Suara pintu apartemen yang terbuka disambut dengan langkah tergesa Nyonya Stokes. Wanita itu sudah menunggu di ruang tamu dengan ekspresi tak sabar, seakan menghitung detik sampai putranya pulang.
Nielson melepas jasnya dengan gerakan lelah, seisi raut wajahnya begitu masam dengan kerutan di dahi yang seolah menempel. Akan tetapi sebelum ia sempat menghela napas, ibunya sudah memberondongnya dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Bagaimana hasil presentasimu? Apakah Direktur Beckett menyukainya? Kau berhasil menyingkirkan dua kandidat lainnya, bukan? Kau mendapatkan posisi pemimpin proyek, kan?"
Nielson yang sejak tadi sudah berwajah muram karena kekecewaan mendalam, kini semakin kesal. Napasnya memburu, dan akhirnya ia menyentak tanpa sadar, "Diamlah Bu!"
Nyonya Stokes terkesiap.
Ia baru menyadari ekspresi putranya yang tidak biasa. Perasaan tidak enak menyelimutinya, tetapi ia tetap tidak bisa menahan diri untuk bertanya lagi, kali ini lebih hati-hati.
Ethan duduk di kursi belakang Rolls-Royce Phantom miliknya, tenang seperti biasa. Cole berada di samping kursi pengemudi, menemani sang supir yang mengendalikan mobil dengan profesionalisme yang sudah menjadi kebiasaannya.Di tangannya, Ethan menggenggam satu berkas. Dengan pena mahal berlapis emas, ia menandai beberapa bagian penting sebelum menutupnya. Pandangannya tetap fokus, tapi sesekali ia melirik ke luar jendela, memperhatikan pemandangan kota Denver yang berlalu begitu saja.Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara mesin yang halus.Tiba-tiba, ponsel Cole bergetar. Pria itu menerima panggilan, menjawab singkat, lalu mengangguk kecil sebelum menoleh ke belakang, memastikan perhatian Ethan.“Sudah selesai, Tuan.”Ethan menyandarkan punggungnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman simpul. Ia menutup berkas di pangkuannya, lalu bergumam kecil, “Aku penasaran dengan reaksinya.”Ia melirik ponselnya
Bandara Dane County Regional – Madison, WisconsinPesawat jet pribadi milik keluarga Wayne mendarat dengan mulus di Dane County Regional Airport.Roda-roda pesawat menyentuh landasan dengan presisi, menandakan pendaratan yang sempurna.Begitu pintu pesawat terbuka, Ethan Wayne melangkah turun dengan tenang, auranya tetap berwibawa seperti biasa. Di belakangnya, Cole mengikuti, menjaga jarak yang tepat tanpa kehilangan kewaspadaan.Di VIP tarmac, tempat eksklusif di mana mobil-mobil mewah menjemput penumpang jet pribadi, sebuah Rolls-Royce Cullinan hitam telah menunggu.Di sisi mobil, dua pria berjas hitam berdiri tegak. Keduanya bertubuh tegap, dengan tatapan tajam dan sikap waspada. Satu dari mereka mengenakan earpiece, terus memantau situasi, sementara yang lain berdiri sedikit lebih dekat ke pintu mobil, siap bertindak jika diperlukan.Seorang pria setengah baya, supir pribadi Ethan di Madison, segera melangkah maju dan membungkuk sopan sebelum membukakan pintu.Di sampingnya, seor
Begitu Rolls-Royce Cullinan hitam berhenti di depan Armitage, suasana kantor seketika berubah tegang.Armitage adalah anak perusahaan G&P Ltd yang bergerak di bidang pengembangan properti dan konstruksi komersial.Para karyawan yang sebelumnya tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing kini saling bertukar pandang, menyadari bahwa CEO utama mereka, Ethan Wayne, telah tiba secara mendadak.Seorang petinggi Armitage, yang baru saja mendapat kabar bahwa Ethan datang tanpa pemberitahuan resmi, bergegas ke lobi bersama beberapa staf senior. Mereka berdiri berjajar, menunggu dengan sikap penuh penghormatan saat Ethan melangkah masuk.Dengan jas hitam yang sempurna dan ekspresi datar yang khas, Ethan hanya memberikan anggukan kecil sebelum melanjutkan langkahnya.Tanpa menunggu arahan, seorang staf khusus segera menekan tombol lift VIP, yang hanya bisa digunakan oleh petinggi perusahaan. Pintu lift terbuka, Ethan masuk tanpa banyak bicara, diikuti oleh Cole dan salah satu direktur senior Ar
Ethan duduk di kursi kerja besarnya, bersandar dengan mata terpejam.Keheningan di ruangan hanya ditemani suara jarum jam yang berdetak perlahan, menandakan betapa larutnya malam.Di seberang meja, Cole masih sibuk menutup dan merapikan berkas-berkas yang baru saja mereka bahas selama berjam-jam. Wajahnya sama lelahnya dengan Ethan.Namun, Ethan tetap diam, tidak bergerak sedikit pun.Setelah berkas terakhir tersusun rapi, Cole menatap bos-nya."Tuan, saya pulang dulu. Anda juga sebaiknya beristirahat. Sudah hampir jam tiga pagi."Ethan, tanpa membuka mata, hanya mengangkat tangan sedikit sebagai isyarat mengizinkan.Cole menghela napas pendek sebelum bangkit dan berjalan keluar ruangan.Setelah pintu tertutup, ruangan kembali sunyi.Ethan akhirnya menghela napas panjang.Tangan kirinya naik, memijat pangkal hidung tinggi-nya.Sakit kepalanya semakin terasa.Biasanya, dalam situasi seperti ini, ia ak
Everett’s Bakery selalu memiliki aroma khas roti yang baru dipanggang, menciptakan suasana hangat dan menenangkan.Catelyn telah menjalani rutinitasnya seperti biasa, melayani pelanggan dengan senyum ramah. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini.Saat istirahat siang tiba, ia meminta waktu khusus pada Brian, pemilik toko.Brian, seorang pria ramah dengan senyum selalu terukir di wajahnya, langsung mengangguk."Baiklah, kita bicara di balkon atas."Ia pun menutup sementara toko, memberi waktu untuk mereka berdua berbicara tanpa gangguan.Di balkon kecil yang menghadap ke jalanan sibuk, Catelyn menarik napas sebelum berbicara."Brian, aku diterima sebagai karyawan magang di ADG."Brian terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar. "Wow! Selamat, Catelyn! Itu perusahaan besar. Aku bangga padamu!"Catelyn tersenyum, tapi ada rasa gugup dalam tatapannya."Terima kasih, Brian. Tapi…" Ia menggigit bibirnya sesaat sebelum melanjutkan, "Itu berarti aku tidak bisa lagi bekerja di Everett’s Bakery."
Langkah Catelyn begitu ringan pagi itu.Angin yang sejuk menyapu lembut rambut cokelatnya, membuat helaian-helaian halus itu sedikit berayun saat ia berdiri di depan gedung ADG. Matanya berbinar saat menatap bangunan pencakar langit yang megah itu, refleksi kaca-kaca tingginya memantulkan langit biru cerah.Akhirnya, ia di sini.Perasaan berdebar memenuhi dadanya. Tidak pernah ia membayangkan bahwa suatu hari ia bisa masuk ke ADG, salah satu perusahaan cukup terkemuka di bidang perencanaan dan pengembangan kota.Meskipun ia tak sempat menyelesaikan studinya di jurusan Urban and Regional Planning, kesempatan ini seperti titik awal baru baginya.Dengan menarik napas panjang, Catelyn melangkah masuk ke dalam gedung.Lobi luas dengan marmer mengilap dan lampu gantung modern langsung menyambutnya. Beberapa karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi serius, berpakaian rapi dalam balutan blazer dan kemeja formal.Sesuai prosedur, Catelyn mendek
Menit demi menit berlalu dengan berat. Setiap tugas yang diberikan padanya seolah menjadi ujian kesabaran.Setelah selesai urusan input tadi pagi, para staf senior memperlakukannya seolah dirinya tak ada harganya—sekadar tangan tambahan untuk pekerjaan remeh yang mereka enggan lakukan sendiri.Ia dibuat berlari ke sana kemari, mengambilkan dokumen, memfotokopi, bahkan beberapa kali harus pergi keluar gedung hanya untuk membelikan kopi di seberang jalan.Tak ada ucapan terima kasih. Tak ada senyum.Saat jam istirahat siang akhirnya tiba, Catelyn menarik napas lega.Alih-alih pergi ke kantin, ia memilih membawa secangkir kopi dari pantri dan masuk ke ruang tangga darurat di ujung lorong.Tempat itu sepi, jauh dari tatapan tajam dan perintah-perintah dingin.Duduk di salah satu anak tangga, ia membiarkan dirinya menikmati keheningan. Setidaknya di sini, tak ada yang menghakiminya. Tak ada yang menyuruhnya berlari.Ia menghela napa
Wajah Catelyn berseri-seri. Senyuman kecil menghiasi bibirnya, dan kehangatan mengalir di hatinya. Sejenak, semua kelelahan akibat perlakuan staf senior nyaris terlupakan.Ia berdiri, menepuk-nepuk rok dan blus-nya, lalu menghela napas dalam sebelum melangkah menuju pintu tangga darurat. Saatnya kembali bekerja.Namun...“Catelyn?”Desisan itu terdengar dari belakangnya.Tubuh Catelyn menegang. Sebelum ia sempat bereaksi, satu tangan kuat mencengkeram lengannya dan menariknya dengan kasar hingga ia berbalik.Itu Nielson.Mata pria itu menyipit, penuh kecurigaan. “Apa yang kau lakukan di sini?” Suaranya rendah, mendesis, namun jelas menyiratkan kemarahan.Catelyn sontak mengempaskan lengannya dari cengkeraman mantan kekasihnya itu. “Bukan urusanmu.” Tatapan iris hazelnya penuh perlawanan.Namun Nielson tak menyerah. Dengan cepat, ia kembali menarik lengan Catelyn, kali ini lebih erat. &
Catelyn mengerjapkan mata. “Mr. Thomson? Aku?”Staf itu mengangguk. “Iya. Kamu. Aku hanya menyampaikan pesan dari saja. Kepala departemen menyebut namamu langsung. Katanya segera.”Catelyn sempat membeku. “Ada apa?”“Entahlah. Aku sendiri tak tahu,” kata staf itu sambil mengangkat bahu. “Tapi aku barusan naik dari lantai dua. Beliau minta kamu datang sekarang.”Detak jantung Catelyn tiba-tiba berdentum tak karuan.Jari-jarinya refleks merapikan rambut dan menyusun berkas seadanya. Pikirannya melompat-lompat antara panik, heran, dan takut.Apa ia membuat kesalahan?Atau ada proyek yang ia salah input?Atau ia bakal dikeluarkan?Ia berdiri, lututnya sedikit goyah, namun ia menguatkan diri.Karyawan di sekitarnya mulai menoleh, sebagian melirik penasaran.Langkah Catelyn menuju lift terasa lebih berat dari biasanya, tapi juga seperti digiring oleh sesuatu yang ia tak bisa tolak.Di dalam lift, ia memeja
Pukul lima pagi.Langit di Denver masih gelap, hanya sedikit cahaya remang menelusup lewat celah tirai apartemen mungil itu.Hening.Tak ada suara selain detak jam dinding dan desah napas dua manusia yang terdampar di tengah kehangatan yang tak terencana.Ethan Wayne membuka matanya perlahan.Kesadarannya perlahan menyusun kembali potongan-potongan memori semalam.Wajahnya masih bersandar pada sesuatu yang lembut—dan saat ia mendongak sedikit, jantungnya nyaris berhenti.Catelyn.Gadis itu duduk bersandar di sisi sofa, tertidur dengan posisi kepala sedikit menunduk, sementara tubuhnya menopang kepala Ethan di atas pangkuannya.Rambut panjang bergelombangnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya lembut, tenang, damai—dan begitu tulus.Ethan buru-buru bangkit dengan hati-hati, agar tak membangunkannya.Tapi matanya langsung menatap gadis itu dengan pandangan yang penuh penyesalan dan kelembutan.Ia m
Malam menjatuhkan dirinya dengan tenang di atas kota, menyelimuti bangunan-bangunan tinggi dengan bayang-bayang kelelahan.Di salah satu apartemen yang bertengger di lantai tujuh, lampu temaram menerangi ruang makan sederhana.Aroma sup krim hangat masih menggantung di udara, namun wanita muda yang duduk di meja bundar itu justru menatap makan malamnya dengan tatapan kosong.Catelyn Adams, dengan rambut panjang bergelombang yang menjuntai ke pundaknya, memainkan sendok di piring, tak menyentuh makanan itu sama sekali.Matanya yang berwarna hazel tampak sayu, seakan beban hari ini tak sekadar soal berita Nielson di ADG, tapi juga sesuatu yang menggigit pelan-pelan dari dalam dadanya—perasaan yang tak ia izinkan tumbuh, tapi sudah telanjur berakar.“Hhh...” Ia menghela napas, kemudian bangkit.Digerakkan oleh rutinitas lebih dari keinginan, ia meraih gelasnya yang hampir kosong dan membawanya ke wastafel.Air mengalir,
Langit Denver siang itu tampak cerah, tapi angin musim semi yang menyelinap lewat celah jendela besar kantin kantor Aurora Development Group membawa udara dingin yang menggelitik kulit.Gedung kaca pencakar langit itu memantulkan cahaya matahari dengan kilau dingin, kontras dengan kehangatan kantin yang dipenuhi suara riuh para pegawai.Di sudut ruangan, Catelyn duduk.Gadis bermata hazel itu masih memegang gelas plastik berisi lemon tea yang sudah setengah dingin.Di depannya, piring makan siang yang tadi ia nikmati telah kosong, hanya tersisa serpihan kecil roti lapis dan beberapa lembar tisu yang terlipat rapi.Namun pandangannya tidak tertuju pada apa pun di sekelilingnya.Ia hanya menatap lurus ke meja, sesekali menggulirkan ibu jarinya pada ponsel yang ia biarkan menyala di atas meja.Pesan terakhir dari Ethan dua hari lalu masih terbuka.Singkat. Sopan. Seperti pesan dari seseorang yang berusaha tetap hadir, namun pikira
“$9,500?” Nielson melotot. “Apa kau serius? Mobil ini aku beli $18,000 tiga tahun lalu!”“Aku percaya,” balas Dash tenang. “Tapi mobil turun nilai. Apalagi dengan cacat fisik dan fitur rusak, plus sudah lewat 80 ribu mil. Kalau ada catatan servis lengkap, mungkin bisa naik seribu dolar, tapi…”Nielson menghela napas panjang, wajahnya pucat. “Terserah. Aku butuh uangnya sekarang.”Dash mengangguk, “Kita bisa langsung transfer ke rekeningmu.”Nielson hanya mengangguk, menatap mobilnya sekali lagi.Ia mengusap bagian atas kap, seolah mengucapkan perpisahan. “Kau lambang keberhasilan-ku... Tapi sekarang, bahkan kau pun harus aku lepas.”Langkahnya berat saat meninggalkan area itu. Nielson tidak langsung pulang ke apartemen.Sebaliknya, ia berjalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju halte.Angin sore berembus, membuat rambutnya yang tak lagi tertata rapi, kian berantakan.Hampir seminggu ini, ia sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya, pura-pura sedang menangani urusan keluarga.Nyatanya
Catelyn masih sibuk merogoh tas saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.“Oh! Maaf, saya—” ucapnya refleks, namun kata itu terhenti begitu saja di tenggorokannya saat ia mendongak.Wajah yang begitu ia kenal dan hampir seminggu ini sempat ‘menghilang’, terpampang di hadapannya: Nielson.Bukan saja Catelyn terkejut karena menabrak lelaki itu, namun juga penampilan lelaki itu yang tampak berbeda.Jauh dari sosok yang dulu selalu tampil rapi, percaya diri, dan angkuh.Wajahnya sedikit lebih tirus, seolah kehilangan bobot tubuhnya dalam waktu singkat.Rambutnya acak-acakan, tak lagi tersisir rapi seperti biasanya, dan kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, tak disetrika, dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka.Tak ada dasi mahal, tak ada jam tangan mewah yang biasanya mencolok di pergelangan tangannya. Bahkan ekspresi khas Nielson—senyum licin penuh percaya diri—hilang dari wajahnya,
“Daniel dipindahkan ke departemen Project Evaluation & Site Strategy mulai minggu ini,” kata Howard pada seorang staf senior wanita, menghentikan langkah Catelyn yang baru saja kembali dari ruang arsip.Gadis itu membalikkan badan, kedua alisnya berkerut. Ia melangkah mendekati Howard.“Dipindahkan?” ulangnya dengan suara pelan, terdengar kaget. “Apakah karena hari itu? Karena dia keracunan dan tidak bisa datang presentasi?”Nada khawatir itu muncul begitu saja, tak bisa disembunyikan.Baru saja ia menengok Daniel di rumah sakit Sabtu lalu, tiba-tiba ia mendengar hal ini dari Howard, beberapa hari setelahnya.Ia ingat betul hari Jumat lalu, bagaimana Howard tampak cemas dan ketika Daniel tiba-tiba sakit. Dan saat itu, tanpa persiapan matang, ia—seorang anak magang—didorong maju ke ruang presentasi sebagai pengganti.Howard menggeleng cepat, lalu menyilangkan tangan di depan dada, suaranya tenang, “Bukan, bukan karena itu. Justru sebaliknya, Daniel mendapat promosi. Dia dipercaya untuk
Robert Thomson tampak pucat.Kemejanya sedikit kusut, dan dasi di lehernya terasa jauh lebih mencekik dari biasanya. Ia berkali-kali menyeka keringat yang mengalir dari pelipis dengan sapu tangan, sementara langkah kakinya terus mengikuti sosok pria di depannya yang berjalan cepat namun penuh kontrol.Cole Reid, asisten pribadi sang CEO, memimpin langkah dengan tubuh tegap, setelan hitamnya jatuh sempurna, dan wajahnya datar tanpa ekspresi.Keduanya tengah menuju lift khusus yang hanya bisa diakses dengan kartu prioritas—menuju lantai Presidential Suite di Hotel Four Seasons.Robert masih berusaha mengatur napasnya saat akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya pelan, hampir tertelan denting musik ambient dari lorong hotel."Ada sesuatu yang saya lakukan… salah?" gumamnya gugup. "Kenapa saya dipanggil secara pribadi oleh CEO?"Cole menatap ke depan, tidak berhenti sejenak pun."Anda akan tahu sendiri, Pak Thomso
Sabtu siang di Denver datang dengan langit yang bening dan udara hangat yang menenangkan.Dari kejauhan, gedung rumah sakit terlihat menjulang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang mulai menua warnanya menyambut awal musim gugur. Suasana di dalam rumah sakit terasa kontras—sunyi, steril, namun tidak kehilangan kehangatan.Catelyn berjalan melewati koridor lantai tiga dengan langkah ringan.Ia mengenakan sweater lembut warna sage, celana panjang krem, dan sepatu flat. Di tangannya, sebuket bunga krisan putih serta tas kertas berisi sup ayam bening hangat dan sebotol minuman elektrolit—menu ringan yang dipilihnya hati-hati untuk seseorang yang baru saja mengalami keracunan makanan.Pintu kamar 307 terbuka sebagian. Catelyn mengetuk pelan sebelum mendorongnya.Daniel Hunter, pria berambut gelap dengan wajah cukup tampan yang biasanya tenang dan tajam, kini tampak lebih pucat. Tapi senyumnya merekah hangat begitu melihat siapa yang datang