“Awan ... mau ke mana?” tanya Eka sembari berlari mengejar Awan.
“Mau gym, kenapa? Mau ikut?” Awan malah balik bertanya pada Eka sambil mengangkat tas olahraganya, Awan tahu kalau sahabatnya ini sangat pemalas untuk berolahraga.
Eka dengan cepat menggeleng dan mempertegas penolakannya dengan lambaian tangan di dada, “Nggak, ah, bisa encok aku besok, mana besok aku jaga kalau kamu, mah, nggak jaga, kan?”
“Jaga, kok,” sahut Awan santai sembari menyampirkan tas olahraga di bahunya.
“Memang besok nggak bakal sakit badan?” tanya Eka sembari berjalan beriringan dengan Awan ke arah tempat parkir motor.
“Nggak, lah, memang kamu, jompo,” olok Awan sembari mengeluarkan kunci motornya.
“Eh ... jangan ngehina, aku nggak jompo hanya kurang energi aja, dan lagi aku masih belum kaya kakek kamu yang hobi ngoles parcok ke seluruh sendi badan,” bela Eka sembari mengambil helm
“Sonya ... kenapa kamu di sini?” tanya Awan yang masih belum sadar seratus persen dari mode kaget dan mata Awan sama sekali tidak beralih dari tungkai kaki Sonya yang basah dan sensual. Astaga ... Awan benar-benar terjerat makin erat oleh pesona Sonya.“Kan aku juga mau, gym. Kan, kata kamu aku harus lebih banyak olah raga dan aku liat ada kolam renangnya jadi aku mau coba, aku suka berenang, Wan.” Sonya mengusap handuk ke lengan dan mengangkat kakinya ke kursi kemudian mengusapnya sepelan mungkin untuk melihat reaksi Awan.Sonya sadar kalau Awan sangat menyukai tungkai kakinya, ah ... andai dia mengenakan sepatu merah yang ada di dalam lokernya Sonya yakin Awan tidak akan bisa mengalihkan pandangannya sama sekali.“Kamu gym, juga?” tanya Sonya basa basi karena Sonya sudah tahu kalau Awan gym, makanya dirinya ke sana dan menjalankan saran sinting Lidya yang meminta dirinya berenang dengan mengenakan tankini miliknya, supaya Aw
Sonya membuka matanya dengan cepat dan mengambil ponselnya yang sudah berbunyi sangat nyaring, “Iya ... halo ....”“Dok, maaf ada pasien SC, Dok.”Dengan cepat Sonya mengusap kedua matanya, berusaha mengumpulkan nyawanya agar dia bisa sadar 100% dan siap bekerja. Profesi Dokter memang sangat melelahkan, walaupun gaji yang didapat pun tidak main-main namun, jam kerja yang tidak ada waktunya dan beban kerja yang berat terkadang membuat Sonya ingin pensiun dini.“Kondisi?”“Pecah ketuban, tekanan darah 140/90 mmHg, berat badan 85 kg, dan kadar oksigen normal.”“Kamu tanya Dokter kandungan dan Dokter anak mengenai tekanan darah tingginya, itu harus turun dulu,” ucap Sonya sembari berjalan ke arah kamar mandi dan menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang tampak seperti nenek sihir, oh ... dia benar-benar membutuhkan minuman segar untuk memperbaiki mood-nya. Boba? Di jauhkan layar ponsel dar
“Dokter, semuanya sudah siap,” ucap Irene salah satu suster kamar operasi saat Sonya datang. “Penatanya siapa? Mana rekam medisnya?” tanya Sonya sembari mengangkat kedua tangannya yang sudah menggunakan sarung tangan saat suster memasangkan surgical gown (baju khusus untuk operasi) ke tubuhnya. Irene membacakan rekam medis pasien dengan tenang dan pelan berusaha agar Sonya bisa mendengarnya dengan benar. “Itu, Dok.” “Tekanan darah sudah normal?” tanya Sonya lagi sembari masuk ke dalam ruangan operasi. “Sudah, Dok, pasien sudah diberi obat penurun darah tinggi,” ucap Irene. “Oke.” Sonya masuk ke dalam ruangan operasi dan mendapati Awan yang sedang mempersiapkan pasien sembari berbincang-bincang dengan pasien untuk menenangkan pasien. “Bu Aurora, saya Dokter Sonya yang akan melakukan anestesi.” Sonya memperkenalkan diri pada pasiennya yang akan melakukan tindakan operasi SC. “Iya, tapi, panggil saya Liz saja, Dok,” jawab Liz lema
“Awan, kamu jaga pasien, kabari saya kalau ada apa-apa,” ucap Sonya saat mereka keluar dari ruang operasi.“Baik, Dok,” ucap Awan sembari mengedipkan sebelah matanya dan mendorong ranjang operasi ke ruangan pemulihan.Sonya tersipu melihat kedipan Awan yang menggoda dirinya, entah sejak kapan Sonya mulai merasa berarti dan dibutuhkan oleh Awan. Pikirannya selalu tentang Awan, Awan, Awan dan Awan. Gilanya Sonya menyukai dan mulai terbiasa dengan perasaannya itu, bahkan, Sonya mulai bisa tidur lebih pulas, makan dengan teratur dan mulai bisa tersenyum lebih tulus lagi pada orang lain.Saat Sonya keluar dari ruang operasi ia melirik keluarga pasien yang baru saja ia bantu untuk melakukan operasi caesar, pasiennya tadi bahkan melahirkan anak kembar cewek dan cowok. Ada rasa iri saat melihat wanita tadi mampu melahirkan anak dan memberikan kebahagiaan pada suaminya, membuat sebuah keluarga yang utuh.Berbeda dengan dirinya, mungkin dia
Sonya keluar dari ruangan rawat Sekar dan mendapati suami Sekar yang menatapnya dengan tatapan lelah dan sedih, Sonya yakin kalau lelaki itu sudah menangis sepanjang waktu. “Pak ....”“Dokter Sonya,” bisik Isan, “bagaimana keadaan Sekar?”Sonya mengunci mulutnya dia tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, sedekat apa pun dirinya dengan Sekar dan keluarganya rasanya tidak profesional dan elok bila ia langsung mengatakan keadaan Sekar, padahal ada Dokter Aldo yang bertanggungjawab akan hal itu semuanya.“Mungkin, nanti Dokter Aldo yang akan menjelaskan semuanya,” ungkap Sonya sembari mengusap bahu Isan sesopan mungkin, “tapi, tadi saya sudah pasang alat ventilator untuk membantu bu Sekar bernapas kembali.”“Iya ... saya, saya tidak tahu kenapa tadi tiba-tiba Sekar tidak dapat bernapas dan tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat,” lirih Isan sembari mengusap wajahnya dengan lemah
"Ngapain kamu di sini?" Sonya berjalan ke arah Emir, sekilas Sonya melihat obat-obatan yang ada di dalam lemari khusus miliknya. Bukan mencurigai tapi, Emir dulu pemakai dan kemarin Sonya masih harus menambahkan dosis yang lumayan banyak agar menahan rasa sakitnya saat ia menjahit kening Emir membuat Sonya sedikit khawatir."Aku nunggu kamu, Sayang," ucap Emir sembari berjalan melewati Sonya dan duduk di sofa yang selalu Sonya jadikan tempat ia tidur bila sudah merasa lelah bekerja.
"Sinting kamu!? Itu rumah aku, aku yang beli itu rumah pakai uang aku, itu rumah aku!? Bukan rumah kita!? Kamu nggak berhak atas rumah itu, Emir!?" sentak Sonya.Emir dengan cepat menyentuh pipinya yang panas akibat ditampar oleh Sonya, rasa sakit di pipinya tidak sesakit harga dirinya yang seolah Sonya campakkan ke lantai. "Sonya!?""Apa?! Apa!? Kamu mau apa!? Itu rumah aku, kamu nggak punya hak barang sepeser pun dari rumah itu!? Itu
"Ampun, Emir!?" Sonya menjerit keras sembari melindungi wajahnya dengan kedua tangan miliknya yang bergetar hebat. Sonya menutup matanya serapat mungkin, berusaha untuk menahan rasa takutnya akan ledakan kemarahan Emir. Tubuhnya seolah mengeras dan bersiap menerima pukulan dari Emir, entah tamparan atau tonjokkan yang Emir arahkan pada salah satu bagian tubuhnya, Sonya sama sekali tidak bisa berpikir jernih, dia ketakutan.Brak ....Tubuh Sonya bergidik saat mendengar suara keras seolah ada seseorang dibanting di lantai. Sonya masih tetap memejamkan matanya, dirinya terlalu takut untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Beberapa detik berlalu setelah bunyi tersebut, Sonya terkesiap saat merasakan perasaan hangat menyelimuti tubuhnya dan mungkin ini hanya sebuah ilusi Sonya, karena Sonya merasakan wangi pantai yang sangat
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan