Sonya melesakkan tubuhnya ke dada Awan yang hangat, menarik selimut tipis yang selalu ada di ruang keluarga miliknya seerat mungkin ke dadanya. Saat ini posisi Sonya membelakangi Awan dan kedua tangan Awan memeluknya seolah melindungi Sonya.
Rasa hangat dada Awan terasa sangat jelas di kulit telanjang Sonya, membangkitkan bayangan Awan yang sedang menggaulinya beberapa jam yang lalu. Sonya ingat kalau Awan langsung ambruk dan menimpa badannya setelah melakukan pelepasan di dalam dirinya entah untuk ke berapa kalinya. Baru dua hari sayu malam mereka bersama bahkan kurang dari 48 jam, namun, Sonya sudah merasakan berkali-kali orgasme.
Sonya tersenyum kecil sembari mengecup lengan Awan yang saat ini dijadikan bantalan kepalanya, membuat Awan mengecup bagian belakang kepalanya lembut.
“Pilm apa?” tanya Awan yang baru terbangun dari tidurnya setelah lelah memuaskan Sonya.
“Kamu udah bangun?” tanya Sonya yang kaget karena Awan sudah bangun, rasanya Awan bar
Sonya baru saja selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dan melihat Awan yang sedang duduk di ujung ranjang dan menelepon seseorang. Saat melihat Sonya, Awan terlihat kikuk dan mendekati Sonya. "Aku ada telepon," bisik Awan sembari mengecup kening Sonya dan meninggalkannya di kamar sendirian. Sonya menatap Awan dengan tatapan aneh, kenapa Awan harus menelepon sejauh mungkin dengan dirinya? Memang siapa yang Awan telepon? Apakah pacarnya? Ibunya, kah? Tapi, dilihat dari data diri Awan, Sonya tahu kalai Awan itu yatim piatu. "Hana, jangan gitu ...." Sayup-sayup Sonya mendengar perkataan Awan yang sedang membujuk seseorang bernama Hana, seketika itu juga Sonya penasaran dengan siapa Awan berbicara melalui telepon. Siapa Hana? Ngapain Awan menelepon Hana? Hana ini nama cewek,
"Hah ... kenapa, Nak? Kamu ngomong apa?" tanya Parwati dengan intonasi suara yang sangat lembut."Ini sudah malam, Bu," dusta Sonya, Sonya tidak mungkin mengatakan kalau dia tadi mengumpat."Oh ... Ibu sangka kamu mau ngomong apa, Nak. Inget pendengaran Ibu sudah kurang baik, jadi, kalau mau ngomong sama Ibu harus rada keras." Parwati mengingatkan Sonya akan daya pendengarannya yang sudah sangat kurang di usia senjanya."Iya, Bu." Sonya hanya bisa mengiyakan apa yang Parwati ucapkan, demi kedamaian jantung mertuanya."Sonya, Ibu kangen ... Ibu mau ke rumah kamu, kapan kamu libur, Nak?" tanya Parwati yang tahu betapa sibuk menantunya itu, hingga bila ingin bertemu terkadang harus membuat janji. Karena, beberapa kali Parwati datang ke rumah Sonya, malah mendapati rumah dalam keada
Sonya menggigiti jempol kukunya dengan kesal, kenapa suaminya itu sama sekali tidak membalas chatnya. Sekali lagi Sonya melihat layar ponselnnya dan centang itu masih berwarna biru, yang artinya sudah dibaca tapi, belum di balas sama sekali. Sialan.Sonya membulak balik surat peringatan yang ada di tangannya itu, dan matanya membulat saat melihat nominal yang harus di bayarkan 27 juta. Berarti Emir meminjam uang 1,5 milyar dengan jangka waktu 10 atau 15 tahun. Ampun ... apa yang ada di otak suaminya itu sampai berani meminjam uang sebanyak itu tanpa memberitahukan dirinya.
Sonya sama sekali tidak bisa tidur dengan tenang padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah dua malam, diliriknya Awan yang sedang tertidur pulan di sampingnya karena menolak pulang ke rumahnya dan meminta untuk menginap.Tangan Sonya mengelus pucuk hidung Awan pelan, kemudian jemarinya beralih ke bagian bulu mata Awan yang tebal, Sonya tersenyum membayangkan manik mata Awan yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang, dipadukan dengan senyuman manis Awan yang selalu membuat Sonya tersipu."Kamu kenapa mau sama aku, sih, Wan?" tanya Sonya pelan sembari menggosok ujung hidungnya ke ujung hidung Awan."Padahal aku istri orang rasa janda kalau kata Lidya," ucap Sonya lagi.Awan tidak bergeming ia hanya tertidur dengan pulas sembari memeluk Sonya hanya sesek
“A ....” Sonya kaget saat merasakan perutnya disentuh dan tubuhnya dipeluk dari belakang oleh seseorang.“Kamu nggak tidur?” bisik Awan di kuping Sonya.“Aku nggak bisa tidur,” bisik Sonya, sentuhan Awan seolah menyadarkan Sonya kalau saat ini dia memiliki seseorang yang bisa membuat dirinya tenang dan aman, walaupun Sonya belum mau menceritakan masalahnya pada Awan.“Kenapa? Kamu mikirin apa?” tanya Awan sembari menyusupkan wajahnya ke leher Sonya, mengecupinya dengan lembut.Sonya menengadah, memberikan akses pada Awan untuk mengecupi lehernya dengan leluasa, ia suka saat Awan menyapukan bibirnya di kulitnya. “Aku nggak mikirin apa-apa.”“Jangan bohong, aku dengar kamu teriak tadi,” bisik Awan sembari menjauhkan bibirnya dari leher Sonya dan menggerakkan bahu Sonya agar menghadap dirinya.Mata Sonya bertemu dengan mata Awan yang sedang menatapnya dengan tatapan yang su
“Aku mau mulut kamu,” bisik Awan sembari menyusupkan tangannya ke bagian bawah kaki Sonya dan mengangkat wanita itu, membawanya ke arah kamar lantai bawah sembari melumat bibir Sonya dan sesekali melumat bibir Sonya pelan. Dengan lembut Awan mendudukkan Sonya ke lantai sedangkan dirinya melepaskan celananya kemudian duduk di pinggir ranjang. Tangannya dengan pelan menyentuh bagian bawah bibir Sonya selembut mungkin, dia menyukai bibir Sonya apalagi saat bibir itu penuh dengan kejantanannya, membayangkannya saja sudah membuat batang kenikmatannya mengeras sempurna. Tangan Sonya dengan cepat menangkap batang kenikmatan milik Awan dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah, menghantarkan kenikmatan ke setiap gerakkan yang Sonya lakukan di sana. “Sonya,” bisik Awan sembari membelitkan jemarinya ke rambut Sonya, meminta Sonya untuk membenamkan mulutnya di antara pahanya. “Awan, kamu senangkan kalau aku jilat bagian ini?” Sonya menjilat bagian samping batang kenikmatan m
"Hei ... kamu kenapa?" tanya Awan saat mendapati Sonya yang berwajah lesu semenjak percintaan terakhir mereka beberapa saat yang lalu. "Hah? Apa kenapa?" tanya Sonya sembari menutupi kegundahan hatinya setelah mendengarkan perkataan terakhir Awan yang mengatakan kalau Awan akan bertanggung jawab bila Sonya hamil. Sonya senang mendengar Awan mau bertanggung jawab akan apa pun yang terjadi pada dirinya, namun, hatinya sakit saat menyadari arti lain dari kalimat Awan. Perkataan Awan itu seolah menyadarkan Sonya, kalau pria muda itu masih menginginkan anak dari rahimnya, yang sialnya rahim itu sudah tidak ada lagi di dalam tubuhnya, entah di mana rahim itu berada Sonya tidak tahu. Yang Sonya miliki saat ini hanya indung telurnya saja, tidak ada rahimnya sama sekali. Lalu bagaimana caranya Sonya bisa memberikan keturunan untuk Awan? Tidak mungkin dia menyewa wanita lain untuk hamil anaknya dan Awan, lalu dia berpura-pura hamil dengan menggunakan bantal, seperti cerita
"Ngapain kamu di sini!?" pekik Sonya kaget sembari membelitkan lebih banyak lagi selimut untuk menutupi tubuhnya yang telanjang dari tatapan Emir yang seolah menembus selimutnya."Ngapain? Kamu lupa ini rumah aku, kamu istri aku dan aku tinggal di sini?" tanya Emir sembari mengelus bahu Sonya yang terasa lembut di ujung jemarinya."Aku nggak pernah lupa itu semua, Emir." Sonya menepis tangan Emir keras, entah kenapa dia tidak suka disentuh Emir walaupun suaminya itu berhak melakukannya."Baguslah," bisik Emir sembari beranjak dari duduknya dan melepaskan pakaiannya satu persatu hingga menyisakan boxer."Ngapin kamu buka baju?" tanya Sonya waswas."Mau mandi, mau ikut?" tanya Emir sembari menolehkan kepalanya melewati bahu dengan wajah tidak bersalah.Sonya menggemeretakkan giginya, ini yang paling ia benci dengan Emir. Emir selalu melakukan kesalahan yang membuat kepalanya pecah lalu pergi dan datang kembali dengan muka tidak ber
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan