Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Clara merasa ada yang aneh, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Ia mencoba menepis perasaan itu, tetapi hati kecilnya mengatakan bahwa hari ini akan membawa kejutan. Sesuatu yang tak terduga.Saat ia baru saja duduk di meja kerjanya, Lina masuk dengan wajah cemas."Clara, ada yang ingin bertemu denganmu. Dia mengaku tahu banyak tentangmu dan Kieran. Katanya, dia punya informasi yang akan sangat berguna untuk proyek kita," kata Lina, agak ragu.Clara menatap Lina dengan bingung. "Siapa dia? Kenapa aku merasa ini tidak biasa?"Lina menggugurkan keraguan dalam dirinya dan menjawab, "Namanya Valerie, teman lama Kieran. Tapi dia... dia bukan orang yang bisa dipercaya begitu saja."Clara terdiam sejenak. Nama "Valerie" sudah cukup untuk memicu perasaan cemas di dalam dirinya. Seiring dengan kesibukannya di kantor dan hubungan yang semakin dalam dengan Kieran, Clara tidak pernah mendengar banyak tentang wanita ini. Siapa s
Hari-hari setelah pertemuan dengan Valerie terasa seperti masa transisi yang berat bagi Clara. Meskipun Kieran berusaha menunjukkan keseriusannya dan berjanji untuk lebih terbuka, ada perasaan yang masih mengganjal di hatinya. Tidak hanya tentang Valerie, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Clara mulai merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka, meskipun keduanya berusaha untuk terus maju.Pagi itu, Clara duduk di meja kerjanya, memandangi layar laptop yang kosong. Sudah hampir dua jam sejak ia masuk ke kantor, namun pikirannya teralihkan pada percakapan yang berlangsung kemarin sore."Tidak mudah untuk meninggalkan masa lalu," kata Kieran dengan suara berat, mengingatkan Clara pada kata-katanya tadi malam. Clara menutup matanya sejenak, mencoba mencari ketenangan di tengah perasaan gelisah yang tak terhindarkan.Suasana kantor pun seolah ikut mempengaruhi mood-nya. Semua orang berjalan cepat, sibuk dengan pekerjaan mereka, tetapi Clara merasakan adanya celah
Malam semakin larut, dan Clara merasa seperti terjebak dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Semakin banyak hal yang ia pelajari tentang Kieran, semakin dalam rasa kebingungannya. Ia tahu Kieran bukanlah orang yang sempurna, tetapi pria itu sudah menyentuh hatinya dengan cara yang tak bisa ia jelaskan.Namun, dengan Valerie yang muncul kembali dalam hidup Kieran, perasaan Clara mulai goyah. Apa yang sebenarnya Kieran sembunyikan? Apakah dia benar-benar bisa meninggalkan masa lalunya dan memulai hidup baru bersama dirinya?Clara duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang gemerlap di bawah. Lampu-lampu jalanan bersinar, namun hatinya terasa gelap. Kieran sudah berusaha meyakinkannya, tetapi Clara tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Tantangan yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Satu pesan singkat dari Kieran muncul di layar: _"Clara, aku tahu kita masih banyak yang perlu bicarakan, tapi ada sesuatu yang harus
Hari-hari berjalan dengan ketegangan yang semakin terasa. Setelah pertemuan yang intens antara Kieran dan Valerie, Clara merasa bahwa segalanya mulai teruji. Setiap langkah yang diambil Kieran terasa semakin berat, dan Clara mulai merasakan kepedihan yang sulit untuk diceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi antara Kieran dan Valerie di masa lalu? Mengapa Kieran begitu terikat dengan masa lalu yang kelam itu?Clara tahu bahwa Kieran sedang berusaha sekuat tenaga untuk melindunginya. Namun, ada perasaan yang tak bisa ia hilangkan—rasa takut akan kehilangan. Rasa takut bahwa masa lalu Kieran akan selalu menjadi bayangan gelap yang menghantui masa depan mereka.Clara duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Angin malam yang sejuk menerpa wajahnya, namun hatinya terasa hangat. Ia tahu, meskipun semuanya terasa penuh dengan ketidakpastian, ada sesuatu yang harus dilakukan. Ia harus berbicara dengan Kieran. Ini saat yang tepat untuk membicarakan semuanya.
Setelah percakapan yang membuka banyak hal, Clara dan Kieran merasa ada secercah harapan yang muncul di tengah segala keraguan. Namun, meskipun begitu, keduanya sadar bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan. Ada sesuatu yang menggelayuti pikiran mereka, sebuah perubahan yang tak terduga yang akan mengubah arah hubungan mereka.Pagi itu, Clara bangun dengan perasaan yang campur aduk. Meski pertemuan dengan Kieran kemarin memberikan sedikit kelegaan, masih ada bayang-bayang ketakutan yang tak bisa ia hindari. Apakah benar hubungan ini akan bertahan? Apakah Kieran benar-benar bisa melepaskan masa lalunya yang kelam? Semua pertanyaan itu terngiang di pikirannya, meskipun ia berusaha menenangkan diri.Di kantor, Clara duduk di meja kerjanya dengan tumpukan dokumen yang menanti untuk diselesaikan. Namun, pikirannya terus melayang, teringat percakapan tadi malam. Kieran sudah mengatakan segalanya, namun entah mengapa, Clara merasa bahwa ada sesuatu yang masih
Malam itu, Clara tidak bisa tidur dengan tenang. Setelah makan malam dengan Kieran, banyak hal yang terus berputar di pikirannya. Meskipun ia mencoba untuk menenangkan diri, hatinya tetap gelisah. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah benar Kieran bisa melepaskan masa lalunya untuk selamanya? Ataukah, seperti yang dikhawatirkan Valerie, masa lalu itu akan terus menghantuinya?Keesokan paginya, Clara bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa perlu untuk menyegarkan pikirannya, dan berjalan-jalan di taman dekat apartemennya sepertinya bisa menjadi cara yang tepat untuk itu. Angin pagi yang segar dan dedaunan yang bergoyang pelan membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, keraguan itu masih menggelayuti dirinya.Clara tidak tahu seberapa besar ia bisa mempercayai perasaan Kieran, meskipun ia ingin sekali mempercayainya. Ia tahu bahwa hubungan mereka penuh dengan komplikasi, dan Kieran adalah sosok yang sulit dimengerti. Namun, di sisi lain, ia merasa ada kekuatan dalam dirinya
Hari-hari berlalu sejak percakapan penting itu, dan meskipun Kieran berusaha untuk menunjukkan perubahan dalam dirinya, Clara masih merasakan ketegangan yang tersisa. Walaupun ia memberi kesempatan kedua untuk Kieran, rasa ragu itu tidak bisa begitu saja hilang. Ada banyak hal yang masih menggantung di pikirannya—terutama masa lalu Kieran yang gelap dan penuh rahasia. Namun, Clara juga tidak bisa menutup mata terhadap perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Kieran sudah banyak berubah, dan meskipun ketakutan akan masa lalu terus membayanginya, ia tahu bahwa Kieran berjuang keras untuk memperbaiki dirinya.Pagi itu, Clara berdiri di depan cermin, memandangi dirinya. Ia mengenakan gaun sederhana yang dipadukan dengan jaket kulit hitam yang membuatnya tampak elegan. Meski begitu, ada keraguan yang menggelayuti wajahnya—keraguan yang sama yang sudah ada sejak percakapan dengan Kieran. Ia mencintai pria itu, tetapi apakah ia cukup kuat untuk melewati semua ini?Mendengar suara pintu
Clara menghela napas panjang saat matanya menatap kosong ke layar ponselnya. Pesan dari Kieran tadi masih terbayang di pikirannya. Meskipun kata-kata itu terdengar penuh pengertian, Clara merasa ada jarak yang tak terucapkan di antara mereka. Jarak itu bukan sekadar fisik, melainkan lebih kepada ketidakpastian yang terus menghantui hatinya.Malam itu, ia memutuskan untuk tidak kembali ke apartemennya lebih dulu. Ada perasaan yang menuntunnya untuk pergi ke tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota yang selalu ramai. Ia membutuhkan waktu untuk merenung, untuk benar-benar menemukan apa yang seharusnya ia rasakan dan bagaimana ia seharusnya melangkah.Langkah-langkah Clara membawa dirinya ke taman kota yang sepi. Udara malam yang dingin membelai wajahnya, memberi ketenangan yang sangat dibutuhkannya. Duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon rindang, Clara menatap langit malam yang dihiasi oleh bintang-bintang. Ia tidak tahu mengapa, tetapi bintang-bintang itu sepert
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m