Dave sampai rumah Steven langsung masuk ke kamar, koper dan tas kerjanya dia serahkan pada Steven untuk membawakannya. Lelaki tua itu langsung berbaring di ranjang nomor dua yang berada di kamar sempit itu."Yakin ayah mau nginap di sini?" tanya Steven setelah meletakkan koper dan tas kerja ayahnya di lantai."Iya, kenapa? Kau keberatan?" gumam Dave "Kamar ini terlalu sederhana, Ayah. Tidak seperti kamar hotel yang mewah. Kamar ini hanya berukuran 3x4 m, kasurnya juga sempit, hanya ada lemari satu pintu. Apa ayah bisa tinggal di kamar seperti ini? Kamar ini tidak ada seperempatnya kamar Ayah di Bandung.""Aku kan cuma sementara tinggal di sini, sampai dapat rumah yang lebih layak," ujar Dave dengan menelungkup kan wajahnya ke bantal."Apa maksud Ayah? Apakah Ayah berniat tinggal di kota ini?" Steven terkejut, dia segera duduk di bangku kecil di sudut kamar, menatap ayahnya yang santai berbaring."Iya, apa kau keberatan? Aku akan mencari rumah sendiri, tidak akan tinggal menumpang di
"Dia masih kuliah, seorang mahasisiwa. Kau bahkan sangat mengenalnya, Steven. Dia mahasiswamu.""What? Dia mahasiswiku? Dari mana ayah tahu? Siapa dia?"Wajah Steven menegang, jangan sampai ... Jangan sampai ... Hanya satu wajah dipikirannya kini, wajah yang selalu meruntuhkan iman dan kredibilitasnya, hanya dia yang telah menikah, bahkan hanya dia yang membuat Steven selalu berpikiran abnorma sebagai pendidik, diam-diam ada keinginan yang begitu kuat untuk menghancurkan rumah tangga gadis itu."Dia ... Dia gadis yang kutemui disaat bersamamu di mini market kemarin, gadis cantik yang membuatku marah, karena aku memergoki kau menatapnya dengan penuh cinta."Byaaaarrrrr!!!!Buyar sudah pikiran Steven, apa yang ditakutinya ternyata jadi kenyataan. Aina ... Adiknya? Adik satu ayah dengannya? Aish, becanda orang tua satu ini!"Apa yang kau bilang Ayah? Kau mau menyebut Aina itu anak kandungmu! Dia satu ayah denganku, begitu? Kalau bercanda jangan kelewatan, Ayah!" bentak Steven tidak teri
Aina masih berbaring dengan malas, dia sungguh belum bisa bangkit dari rasa keterkejutannya mendengar kabar tentang siapa ayah kandungnya, ini sangat tiba-tiba dan mendadak, otaknya benar-benar belum bisa mencerna semua ini. "Apa kau sudah siap bertemu dengan ayah kandungmu, Sayang?" Suara lembut suaminya terdengar berbisik di telinganya, lelaki itu masih memeluknya erat dari belakang. "Bagaimana, Sayang?" Aina menghela napas berat tatkala suaminya bertanya kembali. "Mau tidak mau kau harus menghadapi ini, terimalah kenyataan ini, Abang akan selalu berada di sampingmu, mendukungmu." Aina hanya mengangguk tak berdaya, percuma bilang tidak, suaminya sepertinya akan selalu membujuknya agar mau membuka hati untuk lelaki yang telah menjadi klien pentingnya itu. "Kau tidak perlu kuatir, mister Dave itu orang yang baik, Steven juga orang yang baik, kau pasti lebih tahu dari Abang, Steven akan menjadi kakak lelakimu yang baik. Cepat atau lambat kalian akan bertemu juga, kenapa musti
"Mak, ada tamu. Tuan Dave," ujar Dito Nur yang tengah mengelap meja makan tertegun, dia tiba-tiba gelisah, dadanya berdebar luar biasa. Biarpun sudah bertemu dengan lelaki itu kemarin, namun debaran itu masih juga singgah tak bisa dikendalikan. Usianya sudah tua sekarang, tetapi kenapa tingkahnya justru seperti remaja labil yang pertama kali mengenal cinta."Dengan siapa dia datang?" tanya Nur dengan suara berbisik."Dengan lelaki muda, sepertinya anaknya soalnya wajahnya mirip seperti bule juga," jawab Dito "Ya, sudah. Kau panggil Abang sama kakakmu di atas ya?" Dito segera berlari menaiki tangga memanggil Hasan dan Aina sedangkan Nur segera merapikan penampilannya dan berjalan dengan langkah yang canggung menemui tamunya.Di ruang tamu, kedua tamu itu sudah duduk di sofa panjang. Steven menggerakkan kakinya dengan gerakan teratur, wajahnya tertunduk dan tangannya bersedekap. Dave sendiri hanya duduk bersandar di sofa, dia tengah mengatur perasaan, bagaimana pertemuan yang akan be
