Kami kembali ke rumah setelah memastikan Gandis dalam keadaan baik-baik saja. Kondisi gadis kecil itu sudah lebih baik. Demamnya sudah turun. “Bea, aku sangat mencintaimu!” ucap mas Faizal tiba-tiba. Dengan cepat dia mengecup bibirku. Kami masih berada di dalam mobil dan saling berciuman. Aku terkejut dengan aksi tiba-tiba mas Faizal. Dia menciumku dengan sangat lama.“Mas,” ucapku. Aku berusaha mendorong tubuh mas Faizal dengan pelan agar dia sedikit menjauh. Mas Faizal memandangiku. Dia kemudian merapikan rambutku lalu segera turun dari mobil. “Maaf, mas sudah nggak tahan,” kekehnya. Aku mencubit pipi mas Faizal karena gemas. Saat turun dari mobil, ku lihat Alina sudah berada di depan gerbang. Apa dia melihat? Pikirku. Suasana menjadi hening sejenak. Seperti mas Faizal tahu jika wanita itu cemburu. Aku segera turun dari mobil tanpa berkata apapun. Mas Faizal menghela napas panjang. Dia mengekor di belakangku. “Ummi tadi lagi pergi. Ku dengar suara mobil kalian. Jadi, aku membu
Faizal Pov“Dijodohkan?” ucap Hafid tidak terima. “Iya, sama Alina. Bagaimana? Kamu sudah ketemu dengannya kan?”Hafid menggelengkan kepala dengan cepat. “Lo bicara apa sih, Faizal. Aku nggak pernah tertarik sama Alina. Aku tertariknya sama …,” Aku menatap Hafid dengan serius.“Sama siapa?” tanyaku dengan cepat. Hafid memperbaiki posisi duduknya. Dia mengacak rambutnya. “Faizal, pokoknya aku nggak mau dijodohkan sama Alina!” Dengan cepat Hafid keluar dari dalam ruanganku. Aku segera mengejarnya. “Hafid, tunggu dulu! Alina sendiri,” seruku. “Terus, kalo dia sendiri. Lo mau aku nikahin dia? Gitu? Maksa banget namanya!” Para mahasiswa memandangi kami. Sahabatku yang satu ini memang sangat tampan. Namun dia sangat selektif memilih calon istri. Selain tampan, Hafid adalah lelaki pekerja keras. Tidak salah abi selalu memberikan proyek besar kepada Hafid. “Hanya lo yang bisa bantu aku. Kalo nggak, bisa-bisa abi maksa gue buat…,” Hafid membalikan badan dan memandangiku.“Buat apa?” tan
Hingga malam hari, Alina tidak terlihat dimana pun. Aku menyerah mencarinya. Aku sudah mencari Alina di rumah sakit tempatnya bekerja dulu. Aku juga tidak lupa mencarinya di rumah keluarganya. Namun, dia tidak terlihat dimana pun. Di perjalanan, abi menghubungiku dan mengatakan sebaiknya aku pulang. Aku pulang karena Bea sangat mencemaskanku. Aku juga tidak ingin membuat istriku cemas. Aku kembali. Di ruang tamu, ku lihat Ummi terus menangis. Aku tidak tega melihat Ummi seperti itu. Bea duduk di samping Ummi. Dia berusaha menenangkan Ummi. “Gimana Faizal?” tanya Ummi saat aku datang. Ummi menghampiriku. Dia memandangiku secara lekat. Aku menggelengkan kepala. Wajah Ummi terlihat kecewa.“Nggak ada Mi, aku nggak lihat Alina dimana pun,” jawabku. Ummi menghela napas panjang. Dia menatap Abi. “Sabar dulu, mungkin Alina butuh waktu,” jelas Abi yang tiba-tiba datang dari arah pintu. Aku berjalan ke sisi Bea. Ku lihat Bea terpuruk. Dia menunduk ke bawah dan bola matanya berkabut. Ku gen
Saat sampai di Surabaya. Aku segera menuju ke alamat yang dikirimkan Abi. Alamat tempat Alina kemungkinan berada. Sesampai di rumah yang dimaksud abi, aku segera mencari Alina.“Assalamulaiakum. Saya Faizal dari Bandung. Alinanya ada?” tanyaku kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang mengurus tanamannya. Lelaki itu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia terlihat bingung. Sesekali dia mengaruk kepalanya.“Baru saja keluar,” serunya.“Siapa yah?”“Faizal,” jawabku.“Saya ke sini buat menjemput Alina, dia ada kan di sini?” ulangku. Aku harus memastikan jika Alina ada di sini. Lelaki itu mengangguk.“Iya, panggil saja saya Suep, saya tukang kebun bapak di sini.”Aku menghela napas lega. Aku menunggu Alina di depan rumah itu. Namun setengah jam menunggu, dia tidak kunjung terlihat. Suep menatapku dan membawahkanku secangkir teh hangat.“Nona Alina datang ke sini malam hari, dia nangis terus. Saya bingung, kata ibu dan bapak, dia lagi terpuruk,” jelas Suep. Aku menyeruput te
Saat sampai di Surabaya. Aku segera menuju ke alamat yang dikirimkan Abi. Alamat tempat Alina kemungkinan berada. Sesampai di rumah yang dimaksud abi, aku segera mencari Alina.“Assalamulaiakum. Saya Faizal dari Bandung. Alinanya ada?” tanyaku kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang mengurus tanamannya. Lelaki itu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia terlihat bingung. Sesekali dia mengaruk kepalanya.“Baru saja keluar,” serunya.“Siapa yah?”“Faizal,” jawabku.“Saya ke sini buat menjemput Alina, dia ada kan di sini?” ulangku. Aku harus memastikan jika Alina ada di sini. Lelaki itu mengangguk.“Iya, panggil saja saya Suep, saya tukang kebun bapak di sini.”Aku menghela napas lega. Aku menunggu Alina di depan rumah itu. Namun setengah jam menunggu, dia tidak kunjung terlihat. Suep menatapku dan membawahkanku secangkir teh hangat.“Nona Alina datang ke sini malam hari, dia nangis terus. Saya bingung, kata ibu dan bapak, dia lagi terpuruk,” jelas Suep. Aku menyeruput te
Perjalanan cukup melelahkan. Aku segera memesan dua tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta. Alina membawahku ke rumah pamannya. Sebelum kembali ke Jakarta, dia ingin bertemu dengan keluarga ayahnya. “Loh, serius kamu sudah mau pulang? Katanya nggak mau pulang toh?” “Kami sudah mau menikah, Om,” ucap Alina. Aku terkejut bukan main saat wanita itu mengatakan demikian. Pak Tito menatapku dengan serius. “Dia? Bersama dia?”Alina menganggukan kepala tanpa ragu. Ya Allah, apa wanita ini benar-benar sudah gila?Pak Tito kini memandangiku dengan sangat lama. “Alina, apa kamu serius. Bukankah mas Faizal sudah menikah?” Pak Tito berbicara dengan Alina namun lelaki itu terus menatapku. “Om, mas Faizal yang aku mau. Aku ingin bersamanya,” ucap Alina lagi. Lagi-lagi, tidak ada keraguan di wajahnya. “Siap dipoligami?” tanya pak Tito dengan cepat. Aku tidak bersuara. Aku memilih diam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Alina menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. “Siap Om,
Hafid membuat pertemuan di café L. Setelah kegiatan di kampus selesai, aku segera menghampiri Hafid di kantornya dan kami bersama berangkat ke café L. Rupanya Alina sudah lebih dahulu di tempat itu. Hal yang paling aku senangi adalah, Alina ingin bertemu. “Dari tadi?” tanyaku berbasa-basi. Aku memandanginya dan bola mata kami bertemu. Hafid duduk di sampingku. “Mas Hafid boleh pergi sebentar nggak? Ada yang mau aku omongin sama mas Faizal.”Aku dan Hafid saling pandang dalam kebingungan. “Loh, bukan gitu Alina. Kita bertiga harus bicara,” sergapku.“Tapi aku hanya mau bicara sama mas Faizal!” balasnya. Aku menghela napas panjang. Hafid menyerah. Dia berpamitan keluar dari dalam cafe sesuai keinginan Alina. Sekarang, aku duduk berhadapan dengan Alina. Suasana menjadi hening seketika. “Aku tidak siap berpoligami. Meskipun abi dan ummi mengizinkan hal itu. Aku tidak ingin!” jawabku berterus terang. “Aku tidak siap, ini bukan perkara mudah dan coba-coba,” tegasku. Dia terlihat marah
Tuan Takur adalah lelaki kaya raya. Dia memiliki banyak properti di Bandung. Restoran, hotel dan lain sebagainya. Saat tiba di depan rumah lelaki itu. Ada dua penjaga yang menghampiri kami. Hafid dan ayahnya memiliki beberapa kekuasaan di daerah sini. Ayah Hafid adalah pengusaha sekelas Tuan Takur. Jadi, mereka seimbang. Dengan terpaksa, Hafid meminta bantuan ayahnya. Sejujurnya, Hafid tidak tertarik menghubungi ayahnya. Tapi, karena desakanku lah, Tuan Takur memperhitungkan kami. Dia ingin bertemu denganku. Saat masuk ke dalam rumah, seorang lelaki berperut buncit dan berkepala plontos memandangi kami dari jauh. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Apa urusanmu ke sini? Kau anaknya Iskandar?” Lelaki itu menunjuk Hafid. Hafid mengangguk. “Ya, apa ayahku sudah menghubungimu?” “Duduklah!” perintahnya. Kami duduk saling berhadapan.“Gini Pak, Ullie bersahabat dengan istri sahabat saya. Sampai sekarang, istri sahabat saya tidak ditemukan dimana pun. Kemungkinan dia ber