Clara berjalan cepat menuju ruang kerjanya, langkahnya sedikit tergesa-gesa. Suasana di kantor pagi ini terasa berbeda—lebih sunyi, lebih tegang. Meskipun hari baru saja dimulai, Clara sudah merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Keputusan yang mereka buat malam itu—untuk melangkah lebih jauh—menjadi kenyataan yang harus mereka hadapi sekarang. Namun, ada yang aneh dalam dirinya, ada rasa cemas yang semakin menekan, mengingat betapa rumitnya menggabungkan perasaan dengan pekerjaan. 'Kenapa saya merasa seberat ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri saat dia duduk di kursinya. 'Ini seharusnya menjadi hal yang membahagiakan.' Namun, kenyataan yang ada justru membuatnya semakin bingung. Mereka tidak bisa terus menyembunyikan hubungan mereka. Semua orang di kantor pasti akan mulai menyadari perubahan ini, apalagi mengingat kedekatan mereka yang sangat jelas. Kieran adalah CEO yang berpengaruh, sementara Clara hanya seorang asisten pribadi. 'Bagaimana kita b
Clara duduk di meja kerjanya, matanya fokus pada tumpukan dokumen yang harus diselesaikan. Namun, pikirannya melayang jauh. 'Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?' Pikirannya kembali pada percakapan dengan Kieran tadi malam, percakapan yang membawa banyak ketegangan dan harapan. Mereka sudah memutuskan untuk terbuka tentang hubungan mereka, tetapi Clara merasa ada banyak yang harus dipertaruhkan. 'Pekerjaan dan perasaan—bagaimana bisa keduanya berjalan beriringan tanpa saling menghancurkan?' Clara menggigit bibir bawahnya. Meski Kieran selalu memberikan dukungan dan meyakinkan bahwa mereka bisa melaluinya bersama, ada rasa takut yang terus menggerogotinya. Dunia ini bukan tempat yang mudah bagi hubungan semacam ini, apalagi di tempat kerja. Ponselnya bergetar, memecah kebimbangan yang semakin mendalam. Sebuah pesan dari Kieran. "Clara, rapat di ruang utama dalam lima menit. Kita harus membahas laporan yang akan dipresentasikan kepada dewan." Clara membaca pesa
Clara duduk di ruang kerjanya, menghadap komputer dengan tumpukan dokumen yang belum tersentuh. Matanya menatap layar, namun pikirannya jauh melayang. 'Seperti apa kehidupan ini sekarang?' Setelah pengumuman Kieran, beberapa hal mulai berubah, dan meskipun banyak yang mendukung keputusan mereka, ada juga banyak yang memandang dengan skeptis. Di dalam dirinya, Clara merasa perasaan itu semakin bercampur aduk. Antara rasa bahagia karena akhirnya bisa mengungkapkan perasaannya pada Kieran, dan rasa cemas akan dampaknya di dunia profesional. Ketika Kieran datang ke ruangannya untuk memberi arahan, Clara sempat meliriknya, dan untuk sejenak, dunia di sekelilingnya tampak hening. Meskipun mereka sudah terbuka tentang hubungan mereka, Clara merasa ada ketegangan baru yang mulai mengisi ruangan mereka. Kieran tersenyum padanya, namun senyuman itu terasa sedikit dipaksakan. “Kamu tampak lelah,” kata Kieran, menyadari betul ekspresi Clara yang murung. Clara mengangkat a
Pagi itu, Clara merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Pagi biasanya selalu dimulai dengan secangkir kopi di meja kerjanya, tetapi kali ini ada ketegangan yang terasa lebih berat. Sejak beberapa hari terakhir, dia merasakan adanya tekanan yang tak terucapkan. Keputusan-keputusan penting mulai datang bertubi-tubi, dan Clara merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan, bingung memilih arah yang tepat. Sejak pengumuman hubungan mereka ke seluruh tim, Clara dan Kieran mencoba untuk tetap menjaga jarak profesional di kantor. Mereka tidak membiarkan perasaan pribadi mengganggu pekerjaan mereka, tetapi meskipun begitu, Clara tahu bahwa dunia tidak seceria seperti yang mereka bayangkan. Spekulasi masih terus berkembang, dan beberapa orang di kantor mulai lebih berhati-hati saat berinteraksi dengan mereka. Belum lagi, beberapa hari yang lalu, ada sebuah kabar buruk yang datang dari luar perusahaan. Beberapa klien besar yang sedang dalam tahap negosiasi mulai menarik diri
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya. Clara duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan pikiran yang tidak terfokus. Pekerjaan menumpuk, namun hatinya terasa kosong. Ada begitu banyak hal yang masih belum diselesaikan—baik di tempat kerja maupun dalam hubungannya dengan Kieran. Meskipun mereka berhasil melalui rapat dewan yang menentukan nasib mereka, ketegangan yang tersisa tetap ada, seolah-olah sebuah bayangan yang terus mengikutinya. Dua minggu terakhir memang terasa penuh perubahan. Keputusan restrukturisasi yang diambil perusahaan memang memberi Clara dan Kieran sebuah kesempatan untuk bertahan, namun perasaan tidak tenang tetap menghantui. Beberapa rekan kerja mulai terlihat lebih dingin dan kurang terbuka, bahkan ada yang mulai memperlakukan Clara dengan sikap yang lebih dingin daripada sebelumnya. Clara tahu itu bukan sekadar perasaan—perubahan itu nyata. Saat Clara sedang memeriksa email, pintu ruangannya terbuka. Kieran masuk dengan langkah yang cepa
Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang tak terduga. Clara merasakan bahwa dunia di sekelilingnya semakin penuh tekanan. Setiap kali dia berjalan ke kantor, ada beban yang berat di pundaknya, seperti ada ribuan pasang mata yang mengawasi setiap langkahnya. Begitu banyak hal yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan, tetapi satu hal yang tidak bisa ia pungkiri: segala sesuatunya kini lebih rumit daripada sebelumnya. Keputusan-keputusan penting mengenai restrukturisasi perusahaan terus datang, dan meskipun posisi Kieran sebagai CEO tetap kokoh, banyak pihak yang mulai meragukan kemampuan mereka untuk menjaga stabilitas perusahaan, terutama setelah hubungan pribadi mereka terungkap. Pada pagi itu, Clara sedang duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan pikiran yang kosong. Seminggu terakhir terasa seperti serangkaian pertemuan yang tak berkesudahan, dengan klien yang semakin khawatir dan rekan kerja yang mulai menunjukkan sikap dingin. Clara tahu bahwa situasi ini
Setelah keputusan besar yang mereka buat di kafe kecil itu, Clara merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Namun, kenyataan yang tak terelakkan segera kembali menghampiri. Tugas-tugas yang menumpuk, ketegangan yang melingkupi mereka, dan pertanyaan tentang masa depan perusahaan yang semakin nyata membuat Clara merasa semakin tertekan. Tapi ada satu hal yang tetap memberi Clara semangat. 'Kieran memilih kita,' pikirnya dengan penuh keyakinan. 'Kami akan melewati ini bersama-sama.' Namun, seperti halnya hidup yang tak pernah berjalan mulus, ada banyak rintangan yang harus dihadapi. Clara merasakan hari-hari berikutnya begitu penuh dengan tekanan, baik di tempat kerja maupun dalam hubungan mereka. Meski Kieran berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan situasi di luar sana, hubungan mereka tetap berada di bawah sorotan yang tajam. Pada suatu pagi yang kelabu, Clara berjalan menuju ruang rapat dengan langkah yang terhuyung-huyung. Hari itu adalah rapat pent
Hari-hari berlalu dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, seperti arus deras yang tak bisa dihalangi. Clara merasakan tekanan yang semakin berat dari setiap sisi. Keputusan untuk menghadapi dunia luar dengan pernyataan terbuka dari Kieran memang memberikan dampak yang cukup signifikan. Beberapa klien utama mereka mulai menunjukkan tanda-tanda dukungan, namun ada juga yang semakin ragu. Di sisi lain, para karyawan di kantor tampak semakin lelah dan cemas. Semua orang bisa merasakan perubahan, dan mereka semua tahu, hari-hari ke depan tidak akan mudah. Clara berjalan menyusuri koridor kantor yang lengang, memikirkan segala sesuatu yang baru saja terjadi. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, pertanyaan yang tidak hanya berkisar pada pekerjaan, tetapi juga tentang hubungan mereka dengan Kieran. Keputusan besar yang mereka buat bersama, untuk bertahan melawan tekanan dan ketidakpastian, mulai terasa lebih menantang. Meski mereka berdua merasa yakin, dunia di seki
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Langit tertutup awan, menelan cahaya bulan dan bintang, seolah menandakan malam penuh bahaya yang sedang menanti.Kieran mengenakan pakaian serba hitam. Di belakangnya, Liam dan dua orang kepercayaan lainnya, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Mereka bertemu di sebuah gudang tua di pinggir kota — tempat yang disepakati untuk pertemuan rahasia itu.Clara hanya bisa menatap kepergian mereka dari balik jendela, hatinya dipenuhi doa dan kekhawatiran. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk melemah."Jagalah dia, Tuhan..." bisiknya pelan, seolah angin malam bisa menyampaikannya langsung pada KieranKieraGudang itu sunyi saat Kieran tiba. Hanya suara angin yang mendesir di antara celah kayu lapuk.Kieran mengangkat tangan, memberi isyarat pada timnya untuk tetap waspada. Langkahnya mantap, tak menunjukkan sedikit pun keraguan meski setiap instingnya berteriak tentang kemungkinan jebakan.Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. Seorang pri
Udara sore itu terasa berat, seolah-olah langit pun ikut menahan napas bersama Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang melaju perlahan menuju tempat yang telah direncanakan sebelumnya—sebuah lokasi rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang kepercayaan Kieran.Selama perjalanan, keduanya hampir tidak berbicara. Ada begitu banyak hal yang ingin dikatakan, tapi seakan kata-kata tak mampu meluncur dari bibir mereka. Hanya suara pelan mesin mobil yang mengisi keheningan di antara mereka.Sesekali, Kieran melirik ke arah Clara. Ada ketegangan di wajah perempuan itu, namun juga keteguhan yang membuat hatinya sedikit tenang. Meski badai masih jauh dari reda, Kieran merasa Clara adalah satu-satunya alasan dirinya masih berdiri tegak hari ini.Mobil berhenti di depan sebuah rumah tua di tengah kawasan perbukitan. Bangunan itu terlihat sepi, namun di balik kesederhanaannya tersembunyi keamanan tingkat tinggi yang telah Kieran siapkan. Di sinilah semua r
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be