Malam itu, Clara merasa terjaga lebih lama dari biasanya. Pikiran tentang Kieran dan pembicaraan mereka sebelumnya masih menghantuinya. Setiap kata yang diucapkan Kieran menggema dalam pikirannya, dan dia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa situasi yang mereka hadapi jauh lebih rumit dan berbahaya daripada yang dia kira.Di luar jendela kamarnya, suara hujan mulai terdengar. Rintikannya halus, namun bisa meresap ke dalam hati yang tengah gelisah. Clara menarik selimutnya lebih erat, namun tidur masih belum datang juga. Tak tahu harus berbuat apa, dia pun bangkit dan berjalan ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat.Saat air mendidih dan aroma teh mulai tercium, Clara duduk di meja makan, membiarkan pikirannya mengembara. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya Kieran sembunyikan darinya? Mengapa dia begitu yakin bahwa Clara bisa terlibat lebih jauh dalam bahaya ini? Dan yang paling penting, siapa orang-orang yang mereka hadapi? Kenapa Kieran begitu ke
Pagi hari datang dengan cerah, meski langit di luar masih menampakkan sisa-sisa hujan semalam. Clara duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah hampir dingin. Hari ini, suasana hatinya berbeda. Ada perasaan campur aduk—kekhawatiran, ketegangan, dan juga sedikit harapan.Ponselnya bergetar di atas meja. Clara melihat nama Kieran muncul di layar. Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu, tak ingin menunda pembicaraan lebih lama lagi.“Clara,” suara Kieran terdengar langsung di telinganya, tegas namun lembut. “Aku ingin kita bertemu. Ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut.”“Dimana?” tanya Clara, suaranya terdengar tegas meskipun hatinya masih bergejolak. Ada perasaan cemas, tapi dia tahu, ini saat yang penting. Tak ada lagi waktu untuk ragu.“Di tempat yang aman,” jawab Kieran singkat. “Aku akan menjemputmu dalam satu jam.”Clara mengangguk, meskipun Kieran tidak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia berdiri dan berjalan ke kamar tidurnya. Memandang ke sekelilingnya
Clara duduk di meja kantornya, jari-jarinya bermain dengan pena sambil matanya terfokus pada layar komputer. Kerjaannya terasa begitu membebani, tapi dia tahu ini adalah pilihan yang telah dia buat. Proyek besar yang dihadapi Kieran dan perusahaan mereka tidak bisa dianggap remeh. Namun, Clara merasakan ada sesuatu yang lebih dalam yang mengikat dirinya dengan Kieran.Pikirannya terus berputar tentang percakapan mereka semalam. Kieran—yang tampak dingin dan profesional—ternyata memiliki sisi lain yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Sesekali, tatapan Kieran yang tajam dan penuh tekanan, mengarah padanya, namun malam itu, dia menunjukkan sisi manusiawi yang lebih lembut. Apa yang membuatnya berubah? Ataukah Clara yang mulai melihat Kieran dengan cara yang berbeda?Keringat mulai terasa di pelipisnya. Fokusnya terganggu oleh detak jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Clara menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri. Dia harus tetap profesional. Tidak boleh ada ru
Pagi itu Clara merasakan ada yang berbeda. Meskipun hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan tenggat waktu yang ketat, ada sesuatu dalam udara yang membuatnya merasa lebih waspada. Tidak ada yang dapat dia ungkapkan, namun perasaan itu mengendap dalam hati, menyesakkan. Kieran datang lebih pagi dari biasanya, dan itu membuat Clara penasaran. Ada yang aneh, ada ketegangan yang tidak bisa dia hilangkan meskipun mereka sudah berusaha untuk menjaga semuanya tetap profesional.Hari ini, meskipun rapat dimulai seperti biasa, ada suasana yang berbeda di antara mereka. Kieran duduk di meja yang biasa, matanya tidak langsung beralih ke Clara. Namun, ketika rapat berakhir, matanya bertemu dengan Clara dalam sekejap—penuh makna. “Kita perlu bicara,” ucap Kieran, suara rendah namun tegas.Clara mengangguk, merasa ada sesuatu yang penting yang perlu diungkapkan. Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka berjalan keluar dari ruang rapat, menuju ke ruang yang lebih pribadi. Ketika pintu tertutup, Cla
Keputusan yang diambil Clara beberapa hari lalu masih terus menghantuinya. Meskipun Kieran sudah memberikan ruang dan waktu baginya untuk berpikir, hatinya tidak bisa menenangkan diri. Setiap detik yang berlalu terasa berat, penuh dengan pertanyaan yang menggantung di benaknya. Apakah mereka benar-benar siap untuk menjalani hubungan ini? Apakah mereka bisa menghindari masalah yang mungkin muncul, terutama di tempat kerja mereka yang penuh dengan tekanan dan harapan tinggi?Hari itu, Clara duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar melihat apa yang tertulis di sana. Pikirannya melayang, berulang kali kembali pada percakapan terakhirnya dengan Kieran. Ada sesuatu tentang lelaki itu yang membuat Clara merasa nyaman, merasa diterima, dan itu sangat jarang dia rasakan. Namun, ada juga rasa takut yang tak terelakkan—takut akan kehilangan kontrol, takut akan mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari perasaan mereka berdua.Kieran muncul di pintu kantor Clara, me
Clara menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah pertemuan tadi. Semua rasanya semakin rumit. Di satu sisi, dia merasa semakin terikat dengan Kieran, tapi di sisi lain, perasaan cemas terus menghantui dirinya. Apakah dia mampu menghadapi semua ini? Apakah dia bisa tetap menjaga profesionalismenya di tengah perasaan yang semakin kuat?Setelah pertemuan yang intens tadi, Clara merasa seolah-olah dunia di sekitarnya tiba-tiba bergerak lebih cepat. Kieran, CEO yang sangat karismatik dan penuh pesona, sudah cukup membuatnya merasa terombang-ambing. Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa terjebak dalam perasaan yang semakin dalam: Kieran tak pernah ragu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya.Dan itu yang membuat Clara bingung.Di luar kantor, dia berusaha menjaga jarak, namun dalam setiap interaksi yang mereka miliki, ada semacam kedekatan yang tak bisa dia hindari. Clara merasa seperti berada dalam perangkap antara hati dan kewajiban profesionalnya.Seusai p
Pagi berikutnya, Clara tiba lebih awal di kantor. Pagi itu terasa berbeda. Semua terasa lebih sunyi, lebih hening. Hanya ada suara langkah kakinya yang menggema di sepanjang lorong kantor. Meskipun seluruh dunia terasa sama, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Perasaan yang dia rasakan sejak pertemuannya dengan Kieran kemarin semakin menggelora. Kata-kata Kieran terngiang di telinganya, memutar ulang setiap detil percakapan mereka. Aku sangat menghargaimu lebih dari yang kamu bayangkan.Kalimat itu mengusik pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya dimaksud Kieran. Apa benar kata-kata itu hanya sekedar ungkapan dukungan profesional? Ataukah ada lebih banyak yang ingin ia sampaikan? Clara berusaha mengalihkan pikirannya dengan menatap layar komputernya, berharap pekerjaan yang menumpuk bisa membuatnya fokus kembali. Namun, ada sesuatu yang menghalangi pikirannya—keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang Kieran. Perasaan itu semakin sulit untuk dibendung.
Clara menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai lelah. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban berat di pundaknya. Meskipun bekerja dengan Kieran sudah menjadi rutinitas yang familiar, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang tak bisa dia pungkiri. Setiap kali dia bertemu dengannya, rasanya ada jarak yang semakin besar, meskipun mereka hanya berada beberapa langkah dari satu sama lain.Ponsel di tangannya bergetar. Clara segera mengangkatnya, berharap itu adalah Kieran yang ingin membahas beberapa hal penting.“Clara, bisa ketemu di kantor sebentar? Ada hal yang perlu dibicarakan,” suara Kieran terdengar begitu serius, bahkan sedikit dingin. Clara bisa merasakan ketegangan yang mengalir dalam kata-katanya.“Baik, saya akan segera ke sana,” jawab Clara, berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya meskipun hatinya berdebar tak karuan.Setelah menutup telepon, Clara menatap sekilas ke luar jendela. Cuaca yang mendung seakan mencerminkan perasaan yang sedang m
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m