“Maksud kamu apa?” tanya Emir kaget saat Sonya berteriak.Sonya berjongkok dan menutup kedua koper itu serapat mungkin. Dia sudah muak, dia benar-benar sudah tidak sanggup lagi berurusan dengan Emir, terserah Emir mau melakukan apa pun juga. Dia muak.“Sonya, kamu ngomong apa tadi? Maksud kamu apa?” tanya Emir sembari menahan tangan Sonya untuk mengangkat koper ukuran besar tersebut keluar dari ruangan baju. Sonya mengalihkan pandangannya dari koper ke arah Emir, “Maksud aku, kamu enyah dari sini!? Muak aku liat muka kamu, enyah!? Urus lonte kamu itu, urus si Miska sialan yang sedang hamil anak kamu!? Urus dia dan nggak usah urus aku, aku udah muak sama kelakuan kamu!?” Bagai petir disiang bolong Emir kaget dengan informasi yang Sonya berikan, “Maksudnya apa? Maksud kamu Miska hamil?” tanya Emir kaget.“Kuping kamu perlu diperiksa di THT atau gimana? Nggak paham bahasa Indonesia atau perlu aku pakai bahasa isyarat biar kamu paham aku ng
"Ibu ...." Sonya kaget dengan perkataan mertuanya yang biasanya tidak pernah marah atau pun berkata kasar pada dirinya, saat ini tiba-tiba menghinanya mandul dan tidak tahu diuntung, seketika itu juga Sonya merasakan sakit hati. "Ibu ... kenapa Ibu ngomong gitu?""Kamu tadi bilang kalau kamu selingkuh dan laki-laki itu lebih baik berkali-kali lipat daripada Emir," rutuk Parwati sembari menyentuh dadanya dan bernapas sedikit demi sedikit karena mulai merasakan rasa sakit bercampur sesak di dadanya."Bu ... nggak gitu, ini semua Emir duluan. Dia duluan yang seli—""Kamu nggak punya bukti aku selingkuh, Sonya!?" potong Emir cepat, dia tidak mau kalau Sonya membeberkan kelakuan bejatnya selama ini. Dia tidak mau kalau Parwati sadar kalau apa yang Sonya lakukan saat ini adalah akibat dirinya suka berselingkuh dengan wanita-wanita klub malam dan berakhir dengan Miska. Tidak, Ibunya tidak boleh tahu hal itu, ia harus selalu bersih di mata ibunya.Sonya men
Sonya terdiam dan menatap nanar mobil ambulans yang pergi meninggalkan dirinya, ada perasaan sakit, lega, sedih dan marah saat melihat mobil itu pergi bersama Emir dan Parwati seolah menorehkan luka yang teramat dalam di hati Sonya. Dirinya bukan sakit hati karena gugatan cerai Emir, sumpah demi apa pun dia tidak peduli dengan gugatan cerai itu, bahkan sejujurnya saat ini hatinya sedang bersorak-sorai karena Emir akan menggugat cerai dirinya, sehingga ia tidak perlu repot-repot mengurus semuanya dan hanya terima beres, dia malas mengurusi birokrasi yang ada. Sonya menghela napas pelan, berusaha untuk meredam emosi dan sakit hatinya yang teramat sangat dengan kata-kata mertuanya yang mengatakan secara tidak langsung kalau dirinya hina, mandul dan yang paling membuat Sonya perih adalah kata-kata kalau Sonya adalah istri tidak tahu diuntung benar-benar membuat Sonya sakit hati, rasanya ia ingin berteriak dengan keras di telinga Parwati kalau anaknya, lah, suami tidak ta
Sonya merasakan bibir Awan yang basah dan manis menekan bibirnya, lidah Awan menyelusup dan menggelitik setiap inci mulutnya. "Kamu yakin?" tanya Awan sembari mengurai ciumannya, entah kenapa dia takut kalau seandainya apa yang Sonya ungkapkan tadi hanya pikiran sesaat dan membatalkan semuanya, hanya memberikan harapan palsu pada Awan. Awan nggak mau, dia nggak akan sanggup bila Sonya melakukan hal itu, terlalu sakit. Sonya memejamkan matanya dan mengganguk pelan, "Iya ... aku mau, aku udah nggak tahu lagi buat apa aku pertahanin pernikahan aku, Wan ... bahkan tadi ...."Sonya terdiam saat menyadari kalau Emir sudah menjatuhkan talaknya tadi, ada rasa sedih tiba-tiba menyelimuti dirinya. Bukan ... bukan karena Sonya mencinta Emir, sumpah demi apa pun Sonya sudah tidak ada rasa lagi dengan suaminya itu, tapi, Sonya merasa sakit hati karena apa yang sudah ia korbankan untuk mempertahankan pernikahannya dengan Emir tidak dianggap oleh mertuanya dan Emir den
"Ah ... Awan." Sonya menjerit saat menyadari kalau Awan sudah memenuhi mulutnya dengan putingnya, lidah Awan sudah menari dengan liar di sana menggoda bagian tubuh Sonya yang paling sensitive. Dimajukan dada Sonya, berharap Awan membenamkan lebih banyak lagi payudaranya, Sonya menjerit dan mendesah saat merasakan isapan dan gigitan kecil yang Awan berikan pada dirinya. Tangan Awan bergerak di samping Sonya, mengusap setiap inci garis tubuh wanita yang ia puja, tangan itu terus bergerak turun ke bagian bokong, Awan meremas bokong Sonya yang padat namun, lembut membuat Sonya menggerakkan pinggulnya menggesek bagian pribadi Awan. "Sonya ...," erang Awan saat menyadari satu gerakkan kecil saja sudah mampu membuat kejantanannya mengeras dengan sempurna. Lidah Awan menari di bagian payudara Sonya, melingkar dibagian putingnya dan terus naik ke bagian leher Sonya yang dingin namun, manis.Tangan Sonya menyusuk ke bagian rambut Awan dan mencengkeramnya
Sonya menggerakkan tubuhnya dengan pelan, ia merasakan tubuhnya kelelahan namun, puas dan nikmat akibat percintaan liarnya dengan Awan di sofa ruang tamunya. Matanya mengerjap dan mencari sosok Awan di sekitarnya, namun, nihil tidak ada Awan di sana.Helaan napas terdengar, saat Sonya menyadari dirinya sendirian di kamar itu, Sonya melihat sekelilingnya dan menyadari kalau saat ini ia sedang tertidur di kamar Awan dalam keadaan telanjang. Ia ingat setelah bercinta Awan mengangkat tubuhnya dan membawanya ke lantai dua rumahnya. Awan hanya menidurkan Sonya di ranjang kemudian memeluk tubuhnya sepanjang malam, tanpa melepaskannya sama sekali. Sebuah kebiasaan yang baru Sonya sadari adalah Awan sangat suka mengusap-usap pahanya, entahlah kenapa lelaki itu sangat terobsesi dengan seluruh bagian kakinya, padahal menurut Sonya semuanya biasa saja tidak ada yang spesial."Kamu udah bangun?" Suara maskulin Awan yang sensual terdengar di kamar itu.Sonya
“Emir …,” panggil Parwati disela-sela napasnya yang terdengar halus dan pendek.Emir yang sedang duduk di samping ranjang rumah sakit Parwati dengan cepat bangun dan mendekati tubuh Ibunya. “Kenapa, Bu? Ada apa?”“Emir … Ibu mohon, ceraikan Sonya,” pinta Parwati dengan suara terbata-bata dan sangat kecil, saking kecilnya hingga membuat Emir harus menajamkan pendengarannya untuk menangkap suara Parwati.“Bu … Ibu yakin? Ini Sonya, loh, wanita yang selalu Ibu banggakan dan sayang.” Emir mencoba mengingatkan Parwati betapa sayang dan bangganya Parwati pada Sonya. Emir ingat sekali, Ibunya ini sangat sayang dengan Sonya bahkan beberapa kali Ibunya ini lebih suka membanggakan Sonya daripada dirinya di seluruh acara keluraga dan kolega-koleganya. Parwati selalu mengatakan kelebihan Sonya dan menyembunyikan kekurangan Sonya. “Y-yakin,” jawab Pewati sembari menitikan air matanya, entah kenapa Parwati merasakan rasa sakit hati saat mendengar per
“Kamu yakin itu anak aku?” tanya Emir sembari menatap Miska dari atas ke bawah dengan tatapan kesal bercampur marah. Wajah Miska berubah pucat pasi saat mendengar perkataan Emir, “Maksud kamu apa? Ini anak kamu, nggak mungkin ini anak orang lain, aku cuman ngelakuin sama ka ....” Miska tidak melanjutkan perkataannya ia baru sadar kalau dia pernah melakukan hubungan badan dengan dua orang lelaki lainnya, tapi, itu juga bukan kemauannya. Itu kemauan Emir, Emir yang memintanya untuk melakukan hal sinting itu dan memang ia pun sangat membutuhkan uang dengan cepat saat itu untuk membiayai operasi Papanya. “Mikir kamu sekarang, Mis,” seru Emir sembari menunjuk dahi Miska kesal, ia dengan cepat berjalan menjauhi Miska. Ia lelah dan butuh beristirahat. “Emir tunggu kamu mau ke mana?” tanya Miska sembari berlari mengikuti Emir dengan cepat, ia benar-benar membutuhkan Emir. Siapa pun ayah biologis di dalam kandungannya, ia membutuhkan orang yang bertanggung jaw
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan