Clara menghela napas panjang saat matanya menatap kosong ke layar ponselnya. Pesan dari Kieran tadi masih terbayang di pikirannya. Meskipun kata-kata itu terdengar penuh pengertian, Clara merasa ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka. Jarak itu bukan sekadar fisik, melainkan lebih kepada ketidakpastian yang terus menghantui hatinya.Malam itu, ia memutuskan untuk tidak kembali ke apartemennya lebih dulu. Ada perasaan yang menuntunnya untuk pergi ke tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota yang selalu ramai. Ia membutuhkan waktu untuk merenung, untuk benar-benar menemukan apa yang seharusnya ia rasakan dan bagaimana ia seharusnya melangkah.Langkah-langkah Clara membawa dirinya ke taman kota yang sepi. Udara malam yang dingin membelai wajahnya, memberi ketenangan yang sangat dibutuhkannya. Duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon rindang, Clara menatap langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang. Ia tidak tahu mengapa, tetapi bintang-bintang itu sepert
Hari itu terasa berbeda. Clara merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah sekian lama, ada secercah harapan yang kembali muncul. Namun, di balik harapan itu, ada juga keraguan yang terus menghantui pikirannya. Clara duduk di ruang kantornya, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah.Beberapa laporan yang harus diselesaikan masih menumpuk, dan meskipun otaknya ingin fokus pada pekerjaannya, pikirannya selalu kembali pada Kieran. Semalam, setelah mereka berbicara di taman, Clara merasakan kelegaan yang tak terucapkan. Ia mulai sedikit membuka hatinya, memberi Kieran kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tidak akan mengecewakannya lagi. Namun, ada rasa takut yang menghantui, rasa takut untuk kembali terluka. Mungkin inilah yang selama ini membuatnya sulit untuk melangkah maju, meskipun Kieran telah menunjukkan kesungguhan yang tulus.Clara menarik napas panjang dan memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan sej
Pagi itu terasa berbeda bagi Clara. Setelah percakapan malam kemarin dengan Kieran, banyak hal yang dipikirkan. Ada perasaan lega yang mulai mengisi ruang hatinya, namun juga rasa takut yang terus menghantui. Clara tahu ini bukanlah akhir dari segala hal, tapi awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan.Sejak pagi, ia merasa ada sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha fokus pada pekerjaan yang menumpuk, namun pikirannya tidak bisa lepas dari Kieran. Ada rasa hangat yang mengalir setiap kali ia membayangkan pria itu, dan hatinya tahu satu hal—ia tidak ingin kehilangan kesempatan ini.Kehidupan profesional Clara tetap berjalan seperti biasa. Di kantor, ia menyelesaikan berbagai tugas, menghadiri pertemuan dengan klien, dan memastikan semuanya berjalan dengan lancar.Namun, dalam setiap detik yang berlalu, pikirannya kembali terhubung pada Kieran. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Kieran muncul di layar, dan Clara merasa jantungnya berdebar.
Pagi itu terasa penuh dengan harapan yang terpendam. Clara memulai harinya dengan secangkir kopi panas di tangan, duduk di tepi jendela kantornya, memandang jalanan kota yang sibuk. Dingin pagi menembus kaca jendela, namun hatinya hangat dengan bayangan pertemuan semalam. Malam itu, ketika mereka berdua saling berbagi janji, Clara merasa dunia seperti berhenti sejenak. Semua ketakutannya tentang hubungan ini, semua ketidakpastian yang selama ini menghantui dirinya, tampak seperti kabut yang perlahan menghilang. Kieran, pria yang selama ini ia lihat hanya sebagai bos, kini telah menjadi seseorang yang ia percayai untuk menjalani perjalanan hidupnya bersama. Namun, meskipun ada kehangatan di hatinya, Clara masih merasa cemas. Ketakutan bahwa ia mungkin saja salah, bahwa ia mungkin tidak cukup siap untuk komitmen itu, terus menggerogoti pikirannya. Setiap hari adalah langkah baru untuk membuka diri, untuk menerima perubahan dan tantangan yang datang.Hari ini, Clara memutuskan un
Malam itu, Clara kembali terjaga lebih lama dari biasanya. Kieran’s proposal—ide untuk membuka perusahaan bersama—berputar-putar dalam pikirannya. Sejak pertemuan mereka di kafe tadi sore, ia tidak bisa berhenti berpikir tentang segala potensi yang bisa terwujud. Namun, keraguan masih mengganjal di hati. Memasuki dunia bisnis bersama Kieran bukan hanya tentang pekerjaan. Itu juga tentang masa depan mereka, hubungan yang lebih dalam yang mungkin saja terancam oleh tekanan dan risiko yang datang bersamaan dengan bisnis.Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia pungkiri: ia merasa dihargai oleh Kieran, dan tawaran ini terasa seperti peluang untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar asisten. Itu adalah langkah besar menuju kebebasan dan kredibilitas profesional yang selama ini ia dambakan. Clara menatap ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ada pesan singkat dari Kieran, yang ditulis beberapa jam lalu setelah mereka berpisah."Clara, aku harap kamu sudah merenu
Setelah pertemuan yang mendalam bersama Kieran, Clara merasa sebuah beban yang lebih ringan di pundaknya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun hari itu, ia mulai merasa bahwa keputusan untuk bergabung dalam proyek besar ini adalah langkah yang benar. Namun, seiring dengan rasa percaya diri yang mulai tumbuh, ada juga kekhawatiran yang semakin menggelayuti pikirannya. Dunia bisnis tidaklah mudah, apalagi ketika itu melibatkan hubungan pribadi yang erat. Clara tahu bahwa tantangan yang mereka hadapi jauh lebih besar dari sekadar angka dan strategi. Ada perasaan yang lebih dalam, perasaan yang berisiko, yang berpotensi mengubah segala hal. Tapi satu hal yang jelas di benaknya: ia tidak bisa mundur.Hari itu, setelah pertemuan dengan Kieran, Clara kembali ke apartemennya dengan langkah yang lebih pasti. Di jalan pulang, ia tidak hanya merasakan langkah kaki yang terasa ringan, tetapi juga hati yang lebih terbuka. Seiring dengan itu, ada rasa penasaran tentang bagaim
Clara menghela napas dalam-dalam saat menatap layar laptopnya yang penuh dengan email dan laporan dari berbagai tim. Proyek yang baru dimulai bersama Kieran sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, tetapi juga penuh dengan tantangan yang tak terduga. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya—rasa bangga dan juga kecemasan. Hari itu, di ruang rapat yang biasa, Kieran memanggil Clara untuk membahas beberapa keputusan penting mengenai arah perusahaan. Mereka berdua sudah bekerja keras selama berbulan-bulan, namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak keputusan besar yang harus diambil. Keputusan-keputusan ini bukan hanya berdampak pada perusahaan, tetapi juga pada hubungan pribadi mereka.Clara duduk di depan meja rapat, matanya menatap Kieran yang sedang mempersiapkan presentasi. Ia tahu bahwa diskusi kali ini akan berbeda dari biasanya. Ada beberapa isu yang tak bisa lagi dihindari, terutama yang menyangkut masa depan hubungan mereka.Kieran mengangkat pandangannya dan
Pagi itu, Clara duduk di meja kerjanya, merenung sejenak sebelum memulai hari. Layar laptopnya menunjukkan berbagai email penting yang memerlukan tindak lanjut cepat. Namun, ada satu email yang mencuri perhatian lebih dari yang lain. Itu adalah pesan dari Klien besar yang sudah lama mereka incar, tetapi kali ini ada perubahan yang cukup mengejutkan. "Kami ingin mengubah beberapa hal terkait kontrak yang sudah disepakati sebelumnya. Harap segera menghubungi kami."Clara mengernyitkan keningnya. Itu bukanlah hal yang mereka harapkan. Mengubah kontrak setelah semuanya hampir selesai bisa menjadi masalah besar. Belum lagi, hal ini pasti akan mempengaruhi waktu dan sumber daya yang sudah dipersiapkan. Clara mengirim balasan singkat kepada klien tersebut dan memutuskan untuk segera melapor kepada Kieran.Sambil mengetikkan pesan kepada Kieran, Clara merasa sedikit tertekan. Mereka baru saja menyelesaikan banyak hal untuk memastikan semua berjalan lancar, dan sekarang ada sebuah tanta
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m