Aina melajukan motornya menuju bank untuk mengambil uang pembayaran warung bakso, Kamal susah ditelponnya untuk langsung menuju bank yang dimaksud, dia tentu tidak berani melakukan transaksi uang yang sangat besar menurutnya jika sendirian. Setelah dari bank, Kamal mengambil alih menyetir motor, Aina cukup membonceng di belakang, gadis itu sungguh terkejut ternyata saldo di tabungan yang diberikan suaminya berjumlah seratus dua puluh tujuh juta rupiah. Baru enam bulan dia menikah, nafkah dari suaminya sudah sebanyak itu? Ini benar-benar di luar ekspektasinya. Begitulah Aina si gadis desa yang lugu itu, kehidupannya yang miskin dahulu membuatnya tidak pernah membayangkan akan memiliki uang sebanyak itu, dia mungkin akan lebih terkejut jika mendapat secuil saja warisan dari ayah kandungnya. Setalah melakukan pembayaran warung bakso, Aina langsung menuju ke kampus untuk kuliah, hari ini warung bakso akan dibuka oleh Ihsan dan Kamal jam satu siang, pagi ini jadwal mereka kuliah, sedang
Aina menghentikan motornya tepat di depan warung bakso, warung sudah di buka, ketiga temannya sudah berada di warung. Anisa menyambut kedatangan mereka dengan bersedekap dada."Kenapa kau bawa cowok Cemen ini ke sini?" tegur Anisa sambil melototkan matanya pada Haris, jelas sekali gadis ini tidak suka."Ambilkan kotak obat sana! Kau sudah memukul anak orang sampai berdarah," jawab Aina sambil menarik tangan Haris memasuki kedai."Loh, Bang Haris? Kenapa muka Bang Haris?" ujar Kamal dengan takut-takut."Hei, bocah? Kau kenal denganku?" tanya Haris masih dengan mode sombongnya."Siapa junior yang tidak kenal denganmu? Haris si mahasisiwa abadi," jawab Aina mendudukkan Haris di salah satu bangku di sana."CK, keterlaluan kau Kakak Ipar! Kau ingin membuatku marah lagi?" geram Haris Anisa sudah mendapatkan kotak obat dan menaruhnya di meja dengan kasar, Haris menatapnya, mendelik kesal."Apanya yang keterlaluan? Semua orang sudah tahu lagi, kau dan gengmu itu mahasisiwa abadi, bentar lagi
"Oke, di kost-ku ada beberapa contoh skripsi yang dulu kubuat, untuk jurusan ekonomi ada jurusan akuntansi, management dan bisnis keuangan__""Bisnis keuangan, yah itu jurusanku," potong Haris bersemangat "Oke, ada dua skripsi di jurusan itu, kita ambil itu aja, judulnya biarlah sama, cuma tempat penelitian kita kan beda, ngolah datanya juga beda, jadi tidak bisa dibilang plagiat.""Oke, baiklah ... Kapan aku akan menerima proposalnya?""Dalam tiga hari ini.""Secepat itu? Oke ... Oke ... Baiklah, semakin cepat semakin baik, agar aku cepat sidang skripsi."Haris menatap Anisa dengan binar bahagia, biarlah pertemuan pertamanya dengan gadis ini wajahnya babak belur, asalkan dia mendapatkan solusi untuk masalah terbesar dalam hidupnya saat ini.****Sementara itu, Dave membuat Steven sibuk seharian. Lelaki tua itu mengajak Steven mencari rumah yang akan ditinggali Nur dan Dito nanti sore. Setelah Dave menjemput Nur dari rumah keluarga Latief, Dave harus menyediakan tempat tinggal untuk
"Bicara apa kau, Steven. Melanie mau kau ke manakah? Maaf, Burhan ... Steven ini memang suka becanda kelewatan, dia sudah memiliki tunangan sebentar lagi akan menikah. Maksud kedatangan kami ke mari adalah___""Ya, sudah. Ayo kita masuk dulu, mari mister Dave ... Mister Steven, kita bicara di dalam saja," potong Burhan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu.Setelah Dave dan Steven duduk di sofa ruang tamu, Nur bergegas datang ke ruang tamu, dia duduk di anak sofa yang berada di pojok ruangan. Melihat itu mata Burhan langsung mendelik, dia benar-benar tidak suka dengan sikap babu yang tidak tahu diri seperti ini."Mau apa kamu? Ada tamu bukannya bikin minum, sana! Malah ikutan duduk di sini," hardik Burhan."Oh, biar bibik Nur di sini, biar saya saja yang buat minum, kalian santai saja tidak perlu sungkan," ujar Halimah langsung bangkit dan menuju ke dapur."Apa-apaan kau, Halimah!"Burhan terlihat sangat gusar dan marah pada istrinya. Dari dulu Halimah ini kelewat baik, Sampai me
"Apa? Ternyata Hasan selama ini menikah dengan Aina si anak pembantu ini? Anak yang jelek itu? Ya, Tuhan ... Apa yang ada dipikiran anak brengsek itu!"Gigi Burhan bergemelatuk menahan marah, sementara Dave dan Steven saling berpandangan, mereka tidak mengerti dengan perkataan Burhan. Anak yang jelek? Kurang ajar juga ni orang mengatai anaknya jelek, batin Dave."Burhan, tarik kembali perkataanmu. Sudah kubilang tadi, Aina itu anak kandungku. Tidak patut berkata seperti itu, apalagi kita sudah menjadi besan," ujar Dave "Bukan seperti itu, mister Dave. Aku hanya tidak percaya Aina adalah putrimu," keukeuh Burhan."Apa yang terjadi, Nur?" tanya Dave akhirnya pada Nur.Wanita itu dari tadi hanya duduk terpaku, bingung mau mengatakan apa. Nur menghela napas berat, dia menatap satu-persatu orang yang duduk di sofa ruang tamu."Sekarang diminum dulu tehnya, hal itu bisa ditanya sama orangnya langsung, sebentar lagi mereka datang." Halimah muncul dengan nampan ditangannya.Nur bernapas lega
Laura yang baru pulang ke Bandung selama tiga hari terkejut mendengar kabar yang disampaikan ayahnya. Kakeknya akan menikah? Betapa kecewanya gadis itu mendengar kabar itu, usia kakeknya yang sudah tua menurutnya sudah tidak wajar membina rumah tangga baru. Apalagi kakeknya itu juga berbohong padanya, bilangnya mau menyelesaikan masalah dengan pamannya, Steven. Alih-alih malah mau menikah ."Are you seriously, Dad? What? Grandpa will merried?""Yes, dear ... Acaranya hari Kamis besok. Ini Daddy akan mengurus surat NA di kelurahan," jawab Duke.Evi dan putrinya yang mendengar itu sangat kecewa dengan tanggapan lelaki di depannya yang terlihat santai menghadapi masalah ini."Apakah kau setuju dengan Daddy, Hubbie?" tanya Evi serius."Ya, apalagi? Aku mana bisa menentang keputusan Daddy. Jika menikah membuatnya bahagia dan panjang umur apa salahnya?""Dengan siapa Grandpa mau menikah?" "Dengan kekasihnya, your Grandpa say, she is his women dua puluh tahun yang lalu, mereka baru saja ber
Selain Aina dan Hasan yang sibuk mengurusi pernikahan Dave dan Nur, Steven juga ikut sibuk, dia juga meminta ijin dua hari mengurusi pernikahan orang tuanya itu. Dave yang tinggal sementara di rumah Steven hanya bersantai setiap hari, dia sudah menyerahkan semua urusan pada menantu dan anak-anaknya. Steven lebih sibuk sebagai supir yang mengantar pesanan atau mengantar Aina ke tukang rias pengantin atau ke chatering. Dave sebenarnya ingin tinggal serumah dengan Nur, tetapi dia sadar jika belum sah menjadi suami istri, tetapi setiap hari dia akan mengunjungi wanita itu walau hanya satu jam saja dan yang sibuk mengantar adalah Steven. Kadang kala ketika malam tiba, dia melihat ayahnya itu tengah menelpon seseorang dengan durasi yang lama membuat telinganya sakit, tatkala mendengar derai tawa dan kata rayuan dari bibir lelaki tua itu, ayahnya seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, dasar bucin! Tak ayal pemandangan itu membuat Steven iri, dia pria mapan berumur tiga puluh ta
Ketika Steven naik ke lantai atas, di kamar ada Aina dan Anisa yang sibuk berdandan sendiri sedangkan Nur tengah didandani oleh seorang perias. Aina dan Anisa tertawa dengan bahagia karena salah memakai beberapa make up, sebentar-sebentar bertanya pada perias kegunaan alat-alat make up tersebut. Steven mengetuk pintu dengan pelan, spontan Aina membukakan pintu, gadis itu tersenyum ceria melihat lelaki di depannya."Abang? Sudah datang? Ada apa?""Kakak kita yang dari Bandung sudah datang," ujar Steven."Kakak kita?" Aina sedikit kebingungan."Kak Duke, ayahnya Laura.""Oh??""Mana Ayah?""Di kamar sebelah sama Bang Hasan, aku panggilkan dulu, ya?"Aina bergegas melangkah ke pintu kamar sebelah yang jaraknya cuma lima langkah, Steven mengikutinya di belakang, setelah mengetuk, pintu segera terbuka, muncul Hasan yang memakai baju batik warna merah marun pres body, sungguh pria di depannya ini, seolah-olah dia adalah model pakaian yang tengah digunakan di atas catwalk, kapan suaminya ter
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b