Dave dengan perlahan mendekati Aina, mata gadis itu menatap lelaki tua itu tidak berkedip, tatapan mata Dave terlihat sendu, ada berbagai perasaan rindu dan bersalah kepada putri yang baru ditemukannya ini. Aina hanya mampu bergeming, dia tidak menghindar juga tidak menyambut ayah kandungnya yang terus mendekat padanya. "Aina, putriku .... Please, forgive me. Maafkan Ayah, Ayah sungguh tidak tahu keberadaannya. Maafkan Ayah yang telah menyia-nyiakan waktu yang begitu lama tanpa mengenalmu. Maafkan Ayah, my dear ...." Ucapan Dave yang lemah lembut dan bergetar itu, membuat perasaan Aina membuncah. Dia tidak bisa mengacuhkan lagi lelaki ini yang tampaknya tulus kepadanya. Tanpa terasa air mata Aina mengalir begitu saja, dia tidak menyadarinya hingga tidak berusaha mengusapnya. "Ini bukan salah Ayah ... Ayah tidak salah. Ini sudah takdir, tidak ada yang salah di sini. Ayah, berhentilah meminta maaf," ujar Aina dengan suara bergetar. Dave sangat terharu mendengar ucapan putrinya, dia
"Sekarang Aina sudah menjadi anak ayah, maka ayah akan mengadakan resepsi pernikahan kalian, undang semua teman dan kerabat. Bagaimana kalau resepsinya di hotel? Sekalian acara ijab qobul ayah sama ibu kalian," ujar Dave."Kalian yang akan menikah, kenapa kami yang mengadakan resepsi?" tanya Aina sambil bercanda."Kami sudah tua, tidak butuh resepsi, yang penting sah sebagai suami istri sudah cukup. Tetapi kalian masih muda, banyak momen yang harus kalian ukir, pesta pernikahan akan menjadi momen paling indah dalam hidup kalian nantinya," jawab Dave."Bagaimana, Bang?" Aina melihat ke arah suaminya, meminta pendapatnya."Tentu, bukankah Abang sudah janji, jika proyek pembangunan pabrik sudah selesai, Abang akan mengadakan pesta pernikahan kita," jawab Hasan."Kan ini belum selesai, baru juga mulai proyeknya.""Tentu proyek bakal selesai, Abang tidak perlu kuatir kehilangan investor sekarang, karena investornya adalah mertua abang sendiri.""Jadi deal ya? Kalian akan mengadakan resepsi
Aina melajukan motornya menuju bank untuk mengambil uang pembayaran warung bakso, Kamal susah ditelponnya untuk langsung menuju bank yang dimaksud, dia tentu tidak berani melakukan transaksi uang yang sangat besar menurutnya jika sendirian. Setelah dari bank, Kamal mengambil alih menyetir motor, Aina cukup membonceng di belakang, gadis itu sungguh terkejut ternyata saldo di tabungan yang diberikan suaminya berjumlah seratus dua puluh tujuh juta rupiah. Baru enam bulan dia menikah, nafkah dari suaminya sudah sebanyak itu? Ini benar-benar di luar ekspektasinya. Begitulah Aina si gadis desa yang lugu itu, kehidupannya yang miskin dahulu membuatnya tidak pernah membayangkan akan memiliki uang sebanyak itu, dia mungkin akan lebih terkejut jika mendapat secuil saja warisan dari ayah kandungnya. Setalah melakukan pembayaran warung bakso, Aina langsung menuju ke kampus untuk kuliah, hari ini warung bakso akan dibuka oleh Ihsan dan Kamal jam satu siang, pagi ini jadwal mereka kuliah, sedang
Aina menghentikan motornya tepat di depan warung bakso, warung sudah di buka, ketiga temannya sudah berada di warung. Anisa menyambut kedatangan mereka dengan bersedekap dada."Kenapa kau bawa cowok Cemen ini ke sini?" tegur Anisa sambil melototkan matanya pada Haris, jelas sekali gadis ini tidak suka."Ambilkan kotak obat sana! Kau sudah memukul anak orang sampai berdarah," jawab Aina sambil menarik tangan Haris memasuki kedai."Loh, Bang Haris? Kenapa muka Bang Haris?" ujar Kamal dengan takut-takut."Hei, bocah? Kau kenal denganku?" tanya Haris masih dengan mode sombongnya."Siapa junior yang tidak kenal denganmu? Haris si mahasisiwa abadi," jawab Aina mendudukkan Haris di salah satu bangku di sana."CK, keterlaluan kau Kakak Ipar! Kau ingin membuatku marah lagi?" geram Haris Anisa sudah mendapatkan kotak obat dan menaruhnya di meja dengan kasar, Haris menatapnya, mendelik kesal."Apanya yang keterlaluan? Semua orang sudah tahu lagi, kau dan gengmu itu mahasisiwa abadi, bentar lagi