"Segalanya berjalan dengan sangat lancar. Saya tidak tahu kalau akab berakhir seperti ini. Di sisi lain, saya merasa sangat lega. Namun di sisi lainnya ada perasaan tidak enak, karena saya bahagia di atas penderitaan calon mertua saya."Sebuah gelengan jelas langsung mampir di kepala Bentala, saat Edward merasa bahwa ia bahagia di atas penderitaan Mahaka Gunawan. Sujujurnya, Bentala sangat tidak terima dengan konsep apa pun yang berhubungan dengan rasa tidak enak. Kesalahan Mahaka jelas tidak ada campur tangan Edward maupum Tanaya, jadi rasanya tak perlu tak enak pada orang yang jelas-jelas menghambat kebahagiaan mereka berdua.Apalagi keduanya akan segera menikah, rasanya bagi Bentala rasa tak enak itu harus segera dimusnahkan. Mahaka bukan sejenis mertua yang akan memaklumi keadaan kamu. Jadi, bagi Bentala tak perlu juga repot-repot berempati pada pria yang jelas-jelas egois seperti Mahaka."Menikah saja," celetuk Bentala cepat. "Kamu tidak perlu memusingkan pria tua itu. Biarkan di
"Na, lo tahu enggak, bos gue sudah dua kali nanyain lo. Gue jawab saja kalau lo sudah punya suami. Karena enggak percaya, ya gue tunjuk ke dia, foto lo sama Bentala yang kemarin viral di Indonesia. Gue rasa enggak cuma dia doang deh, yang terkesima sama kecantikan lo. Lihat tuh, Andreas. Dia lagi curi-curi pandang ke kita. Gila, jadi artis di sini, laku juga kali lo, Na!"Merasa kesal dengan candaan Indira, Rana pun mencubit kecil tangan gadis tersebut. Hanya kecil, jadi rasanya tidak akan terasa sakit. Tapi, dengan sengaja Indira justru mengaduh dengan suara yang lumayan kencang, membuat beberapa orang di sekitar mereka, menengok sebentar. Karena tingkahnya tersebut, Rana reflek menepuk paha sahabatnya tersebut tentu saja.Alih-alih marah, atau pun merasa kekesalan yang sama, Indira justru memilih untuk tertawa dengan puas. Indira tahu kalau Rana sedang anti menjadi pusat perhatian. Tampaknya Rana masih menyembuhkan rasa traumanya dari segala masalah yang terjadi belakangan ini."Tap
"Kamu bisa langsung pulang, Danish. Nanti saya akan menyetir sendiri ke restoran. Kamu jangan khawatir. Oh, ya, jangan lupa untuk menyiapkan segala akomodasi saya selama berlibur ke Australia. Satu lagi, semua pekerjaan yang harus saya baca malam ini, sudah kamu kirim kan, ke email saya?""Sudah Pak, Anda bisa langsung melihatnya nanti sesampainya di rumah."Alih-alih menjawab, Bentala hanya mengangguk. Tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Entah apa yang terjadi, tapi sejak sore jantungnya berdegup dengan cepat. Pikirannya juga melayang pada pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa ditanyakan seorang ayah kepada calon menantunya. Bentala bahkan sampai mencari di mesin pencarian apa saja pertanyaan yang mungkin diajukan oleh seorang ayah mertua.Sayang semua jawaban yang Bentala dapatkan terasa absurd. Jujur saja, di saat seperti ini ia butuh seorang ayah untuk sekadar bertukar pendapat. Dulu saat mengenal, dan akhirnya bertunangan dengan Tanaya, ayahnya yang mengurus. Tak ada rasa teg
"Atas nama Bentala Pradaya Byakta. Apakah orangnya sudah datang?"Tatapan si pelayan langsung terarah pada tablet kerjanya. Ia langsung mengangguk dengan senyum termanis saat dirinya telah mendapatkan jawabannya. Emir tentu saja dengan profesional membalas senyum gadis muda tersebut. Akhir-akhir ini ia memang berhenti bersikap genit pada gadis-gadis muda yang menarik hatinya. Bukan karena kehabisan gairah, tapi ia belajar banyak dari masalah gilanya kemarin.Si pelayan pun langsung menunjukkan jalan menuju kursi yang telah Bentala pesan. Setelah menunggu sekian lama, Bentala akhirnya menghubunginya sekembalinya ia dari Thailand. Emir pun dengan cepat memenuhi permintaan pria yang dicintai putrinya tersebut."Selamat datang, Profesor." Bentala berdiri dari kursinya saat melihat kedatangan Emir. Ia tersenyum formal seraya mengulurkan tangannya, Emir pun dengan sopan membalas uluran tersebut. "Silakan duduk, Prof.""Jangan terlalu kaku, Bentala. Om saja," pinta Emir sembari duduk di kurs
"Ya Tuhan, akhirnya diangkat juga! Bang Zahir, aku enggak bisa menghubungi Bentala, dan aku enggak mungkin menelepon ayahmu. Aku enggak tahu harus menghubungi siapa, dan kebetulan hanya nomormu yang aku miliki. Maafkan aku, aku benar-benar enggak tahu. Kejadiannya begitu cepat. Aku enggak tahu kalau ini bisa terjadi. Ya Tuhan, jam berapa sekarang di Indonesia? Apa kamu sudah bangun? Halo, Bang Zahir? Jawab aku! Rana kecelakaan. Adikmu kecelakaan di Sydney."Jelas saja berita buruk yang dibawa oleh Indira membuat mata Zahir terbuka sempurna. Ia menengok ke arah jam dinding, dan mulai menghitung perbedaan jam antara Denpasar - Sydney. Ia pun menyadari kalau Indira sedang khawatir, dan ia tidak tahu dengan siapa gadis itu sekarang. Jadi, Zahir pun bangun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya."Tolong, tenanglah, Indira." Permintaan itu membuat Indira terdiam di ujung telepon. Zahir pun bersyukur, karena Indira tak lagi berbicara. "Saya membasuh muka terlebih dah
"HEH! KELUAR ENGGAK LO! JANGAN COBA-COBA KABUR YA!"Gedoran di pintu mobil Bentala, membuat dia benar-benar tak habis pikir dengan yang terjadi. Bentala hanya sedang bengong selama lima detik, lalu terlintas di pikirannya wajah Rana yang tiba-tiba ia rindukan. Kemudian lima detik itu menjadi petaka saat Bentala tanpa sengaja menabrak mobil yang terparkir di depannya. Pria itu jelas kaget, dan dengan cepat mematikan mesin mobilnya.Hendak turun untuk mengganti rugi, namun tiba-tiba saja seorang laki-laki entah dari mana menarik si pemilik mobil dengan kasar. Mereka bahkan adu mulut, membuat Bentala enggan untuk keluar. Tapi, ia juga tak ingin diam saja di sana menunggu pasangan tersebut bertengkar. Jadi, Bentala putuskan untuk turun, dan mengetahui berapa banyak ganti rugi dari kerusakan yang sudah ia timbulkan."Kamu enggak usah ikut campur. Mau aku marah-marah atau enggak, itu urusan aku. Mobil juga aku yang bayar angsurannya tiap bulan. Kalau rusak siapa yang susah? Aku juga! Jadi,
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in