Aku melangkah gontai memasuki gerbang lokalisasi. Tampak orang-orang tengah berkerumun di depan rumah Nek Iyah, aku tergesa ingin melihat apa yang terjadi.
"Ada apa, Mbak Lili?" tanyaku pada Mbak Lili yang juga ada di situ.
"Aina ... kau sudah pulang? Itu Ai, itu ... Wak Iyah meninggal dunia," kata Mbak Lili dengan nada sedih.
"Apa? Nek Iyah meninggal dunia? Innalillahi Wa innailahi rojiun ...," kataku sambil tergesa masuk rumah menyibak kerumunan.
Tampak jenazah Nek Iyah ditutipi kain panjang. Mamak dan Dito ada di dekatnya. Beberapa penghuni kompleks hanya duduk-duduk saja. Aku segera memeluk Mamak, menangisi kepergian Nek Iyah. Mulai saat ini, kami tidak tahu lagi nasib kami mau seperti apa tanpa Nek Iyah. Selama ini hanya Nek Iyah yang melindungi keberadaan kami di sini, semua penghuni kompleks masih menaruh rasa segan pada Nek Iyah.
Jenazah Nek Iyah dimandikan oleh orang di luar kompleks, Bang Rojak yang mencarinya. Setelah di mand
"Ah, coba kau tanya, Bos. Perawannya musti cantik apa nggak? Jelek mau gak dia?" tanya anak buahnya yangn lain lagi.Deggg.Aku terkejut mendengar perkataan itu, tiba-tiba tanganku bergetar. Aku memeluk kaki ketakutan, kalau gelisah seperti ini aku alan lebih nyaman jika aku akan memilin-milin bajuku hingga kuwel-kuwel."Iya, kutanya dulu ... halo toke Pardi, numpang tanya, perawan yang toke cari apakah wajahnya musti harus cantik? Ooo ... iyo, iyo.""Bagaimana, Bos?""Gak perlu cantik, yang penting lobangnya masih orisinil," kata Samadin"Nah ... kalau yang gitu, ada nih anak perawan Makcik Nur," kata salah satu anak buah Samadin."Apa?" Pekik Mamak membuatku kaget jantungan ..."Oiya ... Benar itu," kata Samadin dengan suara dinginnya."Maksud kalian apa? Mau menjadikan anakku itu pelacur?" tanya Mamak gugup."Kalau mau, nanti kubagi duitnya lima juta, Wak Nur juga bebas berjualan di sini, saya bebasin pajak
Kami menaiki angkutan kota dua kali, mengambil rute yang cukup jauh. Kemudian Mamak mengajak kami menyusuri setiap lorong menanyakan ada yang menyewakan kontrakan di daerah tersebut. Tetapi hingga sore tiba, tidak ada satupun kontrakan yang cocok dengan kemauan Mamak. Kamipun beristirahat di pelataran Masjid setelah menunaikan salat Ashar."Kalau kita tinggal di sini, sekolah Dito kekmana, Mak? Dito kan sudah kelas enam, bentar lagi EBTANAS," keluh Dito."Kau kelas enam belum ada sebulan, kemungkinan masih bisa pindah," kata Mamak"Pindah-pindah terus. Susah tau, Mak, cari teman di tempat baru itu." anak itu masih juga nyerocos."Semakin kita jauh dari kompleks lokalisasi itu, semakin aman hidup kita," kata Mamak tegas, kami juga tidak membantahnya."Terus, itu tadi ada rumah yang bagus, kenapa Mamak gak ambil?" tanya Dito lagi."Itu mahal, Dito. Manalah cukup uang Mamak.""Memangnya tadi berapa, Mak?" tanyaku sambil selonjoran
POV Aina"Insya Allah gak bakalan, Mas. Aku benar-benar sudah bertaubat," kata Mamak"Aku juga sudah bertaubat setelah kau pergi dulu, aku tidak pernah datang lagi ke sana, ayo kuantar kau ke sana, kebetulan aku bawa mobil," kata lelaki paruh baya itu menunjuk sebuah mobil Van yang terparkir di halaman masjid."Maaf, Mas. Sebaiknya kita ketemuan di masjid ini saja nanti malam," kata Mamak"Kenapa memangnya?""Aku harus menyelesaikan sesuatu dulu, jadi tidak bisa pergi sekarang. Aku bisa pergi nanti malam," kata Mamak."Kalau gitu saya tunggu kalian di taman Gubernuran, kutunggu sampai jam sepuluh malam ya? Sekarang aku pergi dulu," kata Pak Seno sambil melangkah menuju mobilnya, Mamak mengantar lelaki itu sampai di mobil.Setelah pria paruh baya itu pergi, kami segera kembali ke lokalisasi menjelang magrib. Akan tetapi, alangkah terkejutnya kami ternyata di depan rumah sudah berdiri tiga orang anak buah Samadin. Mereka Rok
Tampak tiga orang pria, salah satu Bang Rozak yang tengah berjalan menuju lokalisasi dari jalan setapak yang akan kami lalui, untung kami bisa menghindar. Tidak terbayang jika kami kepergok sedang berusaha kabur. Dito memegang tanganku begitu erat, bahkan mencengkeram. Sepertinya dia juga begitu takut. Aku bernapas lega ketika ketiga lelaki itu sudah berlalu."Dito, lepasin tangan Kakak. Bang Rozaknya sudah pergi," kataku."Aku nggak takut sama Bang Rozak, Kak.""Terus kenapa kau Pengan tangan Kakak kuat-kuat?""Aku takut sama yang menghuni batang kemiri ini, Kak. Katanya kalau malam suka bergelantungan," katanya sambil nanar menatap ke atas."Hiiii, ada tuh di atas!" pekikku."Haaaa!!!" Dito berlari kencang meninggalkan aku dengan barang-barangnya.Aku menyusulnya dengan kepayahan membawa barang yang begitu banyak, nyesal aku menakut-nakutinya."Tadi kudengar di sini yang teriak." sebuah suara cukup kencang mengage
POV AinaYa ampun, kenapa Dito musti balik lagi ke sini? Untung anak itu bisa berbohong, kalau tidak, entah sudah seperti apa nasib kami. Ada untungnya juga Dito kembali lagi ke sini, akhirnya Bang Rozak dan kawan-kawannya pergi juga dari sini. Sekarang aku harus berusaha mengangkat beban berat ini sendirian. Mana barangnya berplastik-plaktik gini, aku kesulitan memegangnya.Aku berjalan di jalan setapak ini dengan terseok-seok, mana gelap lagi ... Beberapa kali aku terjatuh dan barangnya bercecer. Aku meneguhkan langkahku, memberi semangat dari dalam, kesulitan ku ini tak seberapa jika dibandingkan kesulitan dan kepahitan hidup yang akan kurasakan jika aku tertangkap oleh Samadin dan dijualnya.Akhirnya sampai juga di sekolahan Dito, aku segera menuju teras kelas, istirahat di sana. Kuletakkan barang-barang yang kubawa, lenganku sampai sakit. Suasana sepi dan gelap cukup menyeramkan, membuat bulu kudukku meremang. Hanya lampu jalan depan SD yang menjadi p
POV AinaMobil pak Seno melaju dengan kecepatan sedang menuju pinggiran kota, sebuah daerah yang tidak pernah kurambah. Rumah di sisi kiri kanan jalan tampak banyak rumah yang besar dan megah dengan halaman yang luas. Pak Seno membelokkan mobilnya memasuki sebuah rumah yang paling megah bercat krem dengan rilief ukiran berwarna oranye. Rumah ini memiliki garasi yang sangat luas, di sana bertengger tiga mobil, ada sebuah sedan yang sangat bagus, Mobil Van yang sangat mewah melebihi mobil yang dipakai pak Seno dan sebuah mobil mini truk."Kita sudah sampai, ayo keluar. Sepertinya semua anggota keluarga ada di rumah."Suara Pak Seno membuyarkan aku yang tengah terbengong melihat kemegahan rumah dan suasananya di hadapan."Ini rumahnya, Pak?" tanya Mamak tampak gugup."Nur, aku kan sudah bilang jangan panggil Pak," kata Pak Seno."Aku pembantu di sini, kalau aku panggil Mas nanti dikira kekasihmu atau istri siri. Setelah kupikir, aku wajib
"Haris, Om Seno itu cari pembantu, bukan cari calon istri buat kamu, untuk apa musti cantik? Yang pentingkan rajin bekerja," Anak tertua, Hasan Basri menimpali.Ah, ternyata anak sulung mereka lebih bijaksana."Mas, ngapain sih kamu pakai ngomentari mereka?" kata Istrinya, Nirmala.Ya ampun, suaminya sudah baik gitu, istrinya ternyata judes."Lah emang kenapa? Suka-suka mulut akulah mau ngomong apa!" jawab Hasan ketus.Dari sini aku sudah bisa melihat, hubungan suami istri ini tidak harmonis, bicara mereka selalu bernada tinggi, tidak ada kelembutan dan keromantisan sama sekali. Ya Allah ... Terjebak di lingkungan seperti apa aku sekarang? Sepertinya bakal sulit ke depannya."Ya sudah, Seno tolong antar mereka ke pavilium ya?" kata Bu Halimah."Ayo ...," ucap Pak Seno ke arah kami sambil menggelengkan kepala sekali.Kami mengikuti langkah Pak Seno di belakang, kami melewati dapur dan pintu belakan."Pak S
Hari sudah menunjukkan jam setengah tujuh pagi, Aku menyeka keringat yang bercucuran di dahi. Ini hari keduaku membantu Mamak menjadi pembantu di rumah besar ini, pinggangku sudah terasa pegal, namun mengingat Pak Seno menjanjikan bayaran yang lumayan, karena statusku yang masih pelajar, menjadi pelayan di rumah ini cukup menguntungkan bagiku dari segi ekonomi.Tugasku membersihkan seluruh area rumah dan pekarangan setiap pagi, aku sudah memulai pekerjaan ini dari sehabis subuh, tetapi dua jam setengah berlalu, Aku hanya mampu membersihkan lantai bawah rumah mewah ini, lantai atas sama sekali belum kusentuh. Mengingat hari ini adalah hari pertamaku sekolah, Aku menjadi sedikit panik, aku sama sekali tidak ingin terlambat ke sekolah. Kemarin Mamak sudah mendaftarkan di sekolah yang terdekat dari tempat ini, lokasinya tidak terlalu jauh, bisa di tempuh jalan kaki jika aku berangkat jam tujuh tepat.Dengan tergesa-gesa, Aku menaiki tangga untuk membersihkan lantai atas, di sana terdapat
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana
Kejutan demi kejutan membuat hidup Hasan dan Aina bertambah tambah rasanya, baru saja Dodi Rosadi, teman akrab Hasan ketika SMA dulu mengungkapkan lamaran kepada ibu dan pakdenya Laras di depan keluarga besar, hal itu tentu saja membuat Hasan memeluk temannya itu dengan erat. "Akhirnya kita sodaraan juga, Bro." "Ingat, tambah lagi satu kakaknya Aina, biarpun kakak sepupu, jadi jangan macam-macam kau ya?" ancam Dodi membuat semua orang tertawa. "Sayang, Fendi gak ada di momen indah seperti ini, harusnya kita punya formasi yang lengkap," ujar Syarif. "Iya, ini ayah. Member tugas kakak Aina kok begitu amat," Jawab Steven. "Aish, gak usah kuatir. Nanti Fendi kupanggil ke sini, dijamin besok pagi sudah ada di sini," jawab Dave sambil mencebikkan bibirnya Ayuni yang mendengar itu wajahnya langsung tersenyum sumringah, Duh ... Jadi ingat waktu momen pernikahan Steven dulu, saat itu ciuman pertamanya bersama kekasihnya itu. "Besok pernikahan akan digelar di mana?" tanya Nur kepada Lar
Lelaki itu buru-buru keluar dari pesawat yang membawanya hingga ke daerah ini, tempat yang dia tandangi hampir dua puluh tahun yang lalu, namun dia tidak akan lupa di mana alamat kakak kandungnya itu berada walau sang kakak kini sudah tiada. Dia sengaja mencari penerbangan paling pagi dari Singapura ke Jakarta, dilanjutkan dari Jakarta ke Jambi, karena memang belum ada penerbangan langsung dari Singapura ke Jambi.Dia tidak bisa menunda lagi untuk bertemu seseorang yang begitu penting dalam hidupnya, pertemuannya dengan Fendi tadi malam sungguh merupakan pertemuan yang sangat mengejutkan. Andika sebenarnya enggan bertemu secara pribadi dengan pemuda itu, jika Fendi tidak setengah memaksanya. Pemuda itu mengajaknya ke taman Merlion, duduk di bangku taman sambil memandangi patung kepala singa di hadapannya. "Senang bisa bertemu dengan orang yang saya kenal di negeri asing seperti ini," ujar Fendi mengawali percakapan."Sedang apa kamu di sini?" tanya Andika."Ada urusan bisnis. Pak D
"Good morning, Profesor." Sebuah sapaan bersahutan di dalam gedung itu ketika seseorang memakai kemeja putih dan celana bahan hitam datang menuju ke sebuah ruangan, kaca mata berbingkai emas yang bertengger di atas hidung lelaki itu menambah kesan dingin dan sulit untuk didekati."Morning," jawab lelaki itu singkat."In here, Prof," seru seseorang dengan seragam security menunjukkan jalan pada lelaki itu.Beberapa pria berjas hitam berjalan tegap di belakang lelaki itu, kaca mata hitam yang bertengger di setiap lelaki berjas hitam itu menambah seram penampilannya."Halo, profesor Andika Ibrahim Luthfi. Welcome, welcome," ujar seorang pria berkepala plontos memakai kemeja biru polos."Apa ini yang dimaksud dengan ruangan rahasia? Kenapa tidak terlihat rahasia sama sekali?" tanya lelaki itu dengan bahasa Inggris."Tentu rahasia yang dimaksud bukan rahasia tidak terlihat, semua ruangan ini adalah penyamaran, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalamnya.""Oke, tunjukkan aku."Pria b