Aku menunggu mas Faizal. Pukul sembilan malam, akhirnya suamiku datang. Bu Jubaidah mengatakan jika aku dan mas Faizal bisa ke panti besok soalnya Gandis lagi sakit. Baru saja Bu Jubaidah mengirimkan pesan kepadaku siang ini. Saat membuka pintu, aku segera memeluk suamiku. Ku eratkan pelukanku. Aku seperti orang yang tidak melihatnya dalam waktu yang lama. Abi dan Ummi saling pandang dan tersenyum melihat kelakuanku. Aku bahkan malu sendiri. Tapi aku rindu dengan mas Faizalku. “Besok udah mulai kuliah kan?” tanya mas Faizal yang masih berdiri di depan pintu. “Biarkan suamimu masuk dulu ke rumah Bea, nanti kan di kamar bisa lepas rindu lagi. Mana udah bulan madu kan?” kekeh Abi mengoda. Aku dan mas Faizal tertawa bersama. Mas Faizal masuk di susul oleh Ummi. Namun, ada gadis lain yang ikut bersamanya. Itu Alina. Wajah perempuan itu pucat pasi. Dia menunduk ke bawah dan tidak berani memandangiku. Bekas air mata jelas terlihat di pipinya. Aku memandangi mas Faizal, meminta penjelasan
Kami kembali ke rumah setelah memastikan Gandis dalam keadaan baik-baik saja. Kondisi gadis kecil itu sudah lebih baik. Demamnya sudah turun. “Bea, aku sangat mencintaimu!” ucap mas Faizal tiba-tiba. Dengan cepat dia mengecup bibirku. Kami masih berada di dalam mobil dan saling berciuman. Aku terkejut dengan aksi tiba-tiba mas Faizal. Dia menciumku dengan sangat lama.“Mas,” ucapku. Aku berusaha mendorong tubuh mas Faizal dengan pelan agar dia sedikit menjauh. Mas Faizal memandangiku. Dia kemudian merapikan rambutku lalu segera turun dari mobil. “Maaf, mas sudah nggak tahan,” kekehnya. Aku mencubit pipi mas Faizal karena gemas. Saat turun dari mobil, ku lihat Alina sudah berada di depan gerbang. Apa dia melihat? Pikirku. Suasana menjadi hening sejenak. Seperti mas Faizal tahu jika wanita itu cemburu. Aku segera turun dari mobil tanpa berkata apapun. Mas Faizal menghela napas panjang. Dia mengekor di belakangku. “Ummi tadi lagi pergi. Ku dengar suara mobil kalian. Jadi, aku membu
Faizal Pov“Dijodohkan?” ucap Hafid tidak terima. “Iya, sama Alina. Bagaimana? Kamu sudah ketemu dengannya kan?”Hafid menggelengkan kepala dengan cepat. “Lo bicara apa sih, Faizal. Aku nggak pernah tertarik sama Alina. Aku tertariknya sama …,” Aku menatap Hafid dengan serius.“Sama siapa?” tanyaku dengan cepat. Hafid memperbaiki posisi duduknya. Dia mengacak rambutnya. “Faizal, pokoknya aku nggak mau dijodohkan sama Alina!” Dengan cepat Hafid keluar dari dalam ruanganku. Aku segera mengejarnya. “Hafid, tunggu dulu! Alina sendiri,” seruku. “Terus, kalo dia sendiri. Lo mau aku nikahin dia? Gitu? Maksa banget namanya!” Para mahasiswa memandangi kami. Sahabatku yang satu ini memang sangat tampan. Namun dia sangat selektif memilih calon istri. Selain tampan, Hafid adalah lelaki pekerja keras. Tidak salah abi selalu memberikan proyek besar kepada Hafid. “Hanya lo yang bisa bantu aku. Kalo nggak, bisa-bisa abi maksa gue buat…,” Hafid membalikan badan dan memandangiku.“Buat apa?” tan
Hingga malam hari, Alina tidak terlihat dimana pun. Aku menyerah mencarinya. Aku sudah mencari Alina di rumah sakit tempatnya bekerja dulu. Aku juga tidak lupa mencarinya di rumah keluarganya. Namun, dia tidak terlihat dimana pun. Di perjalanan, abi menghubungiku dan mengatakan sebaiknya aku pulang. Aku pulang karena Bea sangat mencemaskanku. Aku juga tidak ingin membuat istriku cemas. Aku kembali. Di ruang tamu, ku lihat Ummi terus menangis. Aku tidak tega melihat Ummi seperti itu. Bea duduk di samping Ummi. Dia berusaha menenangkan Ummi. “Gimana Faizal?” tanya Ummi saat aku datang. Ummi menghampiriku. Dia memandangiku secara lekat. Aku menggelengkan kepala. Wajah Ummi terlihat kecewa.“Nggak ada Mi, aku nggak lihat Alina dimana pun,” jawabku. Ummi menghela napas panjang. Dia menatap Abi. “Sabar dulu, mungkin Alina butuh waktu,” jelas Abi yang tiba-tiba datang dari arah pintu. Aku berjalan ke sisi Bea. Ku lihat Bea terpuruk. Dia menunduk ke bawah dan bola matanya berkabut. Ku gen
Saat sampai di Surabaya. Aku segera menuju ke alamat yang dikirimkan Abi. Alamat tempat Alina kemungkinan berada. Sesampai di rumah yang dimaksud abi, aku segera mencari Alina.“Assalamulaiakum. Saya Faizal dari Bandung. Alinanya ada?” tanyaku kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang mengurus tanamannya. Lelaki itu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia terlihat bingung. Sesekali dia mengaruk kepalanya.“Baru saja keluar,” serunya.“Siapa yah?”“Faizal,” jawabku.“Saya ke sini buat menjemput Alina, dia ada kan di sini?” ulangku. Aku harus memastikan jika Alina ada di sini. Lelaki itu mengangguk.“Iya, panggil saja saya Suep, saya tukang kebun bapak di sini.”Aku menghela napas lega. Aku menunggu Alina di depan rumah itu. Namun setengah jam menunggu, dia tidak kunjung terlihat. Suep menatapku dan membawahkanku secangkir teh hangat.“Nona Alina datang ke sini malam hari, dia nangis terus. Saya bingung, kata ibu dan bapak, dia lagi terpuruk,” jelas Suep. Aku menyeruput te
Saat sampai di Surabaya. Aku segera menuju ke alamat yang dikirimkan Abi. Alamat tempat Alina kemungkinan berada. Sesampai di rumah yang dimaksud abi, aku segera mencari Alina.“Assalamulaiakum. Saya Faizal dari Bandung. Alinanya ada?” tanyaku kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang mengurus tanamannya. Lelaki itu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia terlihat bingung. Sesekali dia mengaruk kepalanya.“Baru saja keluar,” serunya.“Siapa yah?”“Faizal,” jawabku.“Saya ke sini buat menjemput Alina, dia ada kan di sini?” ulangku. Aku harus memastikan jika Alina ada di sini. Lelaki itu mengangguk.“Iya, panggil saja saya Suep, saya tukang kebun bapak di sini.”Aku menghela napas lega. Aku menunggu Alina di depan rumah itu. Namun setengah jam menunggu, dia tidak kunjung terlihat. Suep menatapku dan membawahkanku secangkir teh hangat.“Nona Alina datang ke sini malam hari, dia nangis terus. Saya bingung, kata ibu dan bapak, dia lagi terpuruk,” jelas Suep. Aku menyeruput te
Perjalanan cukup melelahkan. Aku segera memesan dua tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta. Alina membawahku ke rumah pamannya. Sebelum kembali ke Jakarta, dia ingin bertemu dengan keluarga ayahnya. “Loh, serius kamu sudah mau pulang? Katanya nggak mau pulang toh?” “Kami sudah mau menikah, Om,” ucap Alina. Aku terkejut bukan main saat wanita itu mengatakan demikian. Pak Tito menatapku dengan serius. “Dia? Bersama dia?”Alina menganggukan kepala tanpa ragu. Ya Allah, apa wanita ini benar-benar sudah gila?Pak Tito kini memandangiku dengan sangat lama. “Alina, apa kamu serius. Bukankah mas Faizal sudah menikah?” Pak Tito berbicara dengan Alina namun lelaki itu terus menatapku. “Om, mas Faizal yang aku mau. Aku ingin bersamanya,” ucap Alina lagi. Lagi-lagi, tidak ada keraguan di wajahnya. “Siap dipoligami?” tanya pak Tito dengan cepat. Aku tidak bersuara. Aku memilih diam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Alina menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. “Siap Om,
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah
Faizal PovAku mengantar Bea ke rumah sakit sebelum berangkat ke kampus. Suasana cukup hening di rumah. Ummi berkunjung ke rumah Ummi Asna. Aku sudah lama tidak melihat wanita itu. Ummi Asna datang dan Ummi selalu mengunjungi rumah madunya bersama abi. Melihat kedua istrinya bersahabat, Abi selalu menganggap aku bisa mempersatukan Alina dan Bea juga. Aku merasa tertekan. Orang-orang menganggap aku mampu. Sejatinya, aku tidak sanggup. Aku tidak tahu, mengapa Ummi Asna lebih memilih berkeliling dunia dan sangat jarang di rumahnya. Ummi Asna menghabiskan waktunya di luar dan abi tidak pernah keberatan. Dan juga, ummi tidak pernah terlihat cemburu dengan ummi Asna. Aku sangat penasaran, bagaimana Abi membuat kedua istrinya terlihat sangat akur dan bersahabat. Di kampus, Abdullah mengagetkanku. Dia menyodorkan buah apple di sampingku. “Kok melamun sih?” tanyanya. Aku menutup layar laptop dan menoleh ke belakang. “Bingung,” seruku singkat. Abdullah memiliki nama yang sama persis dengan
Faizal PovPagi ini, kami kembali ke Jakarta. Bea ingin pulang. Selama dua minggu di Singapura, dia merasa bosan. Abi dan Ummi sudah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Aku secara terpaksa mengikuti keinginan Bea. “Kalo aku nggak sembuh mas, gimana?” Dia menatapku. Di dalam mobil, hanya ada aku dan Bea. “Mas nggak akan membiarkanmu pergi, Bea.”“Jika ini takdir, bagaimana?” tanyanya lagi. Dia menatapku sangat dalam. “Mas nggak mau sayang,” jawabku. Kami kembali ke rumah. Aku bisa melihat bagaimana Alina begitu semangat menunggu kami. Dia memakai tongkat dan berjalan dengan pelan menuju gerbang rumah. Aku mengendong Bea menuju kursi roda. Setelah melakukan pengobatan radioterapi, kami harus menjalani beberapa rangkaian pengobatan khusus para pejuang kanker. “Sudah pulang, Mas?”Aku tidak menjawab ucapannya. Dengan cepat, aku mendorong kursi roda milik Bea masuk ke dalam rumah. Bea menatapku dari bawah. Dia terlihat tidak suka dengan sikapku kepada Alina. Ummi menegurku. Jujur, aku
Alina POVHari ini, aku sendiri. Setiap pagi, aku mengurus keperluanku sendiri. Beruntung asisten rumah tangga mas Faizal membantuku. Aku tidak tahu, apa yang terjadi kepada Bea. Kata asisten rumah tangga mas Faizal, Bea sedang sakit parah. Seluruh keluarga Tuan Abdullah segera berangkat ke Singapura demi Bea. “Ada Nona Alina, Buk. Hanya dia yang ada di rumah.”Aku menoleh ke belakang saat bibi Uni, asisten rumah tangga mas Faizal sedang berbicara. Dengan kursi roda yang menemaniku, aku mendorongnya menuju ruang tamu. Wanita itu tersenyum hangat ke arahku. “Alina?” panggilnya.“Dia mengenalku?” Aku mendorong kursi rodaku agar semakin mendekat ke arahnya. Wanita itu sangat cantik. Wajahnya teduh. “Ini istri kedua Tuan Abdullah. Ummi Asna,” ucap Bi Uni memperkenalkan dirinya. Apa? Jadi, wanita ini yang merebut Abi Abdullah dari Ummi Nisa? Aku tahu sedikit kisah tentang mereka. Aku juga tahu bahwa Abi Abdullah memiliki dua istri. “Alina,” panggilnya lagi. Wanita itu berdiri lalu b
Alina PovAku melarikan diri dari rumah mas Faizal. Aku berharap Faizal ingin menikahiku dan mengejarku. Aku ingin memberikan hukuman kepada Bea. Andai saja dia tidak menipuku, mungkin aku sudah menjadi istri mas Faizal sekarang.Dengan sekuat tenaga, aku menerima perjodohan dari ibuku. Aku ingin Faizal menjadi suamiku. Namun, Bea malah menipuku. Dia mengatakan jika aku akan menderita jika bersama Faizal.Hari itu, aku memikirkan semuanya. Hidup bersama lelaki yang tidak mencintaiku, semua akan menjadi buruk. Aku memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Aku berangkat ke Surabaya. Aku tinggal di rumah salah satu sahabatku, Nabila. Aku bersembunyi di sana. Aku merenungkan banyak hal.Ibu dan ayah mencariku. Namun, mereka tidak menemukan dimana aku berada. Ku pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak! Wanita licik itu menikah dengan Faizal. Aku bodoh! Dia melakukan segala cara untuk menikah dengan Faizal.Semua orang menyanyangi Bea. Ummi Nisa dan abi Abdullah. Mereka tampak s
Faizal PovSetelah berbicara dengan Bea di ruang perawatan, aku duduk sendiri di taman rumah sakit. Berkali-kali aku mengacak rambutku. Aku frustasi. “Lo kenapa?” Hafid mengagetkanku. Aku membalik dan menatapnya. Aku menyeka air mataku dengan cepat. “Ada apa? Jangan-jangan lo menangis karena Alina? Dia udah dipindahkan, Faizal. Udah di ruang perawatan. Ada apa sih?”Aku terus terdiam. Bingung harus memulainya dari mana. “Bea?” tanyanya. “Dia sakit!” “Sakit apa?”“Tumor,” sergapku. Air yang berada di tangan Hafid terjatuh seketika. “Serius lo? Jangan bohong!” “Ya ampun, Faizal. Kenapa kamu baru tahu?” “Bea berusaha menutupi semua ini, Hafid. Dokter Anya yang mengatakan hal itu kepadaku. Aku menghela napas panjang. Hafid sama frustasinya denganku. Namun kali ini, dia tidak segila diriku. Aku sangat gila. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. “Aku akan bawah Bea kemana pun negara yang bisa menyembuhkannya!” ucapku. Malam itu, aku dan Hafid tidak banyak bicara. Aku sed
Bea POVHidup ini indah, tapi mungkin tidak untuk hidupku. Ayah dan ibu pergi. Aku dititip di panti dan malaikat bernama ibu Jubaidah merawatku. Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada lelaki yang berumur lebih tua di atasku. Dia hidup bahagia dengan keluarganya yang terkenal Islami. Aku ingin merasakan hal itu juga. Ibu Jubaidah selalu menceritakan kepadaku mengenai Tuan Abdullah dan keluarganya. Kepalaku selalu terasa sakit. Darah selalu keluar dari hidungku. Entah sudah berapa kali aku pingsan dan hari itu, aku memberanikan diri bertemu dengan dokter Fani. Dia adalah dokter yang sering mengunjungi kami di panti. Dia mengenalku sejak lama. “Sampai kapan bisa bertahan?” tanyaku. Wanita berbaju putih itu sesekali menghela napas panjang. “Tidak ada yang tahu mengenai umur, Bea.”“Aku ingin tahu!” tegasku kepadanya. “Sudah stadium 4.”“Mengapa baru menyadarinya, Bea?”Aku menunduk. Aku bingung harus berkata apa. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin merasakan bagaimana orang-orang m
“Tertembak?” sahutku tidak percaya. Beberapa saat, pihak kepolisian menghadang tempat kami berada. Aku membawah Bea ke rumah sakit lalu Hafid mengurus Alina. Jujur, hatiku tidak tenang. Aku terus memikirkan Alina. “Bodoh, mengapa dia nekad mengorbankan dirinya?” ucapku kesal. Dengan cepat aku mengirimkan kabar kepada Abi dan Ummi. Seperti biasa, Ummi panik bukan main. Mereka segera berangkat ke Bandung. Aku tidak bisa menyembunyikan mengenai Alina kepada mereka. Alina dibawah ke rumah sakit terdekat. Setelah Bea di bawah ke ruang perawatan, aku segera ke ruang UGD untuk melihat kondisi Alina. Rupanya pistol itu menembak perut bagian kirinya. Alina tidak sadarkan diri dan dia langsung dibawah ke ruang ICU. Tubuhku bergetar hebat. Aku panik bukan main. Aku hanya bisa menunggu dan berharap dia bisa tersadarkan. “Dia perempuan gila!” ucap Hafid yang datang tiba-tiba. Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menatap Hafid yang sedang memotong roti menjadi dua. “Kau belum makan dari sian
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah