nyuruh kita harus cepet-cepet pulang,” ucapku pada anak-anak. “Ya udah deh,” ucap Arumi. Anak-anak tampak kecewa karena mereka hanya mampir sebentar, hanya Meisya yang terlihat biasa saja, mungkin karena usianya sudah bukan balita lagi, dia tak terlalu menjadikan hal ini sebuah masalah. Saat kami sudah mau keluar gerbang tiba-tiba Rinjani berteriak. “Uma, stop!” “Astaghfirrullah, kenapa De?” Mas Bagas mendadak menginjakkan pedal Rem membuat kami yang berada di dalam mobil jadi ikut terkejut. “Itu nenek lari, Uma,” kata Rinjani. Aku refleks menengok ke belakang, tanpa basa basi aku segera keluar dari mobil lalu berlari mendekat ke Ibu mertuaku. “Kenapa, Bu?” Dia tiba-tiba saja memelukku, sambil sedikit terisak. Aku tak mengerti ada apa sebenarnya. “Yang kuat ya Nak, kalaupun kamu ga kuat tinggalkan saja Bagas jangan memaksakan hatimu. Hidupmu terlalu berharga, Nak,” ucap Ibu. “Nenek,” anak-anakku berhamburan memeluk neneknya seketika dia memalingkan wajahnya ke belakang. Refleks aku membuka tas lalu menyelipkan beberapa lembar tisu ke tangannya. Ibu Dena, mertuaku langsung menerimanya lalu mengelapkan tisu itu ke wajahnya. Sepertinya Bu Dena ingin mengatakan sesuatu, tetapi karena ada anak-anak dia jadi membatalkannya. Setelah kami bersalaman kami pun pamit, kembali ke mobil lalu pulang. Sesampainya di rumah aku langsung ke kamar untuk menidurkan anak-anakku. “Dek, bisakah kita bicara sebentar,” Mas Bagas masih saja mengikutiku sampai kamar. Aku tersenyum ke arahnya, menyentuhkan jari telunjukku ke bibirku mengisyaratkan agar dia diam, karena ke dua anakku akan tertidur. Mas Bagas menurut dia keluar kamar tetapi bisa aku lihat dia terus saja mengintip di balik pintu. Setelah anak-anak terlelap aku malah ikut terlelap, hatiku lelah, terkadang tertidur bisa jadi obat mujarab untuk sejenak melupakan masalah. Saat aku keluar kamar ternyata Mas Bagas masih menungguku dia tampak gelisah walaupun televisi menyala di depannya. Hatiku terlalu sakit mengingat kejadian di rumah mertuaku, aku melewatinya begitu saja. “Dek udah bangun? Sebentar Mas mau ngomong.” Aku tak ingin menjawabnya seperti dia yang tak mau menjawabku saat aku bertanya padanya tentang tawaran poligami. “Dek, tolong jangan diemin Mas!” Aku masih diam. “Dek maafin Mas, tolong bicaralah!” Mas Bagas mulai meraih tanganku. “Ga enak ‘kan rasanya didiamkan?” tanyaku. “Ke mana suara Mas, saat aku tanya maukah mas menikahi wanita itu?” “Maafin Mas, De,” ucap Mas Bagas. “Jadi laki-laki itu harus tegas, jangan plin plan! Mas membuatku bingung. Aku terlanjur percaya kalau Mas berada di pihakku, tapi apa yang mas lakukan tadi menunjukkan seolah Mas ada di pihak Ayah.” “Mas ga akan nikahin Ria De, percaya sama Mas!” kata Mas Bagas. “Siapa Ria? Apa itu panggilan spesial untuk perempuan itu?” Lagi-lagi Mas Bagas hanya bisa terdiam. “Beneran De, Mas cuma cinta sama kamu,” ucapnya. “Aku tak menanyakan soal cinta Mas padaku, kenapa? Mas takut kalau aku tahu bahwa sejujurnya Mas telah berubah pikiran,” tanyaku. “Engga gitu, De,” jawabnya lagi. “Jangan mencoba berbohong padaku! Seandainya Mas mengatakan hal ini tadi, di depan semua orang, maka aku akan mempercayainymenc “Tapi, Mas ga cinta sama dia,” Mas Bagas mencoba meyakinkanku. Aku meletakkan telapak tanganku di dada bidang Mas Bagas. “Yakinkan hatimu dulu Mas, benarkah Mas tidak pernah mencintainya? Baru setelah itu mas bisa meyakinkan orang lain. Aku permisi.” Tak lupa aku berikan senyuman termanis untuk suamiku, lalu pergi dari hadapannya. “Ra, bisakah kita ketemu? Aku Riana.” Sebuah pesan dari nomor baru masuk dari ponselku. Kukirimkan alamat rumahku. “Datanglah ke rumahku bukankah dulu kita teman dekat, ada banyak yang ingin aku bicarakan padamu!” balasku. “Hallo Ra, kenapa ga di luar aja?” Tiba-tiba saja dia meneleponku. “Anakku 3, terlalu repot membawanya pergi bersamaku, sedang kita akan membicarakan hal yang tak seharusnya di dengar oleh anak-anakku.” “Baiklah besok aku datang.” ~~“Apa yang mau kamu bicarakan Riana?” tanyaku pada Riana. Sesuai janjinya kemarin, dia datang ke rumahku. Mas Bagas sedang pergi ke kantor, padahal aku berharap bisa bertemu dengan mereka sekaligus. “Kiran, izinkan aku menikah dengan suamimu!” pintanya. “Apa yang kamu katakan?” Aku refleks tersenyum ke arahnya. “Apa kamu ke sini untuk meminta restu?” tanyaku. “Bukan restu Kiran, aku ingin Mas Bagas jadi milikku seutuhnya!” ucapnya lantang. Aku jadi merinding menyaksikan seorang wanita cantik, berpendidikan dan kaya raya terang-terangan meminta suami temannya. “Apa alasanmu?” Aku harus mengetahui alasan apa yang membuatnya senekat itu. “Aku mencintainya Kiran aku yakin dia juga masih mencintaiku. Aku menyesal memilih karier dari pada menikah dengannya sehingga dia memilih perempuan sembarangan untuk menjadi istri.” Apa katanya? Aku perempuan sembarangan? Dia memang orang kaya tapi benar-benar miskin adab. “Mau ke mana?” tanyanya saat aku berdiri hendak menyuguhkannya minuman. Aku sampai lupa menjamunya, tetapi tujuanku sebenarnya hanya ingin meredam emosiku untuk sesaat. Mendengar penuturannya sungguh membuatku panas. “Mau bikin minum untukmu? Kenapa, mau ikut juga?” tanyaku. Entah kenapa dari dulu aku merasa dia selalu mengikutiku, bahkan sampai sekarang kami harus jatuh cinta pada pria yang sama. Aku menghargainya, karena kita dulu pernah dekat, tapi dia dengan tidak tahu diri berbicara tanpa memikirkan perasaanku. Setelah membuatkannya es sirop aku membawanya ke ruang tamu. “Bagaimana, kamu bisa ‘kan melepaskan Mas Bagas buat aku?” tanyanya. “Tidak akan pernah, selamanya dia hanya akan jadi suamiku.” Aku sedikit menekankan suaraku. “Kenapa, bukankah dari dulu kamu tidak keberatan aku meminta apa pun darimu?” tanya Riana. “Suamiku bukan barang, pergilah bukankah kamu itu kaya? Apa orang kaya sepertimu masih kekurangan pria?” tanyaku, aku sudah terlanjur emosi. “Kamu ngusir aku?” tanyanya “Apa aku harus berbaik hati pada calon perusak rumah tanggaku?” tanyaku pada Riana. “Oke aku pergi, lihat saja nanti aku akan merebut Mas Bagas dari kamu!” Setelah mengancamku Riana langsung pergi dari rumahku. Dari dulu dia selalu meminta barang milikku. Dia tak segan untuk memintanya dariku. Selain itu dia selalu berusaha menyamaiku bahkan sering kali dia membeli tas, buku dan peralatan sekolah lain yang gambarnya sama dengan punyaku. Aku melihat satu teko sirup yang baru saja kubuat. Dia bahkan tak sedikit pun meminum minuman yang kusuguhkan. Glek!“Uma, kenapa minumnya di teko?” tanya Arumi tiba-tiba saja dia sudah berada di belakangku. Aku sampai tersedak, karena terkejut sekaligus bercampur malu karena kelakuan konyolku meminum sirop langsung dari tekonya.Ya ampun, malunya aku. “Arumi Sayang, jangan di tiru ya, oke!” “Memangnya kenapa, Uma? Uma aja minum di teko?” “Iya, ini Uma haus banget jadi Uma ga tahan langsung minum dari teko, tapi Arumi ga boleh ngikutin Uma. Itu enggak sopan Sayang, apa lagi ngelakuinnya di depan orang,” jelasku. “Kalau lagi sendiri boleh, Uma?” “Tidak boleh!” ucapku “Loh, kok Uma marah,” tanya Arumi. “Enggak Sayang, Uma enggak marah. Ayo pergi ke dapur aja ya, Uma bikini Arumi sirop, mau?” Aku mengusap kepala anak keduaku dengan lembut. “Iya mau, Uma,” ucap Arumi kegirangan. Alhamdulillah selamat, untung saja sirup ini menyelamatkanku. Bagaimana bisa aku berbuat sekonyol itu? Setelah membuatkan Arumi sirup tiba-tiba Mas Bagas sudah pulang dari kantornya dia langsung berhambur memelukku di dapur. Untung Arumi sudah pergi dari dapur jadi aku dan Mas Bagas jadi leluasa melakukan appoligam “Kenapa ini, dateng-dateng kok meluk?” tanyaku. “Bolehkah Abang poligami, Dek?” tanyanya. Aku refleks melepaskan pelukannya namun dia semakin erat memelukku. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu berkali-kali sebelum menikah? Mas berjanji tidak akan mengingat masa lalumu lagi, tapi apa ini Mas?” tanPoliga “Tidak masalah kalau kamu tidak mau aku tidak akan melakukannya,” kata suamiku. “Poligami atau tidak kenyataannya hatimu sudah medu, Mas,” ucapku. Perlahan Mas Bagas mulai melonggarkan pelukannya. “Aku tak pernah mau tahu siapa mantanmu, karena aku tak peduli pada masa lalumu lagi setelah kau berjanji akan melupakannya, tapi hari ini ke mana janji itu?” tanyaku. “Maafkan Mas Dek, Mas enggak bisa mengabaikan Riana begitu saja,” ucap Mas Bagas. “Mas yakin itu cinta atau sebenarnya itu hanya godaan setan?” tanyaku. “Jangan serakah Mas, apa ada jaminan Riana bisa melahirkan anak laki-laki?” “Atau kalian sebenarnya hanya ingin bersenang-senang mengatasnamakan ikatan poligami yang suci?” tanyaku. Mas Bagas terdkalia “Pikirkan baik-baik, MasKutinggalkan Mas Bagas sendirian di dapur. Memilih pergi ke kamar tak lupa untuk menguncinya dari dalam. Aku berdiri bersandar di pintu. Rasanya untuk menopang bobot tubuhku pun aku tak sanggup. Aku pergi ke ruang Ibadah, dadaku mendadak sesak. Aku masih punya Tuhan, tak ada salahnya bukan kalau aku meminta pada-Nya untuk tetap menautkan hati suamiku hanya padaku.Kunyalakan shower, membiarkan air mengguyur membasahi tubuh. Semua kenangan manis bersamanya kembali terlintas. Menolaknya pun sulit aku tak dapat mengendalikan otakku untuk berhenti memutar kenangan indah bersamanya. Saat dia memintaku untuk menjadi istrinya saat dia mengucapkan ijab qabul di depan orang tuaku lalu berjanji untuk sehidup semati bersamaku, kenangan itu, apakah semua itu semu?“Kiran, buka pintunya sudah 2 jam kamu di dalam, nanti masuk angin! Anak-anak nyariin Umanya,” teriak Mas Bagas dari balik pintu. Benarkah aku sudah
Aku pikir semuanya bisa berjalan mudah seperti yang ada dalam pikiranku. Ternyata dia malah main belakang. Hari itu aku pergi mengajak anak-anakku ke pasar dadakan di hari minggu pagi. Entah sudah berapa bulan aku tidak pernah ke tempat ini. Padahal masih satu kota jarak yang harus di tempuh dari rumahku hanya sekitar 30 menit tapi rasanya jauh sekali. Mas Bagas bilang dia sedang di luar kota baru akan pulang nanti sore dari pada menunggunya tanpa ada kegiatan lebih baik mengajak anak-anak keluar, aku pergi menggunakan taxy online. Aku tak pandai mengendarai mobil, terlalu ribet menyuruh sopir untuk mengantarku jalan-jalan.“Uma, sini!” tiba-tiba Meisya menarik tanganku.“Liat Uma, itu Abi ‘kan?” bisiknya di telingaku sambil menunjuk pada sepasang kekasih yang tengah duduk sambil bersuapan makanan. Memalukan, apa kamu harus melakukannya di tempat umum begini, hingga harus di saksikan anak-anakmu? Kuambi
“Aku pergi Mas, kamu enggak usah anter aku, mungkin kita butuh jarak dan waktu untuk berpikir. Pikirkan baik-baik jangan membuatku bingung,” lirihku. Anak-anak sudah duluan menunggu di halaman rumah, kucium punggung tangan Mas Bagas dengan takzim. Bagaimana pun dia tetap imamku. Mas Bagas enggan melepas genggamannya di lenganku.“Lepaskan Mas, aku tak akan pergi kalau saja kamu bisa tegas! Keraguanmu yang membuatku tidak lagi merasa aman berada di dekatmu,” ucapku.“Maaf Kiran, Mas salah,” lagi-lagi dia meminta maaf.“Salah itu milik semua orang, Mas. Belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaiki diri hal itu tak dimiliki semua orang.” Kuberikan senyumku pada Mas Bagas sambil perlahan melepaskan genggamannya. Aku pergi ke rumah Ibu bersama anak-anak, masih satu kota, kami hanya perlu menempuh waktu sekitar 45 menit dari rumahku. Sepanjang perjalanan Meisya lebih banyak di
Pagi itu saat hendak pergi terapi mendadak tubuhku rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Jiwaku memang sakit tapi tak seharusnya fisikku ikut merasakan dampaknya.Terpaksa kubatalkan jadwal terapiku, karena sudah terlanjur libur, Mas Bagas merawatku, dia bahkan mau memijat badanku meskipun setelahnya dia memanggil tukang pijat untuk datang ke rumah.Harapanku ini akan jadi awal yang baik, orang bilang sakit itu pelebur dosa, semoga sakitku kali ini juga jadi pelebur rasa cinta yang tak seharusnya tumbuh dihati suamiku.“Dek kamu salah makan apa gimana?” tanyanya saat tukang pijat selesai melakukan tugasnya padaku.“Ga tahu, Mas,”“Maafkan Mas ya ini pasti gara-gara Mas, kamu jadi telat makan sampe ngedrop kayak gini,”“Udahlah Mas, asalkan Mas tidak mengulanginya lagi aku sudah pasti memaafkanmu,” ucapku.“Tidurlah Dek, biar anak-anak aku yang jaga, besok pakai babby si
Hari yang ditunggu itu pun tiba aku melakukan USG betapa bahagianya aku saat mendengar dokter mengatakan bahwa jenis kelamin janinku laki-laki. Berkali-kali Mas Bagas menciumku. Kami sangat bersyukur setelah penantian yang panjang akhirnya Tuhan mengizinkan kami merawat bayi laki-laki.“Maaf Bu, sepertinya ada sedikit masalah pada janin yang ibu kandung,” ucap Dokter.“Maksudnya, Dok?” tanyakuJantungku mendadak berpacu sangat cepat. Ada apa dengan janinku?“Ada abnormalitas pada janin ibu, terdapat kelebihan cairan di bagian belakang leher, ibu bisa lihat di layar USG,” ucap Dokter sambil tangannya menunjuk ke layar USG.“Saya enggak ngerti Dok, maksudnya bagaimana anak saya kenapa?” tanyaku tak sabar.“Sabar sayang, biar dokter jelasin dulu,” Mas Bagas mencoba menenangkanku.“Gini Bu ada kemungkinan janin ibu mengalami down syndrome, untuk lebih jelasnya lagi ibu bisa lakukan beberapa test, untuk hasil yang lebih akurat,” ucap
Tengah malam Mas Bagas baru sampai rumah, penampilannya begitu acak-acakkan, kusambut dia dengan senyuman tak lupa dengan segelas susu hangat kesukaannya. Tanpa jeda dia menghabiskan susu yang kusuguhkan, dengan hanya beberapa kali tegukan, dapat kulihat amarah masih tampak dari wajahnya. Aku suruh dia beristigfar berkali-kali hingga dia merasakan sedikit lebih tenang. Entah apa yang terjadi di rumah mertuaku, hingga membuat suamiku seemosi ini. “Dia itu dari dulu bisanya cuma ngancem Dek, kesel Mas, ibu juga bisanya diem aja udah disakitin berkali-kali masih aja bertahan,” ucapnya. “Mas, begitulah perempuan yang punya cinta yang murni dan tulus, jangankan rasa sakit logika pun ga akan di pake,” ucapku. “Dek, apa rasanya sesakit ini, pengkhianatan ini, apa yang Meisya rasakan sesakit ini?” tanya Mas Bagas. Kubalas dia dengan senyuman, memberinya jeda untuk berpikir kesalahannya. “Syukurkah kalau Mas bisa ngambil hikmah dari kejadian
Pov BagasDia Kirana, wanita yang kunikahi 12 tahun yang lalu ibu dari ketiga putriku dan sebentar lagi kami akan diberi amanah yang keempat. Aku tak peduli jika calon anakku akan lahir dalam keadaan istimewa. Dia tetaplah anakku.Cukup Abangku yang merasakannya sampai mati pun aku tak akan pernah berlaku sama dengan Ayah. Membuang darah dagingnya sendiri. Kesalahan yang kulakukan padanya terbilang fatal. Godaan wanita masa laluku hadir kembali. Kirana bilang hanya ada dua hal yang mungkin terjadi ketika kita bertemu orang yang pernah mengisi hati kita di masa lalu jatuh cinta lagi atau hanya sekedar rindu. Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali, tapi lagi-lagi gagal. Hingga Kiran meninggalkanku sendirian di rumah, bisa kurasakan kesepian yang mendalam terjadi di sini, dihatiku.Aku berjanji tidak akan lagi membuatmu ragu meskipun kutahu semuanya tak akan semudah dulu kamu bahkan mengajukan surat perjanjian, yang bisa kulakukan hanya menuruti apa maunya. Dia terlalu berarti dalam hid
Pov BagasMeisyaa, no Sayang! Itu namanya kekerasan.” Kiran memeluk Meisya dengan erat.Kulihat Meisya menghentikan jalannya. Dia membukas toples itu lalu memakan kukis di dalamnya dengan cepat dapat kudengar gertakan giginya yang sepertinya sengaja dia hentakkan, sambil menatap tajam ke arah Riana dia terus saja memakan kukis itu lalu membawanya sampai ke kamar.Jujur saja di tengah kepanikan ini aku ingin tertawa dasar anak kecil bisa-bisanya makan kukis padahal habis jambak orang. Setelah dipeluk Kiran, Meisya pun pergi ke kamarnya. Sedang Kiran menemaniku menemui Riana.“Mau apa kamu kesini?” tanyaku pada Riana.“Aku mau minta kejelasanlah, berapa hari kamu enggak ngontak aku.” tanya Riana.“Untuk apa dia ngontek kamu? Itu artinya kamu sudah di buang,” ucap Kirana. Menyaksikan dua wanita memperebutkanku rasanya seketika aku merasa jadi manusia terganteng sedunia.“Sudah, sudah kamu pergi aja Riana jangan ganggu keluargaku lagi! Mulai hari ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi,
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha