Semua mengenai Alina, aku berusaha melupakannya. Aku yakin, dia yang menghubungiku beberapa hari yang lalu. Melihat Bea yang bahagia denganku, rasanya kebahagian itu sudah cukup. Aku tidak ingin terlalu banyak ikut campur mengenai Alina dan mengenai apapun tentangnya.Tazia menginap di rumah kami selama dua hari. Sepupuku itu selalu berceritai tentang Hafid. Mereka berdua adalah musuh bebuyutan. Tazia tidak pernah menyukai Hafid karena menurut Tazia, lelaki itu selalu tebar pesona. Sok Ganteng! Maksudnya.“Mas?”Bea datang. Dia mengetuk ruang kerjaku. Meskipun aku mengambil cuti, aku tetap memberikan kuis melalui online dan memeriksa jawaban mereka. Besok subuh, aku dan Bea akan segera berangkat untuk Umroh lalu berlanjut ke Turkey.“Masuk sayang,” seruku dengan pelan. Bea berjalan mendekati ruang kerjaku. Semakin hari, wajahnya semakin cantik saja.“Makasih sayangku.” Aku mengecup tangannya sebelum dia berjalan pergi. Pipinya merona, aku sangat menyukainya.“Mas!” Tazia kemudian data
Aku menemani Bea menikmati senja di depan masjid Hagia Sophia. Dia sangat senang. Senyuman tidak pernah pudar dari wajahnya. Berbeda saat dia berada di Mekkah dan Madinah. Bea tidak henti-hentinya menangis. Membuatku panik bukan main. Katanya, dia lagi terharu. Ya, tapi tangisannya seperti orang yang benar-benar sakit.Di taman indah ini, dia menikmati harinya. Bea tidak hentinya berterima kasih dan mengucapkan syukur. Aku senang melihatnya bahagia.Dring!Hazzim menghubungiku.“Assalamualaikum?”“Mas Faizal, nanti malam mau datang nggak? Lagi ada acara syukuran. Putri sudah tahu kalo mas datang. Katanya mau bertemu juga. Acaranya di restoran Asia. Nanti aku yang jemput mas, gimana?”Ku pandangi Bea.“Gimana sayang? Acara makan malam dengan teman mas di sini,” jelasku. Bea mengangguk.“Nggak buat kamu terganggu kan?” tanyaku. Bea menggeleng.“Nggak mas,” jawabnya.“Oke Hazzim, jemput nanti yah, aku lagi di taman nih, dekat apartemen. Kebetulan sekali istriku mau jalan-jalan sore,” jel
Pov Bea Namaku Bea Delima. Aku dilahirkan oleh keluarga yang harmonis, dulu. Kedua orang tuaku memilih sebuah perpisahan. Mereka tewas dalam satu kecelakaan tunggal. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Bibi Jubaidah yang merawatku memilih merahasiakannya. Apa salahnya jika dia berterus terang saja? Aku rasa, tidak ada salahnya, bukan? Aku hidup di panti asuhan. Merawat adik-adikku yang juga memiliki nasib yang sama. Kami tumbuh dengan kasih sayang dari ibu Jubaidah. Aku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Layaknya seorang putri yang perlu seseorang untuk melindungi. Kami memiliki keterbatasan di panti. Kekurangan makanan dan kebutuhan, sering kali menghampiri kami. Namun, sosok bak malaikat datang di tengah-tengah kesulitan itu. Namanya, Tuan Abdullah. Umur 8 tahun, aku melihat mereka yang rutin datang ke panti membagikan makanan dan juga mainan. Tuan Abdullah adalah pengusaha kaya raya. Dia memiliki istri yang cantik. Wajahnya sangat anggun dan teduh. Jilbab
Bagaimana rasanya hidup menjadi seorang anak yatim piatu. Sungguh sangat suram atau bahagia? Aku beruntung karena dirawat ibu Jubaidah yang merupakan seorang janda. Dia memiliki sahabat yang baik bernama ummi Sahara dan Tuan Abdullah. Aku seperti mendapatkan anugrah dari Tuhan dari tangan-tangan mereka. Alina mengirimkan pesan kepadaku. Aku tidak membalasnya. Aku tahu, dia menghubungi Faizal saat ini.“Kamu nggak tahu jika Tuan Abdullah memiliki dua istri?” tanya wanita itu di sela-sela kami menikmati bunga tulip yang mekar. Aku cukup terkejut. Aku menggelengkan kepala. “Nggak, kamu tahu dari mana?”“Rata-rata pengusaha seperti itu, Bea. Memiliki dua istri. Kamu tidak takut?” tanyanya lagi. Dia mengangkat salah satu alisnya memandangiku. Aku sama sekali tidak paham maksudnya. “Itu artinya, Faizal bisa saja akan melakukan hal yang sama.”“Poligami!” tegasnya. Aku menelan salivaku seketika. Entah mengapa, tengorokanku tiba-tiba kering. Putri tersenyum. “Hal seperti itu bisa saja te
Bea POVAku terkejut mengetahui bahwa bibi Ayna dan sang suami kecelakaan. Mereka tidak bisa diselamatkan. Luka parah di sekujur tubuhnya membuat mereka kehilangan banyak darah. Ini adalah takdirnya. Menurut mas Faizal, bibi Ayna dan sang suami hendak menjemput Alina di Surabaya. Aku tidak tahu secara jelas kronologinya. Hari ini adalah hari terakhir kami di Turkey. Aku dan mas Faizal segera merapikan pakaian ke koper lalu bersiap menuju bandara. “Bea, tapi kita bisa saling ngobrol kan?” sahut Putri dari sambungan telepon. Wanita itu menghubungiku secara khusus. “Ingat, ingat Bea, jika mas Faizal bisa saja seperti ayahnya, Tuan Abdullah. Tidak ada yang tahu, bukan?” sambungnya. Aku menjadi jengkel dengan sikap Putri. Dia tidak seharusnya mengatakan hal itu kepadaku. Memangnya dia siapa? Dia tidak punya hak untuk hal itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Aku mencoba menenangkan diriku. Mas Faizal sedang keluar. “Putri,” ucapku. Dadaku bergemuruh. “Iy
Aku menunggu mas Faizal. Pukul sembilan malam, akhirnya suamiku datang. Bu Jubaidah mengatakan jika aku dan mas Faizal bisa ke panti besok soalnya Gandis lagi sakit. Baru saja Bu Jubaidah mengirimkan pesan kepadaku siang ini. Saat membuka pintu, aku segera memeluk suamiku. Ku eratkan pelukanku. Aku seperti orang yang tidak melihatnya dalam waktu yang lama. Abi dan Ummi saling pandang dan tersenyum melihat kelakuanku. Aku bahkan malu sendiri. Tapi aku rindu dengan mas Faizalku. “Besok udah mulai kuliah kan?” tanya mas Faizal yang masih berdiri di depan pintu. “Biarkan suamimu masuk dulu ke rumah Bea, nanti kan di kamar bisa lepas rindu lagi. Mana udah bulan madu kan?” kekeh Abi mengoda. Aku dan mas Faizal tertawa bersama. Mas Faizal masuk di susul oleh Ummi. Namun, ada gadis lain yang ikut bersamanya. Itu Alina. Wajah perempuan itu pucat pasi. Dia menunduk ke bawah dan tidak berani memandangiku. Bekas air mata jelas terlihat di pipinya. Aku memandangi mas Faizal, meminta penjelasan
Kami kembali ke rumah setelah memastikan Gandis dalam keadaan baik-baik saja. Kondisi gadis kecil itu sudah lebih baik. Demamnya sudah turun. “Bea, aku sangat mencintaimu!” ucap mas Faizal tiba-tiba. Dengan cepat dia mengecup bibirku. Kami masih berada di dalam mobil dan saling berciuman. Aku terkejut dengan aksi tiba-tiba mas Faizal. Dia menciumku dengan sangat lama.“Mas,” ucapku. Aku berusaha mendorong tubuh mas Faizal dengan pelan agar dia sedikit menjauh. Mas Faizal memandangiku. Dia kemudian merapikan rambutku lalu segera turun dari mobil. “Maaf, mas sudah nggak tahan,” kekehnya. Aku mencubit pipi mas Faizal karena gemas. Saat turun dari mobil, ku lihat Alina sudah berada di depan gerbang. Apa dia melihat? Pikirku. Suasana menjadi hening sejenak. Seperti mas Faizal tahu jika wanita itu cemburu. Aku segera turun dari mobil tanpa berkata apapun. Mas Faizal menghela napas panjang. Dia mengekor di belakangku. “Ummi tadi lagi pergi. Ku dengar suara mobil kalian. Jadi, aku membu
Faizal Pov“Dijodohkan?” ucap Hafid tidak terima. “Iya, sama Alina. Bagaimana? Kamu sudah ketemu dengannya kan?”Hafid menggelengkan kepala dengan cepat. “Lo bicara apa sih, Faizal. Aku nggak pernah tertarik sama Alina. Aku tertariknya sama …,” Aku menatap Hafid dengan serius.“Sama siapa?” tanyaku dengan cepat. Hafid memperbaiki posisi duduknya. Dia mengacak rambutnya. “Faizal, pokoknya aku nggak mau dijodohkan sama Alina!” Dengan cepat Hafid keluar dari dalam ruanganku. Aku segera mengejarnya. “Hafid, tunggu dulu! Alina sendiri,” seruku. “Terus, kalo dia sendiri. Lo mau aku nikahin dia? Gitu? Maksa banget namanya!” Para mahasiswa memandangi kami. Sahabatku yang satu ini memang sangat tampan. Namun dia sangat selektif memilih calon istri. Selain tampan, Hafid adalah lelaki pekerja keras. Tidak salah abi selalu memberikan proyek besar kepada Hafid. “Hanya lo yang bisa bantu aku. Kalo nggak, bisa-bisa abi maksa gue buat…,” Hafid membalikan badan dan memandangiku.“Buat apa?” tan