Daniel memperhatikan Marisa hingga wanita itu beranjak pergi dari sana setelah menerima telepon. Mungkin suaminya sudah menjemput. Kini ia masih diam menatap pada bangku semen yang telah kosong di bawah sana. Iri dengan kebahagiaan Marisa dan Aksara. Beruntung sekali laki-laki itu mendapatkan Marisa. Pasangan muda yang sebentar lagi menimang cahaya mata.Dulu ia dan Shela juga pernah merasakan fase yang sama. Mengecap kebahagiaan hingga beberapa tahun pernikahan. Ketika anak-anak mulai sekolah, dirinya sibuk dengan pekerjaan, dan Shela mulai bosan diam di rumah. Kemudian mencari kesibukan di luar, komunikasi yang lemah, perselingkuhan, dan akhirnya membuat hubungan mereka sekarang bagai berada di ujung tanduk.Ditariknya napas dalam-dalam. Meraih gagang cangkir disebelahnya dan meneguk habis kopi hitam yang tinggal separuh. Kalau bukan karena anak-anak, rasanya enggan dia pulang ke rumah. Kadang melihat wajah kedua anaknya timbul rasa bersalah. Kenapa dirinya tidak bisa memaafkan ma
Sambil mengemas pakaian, Marisa merasa berat hati meninggalkan sang mertua. Tidak enak juga pergi dari sana dalam situasi tegang begini. Di mana persolan penyebar berita belum terungkap. Sedangkan keluarga mereka difitnah sebagai pelakunya. Apa dia akan pergi sebagai seorang pengecut?Namun bertahan juga bukan pilihan yang tepat untuk kesehatan jiwanya. Tiap kali mengingatnya, menyebabkan perut terasa mulas dan menegang. Marisa tidak ingin kehilangan bayinya. Dia juga tidak ingin diuji dengan Aksara akan berpaling arah, iba, dan jatuh cinta pada Hafsah yang kini seolah menjadi korban.Marisa duduk di tepi pembaringan, menatap gerimis di luar sana lewat jendela kamar yang terbuka. Kalimat sang mertua masih terngiang di telinga. "Mama nggak apa-apa kalian pindah. Supaya kamu bisa menjalani kehamilanmu dengan tenang dan aman, Ris. Nggak usah pikirkan mama. Sejak dulu mama sudah terbiasa menghadapi semua ini. Kasusnya kakak iparmu malah lebih parah dari kejadian ini dan mama sanggup mela
Hening. Jauh lebih hening daripada suasana di rumah lama mereka. Apalagi sekarang berada di ketinggian kurang lebih 18 meter. Hanya ada mereka berdua di apartemen itu.Tidak perlu khawatir, jika suara yang lolos dari bibir keduanya akan terdengar orang lain. Hanya ada mereka, menikmati malam dalam balutan kemesraan. Peluh yang luruh bersaing dengan derasnya gerimis di luar.Baju yang tadi dibeli, masih berada di paper bag atas meja rias. Aksara tidak memberi kesempatan pada Marisa untuk berganti pakaian. Padahal dia yang menginginkan sang istri membeli gaun transparan itu.Aksara mengangsurkan satu gelas air pada Marisa setelah beberapa saat mereka istirahat dari pergulatan panjang. Marisa menahan selimut yang menutupi dadanya ketika berada dalam rengkuhan sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Pria itu mengecup puncak kepala istrinya beberapa kali seraya berkata terima kasih."Maafkan aku ya, Mas. Telah menyebabkan mas harus mengambil keputusan pindah dari rumah mama. Pa
Pada saat mereka masih asyik berbincang, mobil Mahika memasuki pekarangan. Wanita itu menggandeng Ubed memasuki rumah sang mertua. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Bu Arum, Sarah, dan Mbak Siti menjawab bersamaan.Sarah berdiri menyalami Mahika dan Ubed. Dua wanita itu juga saling kenal meskipun tidak seakrab seperti Sarah dan Marisa. Bahkan Mahika juga tahu kalau Sarah dulu sempat dekat dengan suaminya. Namun mereka sudah sama-sama dewasa. Tak perlu lagi banyak drama. Semua hanya masa lalu dan kini mereka memiliki kehidupan masing-masing. "Saya pamit dulu ya, Bulik, Mbak Mahika," pamit Sarah setelah sempat ngobrol sekedarnya."Monggo, Mbak Sarah," jawab Mahika."Sekali lagi makasih ya, Sarah," kata Bu Arum.Sarah mengangguk sambil tersenyum. Kemudian lekas berlalu dari sana. Bu Arum menciumi pipi sang cucu dan mengajak mereka masuk rumah.***LS***Sidang mediasi baru saja selesai. Daniel dan Shela gagal berdamai. Damai dalam artian kembali mempertahankan pernikahan. Tapi Danie
Biasanya kalau Aksara terlambat pulang, Marisa akan makan malam bersama mama mertuanya. Makan kemudian dilanjutkan bercerita dan bercanda. Tapi sekarang dia sendirian menikmati masakan yang diminta suaminya tadi pagi. Dan di sana, mama mertuanya mungkin sedang makan malam ditemani oleh Mbak Siti.Marisa menghabiskan makannya dengan cepat. Kemudian memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, lalu duduk di balkon sambil menanti mesin itu menyelesaikan pekerjaannya. Tak lupa membawa setoples cookies yang dibawa dari rumah ibunya hari Minggu yang lalu.Untungnya bayi dalam perut tak lagi rewel setelah sempat pendarahan waktu itu. Hanya mual di awal pagi, tapi tidak sampai muntah. Setelah minum teh panas atau air hangat, rasa mualnya sudah berkurang dan dia bisa beraktivitas seperti biasanya.***LS***Sebagai Site Engineering, tentu beban pekerjaan dan tanggungjawab Aksara terhadap perusahaan makin besar. Walaupun punya tim yang terbilang solid, tapi dia tidak bisa begitu saja lepas peng
Marisa segera melepas mukena dan melipatnya setelah mencium tangan sang suami usai mereka salat subuh. Ketika wanita itu hendak berdiri, Aksara menahan lengannya. Membuat Marisa kembali duduk di samping suaminya."Aku mau masak, Mas.""Nggak usah masak. Nanti mas belikan nasi bakar di bawah," cegah Aksara. Di lantai dasar memang ada kedai kecil penjual kopi dan nasi. Buka hanya sampai jam sembilan pagi saja.Aksara merengkuh pundak istrinya. Mencium aroma wangi shampo di rambut Marisa. Apapun aroma yang tercium, sudah menjadi candu baginya. Membangkitkan gairah tak peduli kapan pun, terlebih sekarang mereka hanya tinggal berdua. Tak ada yang membuat canggung saat satu keinginan paling mendasar itu minta dituntaskan. Malam, sehabis salat subuh, atau ketika mereka rebahan siang hari di akhir pekan. Kehamilan Marisa tidak menghalangi mereka untuk berasmara."Mas, akan terlambat ke kantor nanti!" Marisa mengingatkan suaminya sambil menunjuk jam di dinding."Baru jam lima. Masih banyak wak
Marisa menghampiri mobil suaminya yang berhenti di depan kafe. Dia tadi sudah memberitahu Aksara, kalau akan bertemu seseorang di sana.Meski Shela mengikuti, tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Marisa. Dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Apa yang mesti ditakutkan? Dia bukan perempuan jalang yang memanfaatkan keadaan dengan mengeruk harta pria kaya yang menyukainya. Kalau mau, bukan hanya lima puluh juta yang ia dapatkan. Tapi lebih dari itu. Terlihat Daniel memang jatuh cinta padanya. Bahkan nekat hendak menikahinya. Kalau ia sejenis perempuan ja-lang. Jelas tidak akan melepaskan peluang itu, apalagi ia butuh uang untuk menopang keluarga. Siapa perempuan yang tidak suka hidup mewah, plus menjadi nyonya dari lelaki tampan dan kaya? Tidak perlu kerja keras, uang sudah pasti mengalir deras. Bukan hanya uang saja, ia sekaligus mendapatkan kenikmatan juga. Daniel bukan lelaki buruk rupa 'kan? Dia tak kalah gagah dari Aksara.Namun apa ada kebahagiaan sejati dengan merampas ke
Aksara luluh. Tatapannya tak setajam lagi. Dipeluknya sang istri seperti biasanya. Marisa lega. Ketika ia menganggap kisahnya mencintai Delia dan mantan kekasihnya dulu hanya masa lalu yang ingin di tutup rapat. Maka ia tak layak memperdebatkan apa yang telah dipaparkan oleh Marisa baru saja."Minggu depan mas ada pekerjaan ke Jember, mungkin nginap di sana dua malam. Mas nggak tega kamu sendirian di apartemen. Gimana enaknya, sementara kamu tinggal di rumah mama apa di rumah ibu?" Aksara mengalihkan percakapan."Saran Mas sendiri gimana? Sebenarnya kalau hanya dua malam saja, nggak apa-apa aku tinggal di apartemen sendirian.""Jangan. Mas yang khawatir kalau kamu sendirian di sana.""Bagaimana kalau aku nginap di rumah ibu?"Aksara memandang istrinya. Jujur saja, ia keberatan Marisa pulang ke rumah ibunya. Bukan apa-apa, hati terdalamnya seolah menganggap ia akan ditinggalkan. Marisa seperti pergi meninggalkannya dan kembali pulang ke orang tuanya. Perasaannya sungguh konyol, tapi it
Sebagian perempuan pasti suka barang kemas seperti itu. Disamping bisa mempercantik diri dan melengkapi penampilan, perhiasan juga bisa menjadi barang investasi."Tadi niatnya aku yang mau bikin kejutan. Tapi justru Mas yang bikin aku kaget. Malah aku nggak nyiapin kado. Mas, mau kado apa?" tanya Marisa. Kedua tangannya masih bergelayut manja di leher sang suami."Sayang, kamu serius ingin mas memilih sendiri kadonya?"Marisa mengangguk yakin. Apa yang ditakutkan? Toh biasanya mereka akan merayakan hari spesial dengan cara menghabiskan sepanjang malam dalam kemesraan."Pilih saja. Mas, mau kado apa?" Marisa menatap lekat wajah suaminya."Anak," jawab Aksara singkat tapi serius."Apa?""Anak ketiga. Katanya Mas harus milih sendiri. Makanya Mas pilih anak."Senyum Marisa masih bertahan, ia ingin merayu sang suami agar mengganti permintaan. "Coba minta yang lain?""Nggak bisa, Sayang. Mas disuruh milih kan tadi, ya udah mas pilih anak. Tapi kamu nggak boleh curang, nanti diam-diam pakai
Marisa tersenyum ramah dan menyalami Mahika dan keluarganya yang menunggu di meja panjang. Tempat yang telah di booking tadi siang. Aksara juga melakukan hal yang sama. Membimbing kedua anaknya untuk salim pada mereka."Maaf, Mama nunggu lama, ya?" Marisa mencium kedua pipi mertuanya."Enggak. Kami juga baru saja sampai," jawab Bu Arum lirih.Beberapa pelayan restoran menyuguhkan minuman.Aksara dan Marisa duduk bersebelahan. Sedangkan anak-anak duduk bersama Ubed di sebelah Mahika. Si centil Keisya sangat dekat dengan budhenya.Mbak Siti, Mbak Dwi, dan pengasuh Ubed juga ikut duduk bergabung di sana. Bu Arum mengajarkan pada putra-putranya agar tidak membedakan mereka. Makanya mereka pada betah bekerja. Marisa heran karena Aksara diam, tidak juga bertanya sebenarnya mereka ada acara apa. Mungkin sang suami mikirnya hanya makan malam biasa. Tak apalah, bukankah sudah lumrah kalau suami jarang yang ingat dengan momen-momen tertentu dalam hidupnya. Bahkan tanggal lahirnya pun terkadan
"Mbak, aku mau ngajak Mbak Mahika dan Mas Johan bikin surprise untuk anniversary pernikahan kami yang ketujuh."Mahika menatap lekat Marisa. "Hari ini anniversary pernikahan kalian?"Marisa mengangguk. "Sepertinya Mas Aksa lupa sama hari ini. Makanya aku ingin mengajak kalian bikin surprise. Tadi aku sudah telepon Kafe Harmoni untuk booking tempat. Kita dinner malam ini. Aku sudah telepon Mama sehabis makan siang tadi.""Oke, jam berapa nanti?" tanya Mahika."Jam tujuh sampai kafe. Nanti Mbak sama Mas Johan yang jemput mama, ya. Aku langsung ngajak Mas Aksa dan anak-anak ke kafe. Ajak sekalian papa dan mamanya Mbak Mahika."Kebetulan Pak Raul dan Bu Raul memang berada di rumah Mahika sudah dua hari ini. Setelah pensiun, Pak Raul memang lebih sering datang ke Surabaya. Sebab cucu-cucunya di Jombang sudah pada besar-besar semua. Sibuk sendiri dengan kuliahnya. Jadi hanya Ubed yang menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Terlebih jika anak-anak Aksara ada di sana juga.Mahika mengangguk.
Hafsah tersenyum dengan gaunnya yang menerawang. Hadiah dari Kholifah. Beberapa saat dia mematung di kamar mandi. Memperhatikan penampilan barunya. Cantik juga dia memakai gaun kurang bahan itu."Pakailah nanti di malam pengantinmu. Membahagiakan suami pahalanya besar. Kamu pun tahu hal itu. Jadi nggak perlu Mbak perjelas," pesan Kholifah kemarin sore. Ketika baru tiba dari Jember dan menemuinya di kamar.Kholifah lah yang berhasil membuka minda Hafsah. Memarahi juga menasehati. Kholifah berceramah panjang lebar, banyak pandangan, hadist nabi yang di sampaikan dengan segala pemahaman. Baru dengan sepupunya itu hati Hafsah terbuka.Sedangkan dengan Latifa, sepupunya yang paling dekat di Surabaya, juga teman-temannya, justru malah sering mengompori untuk membenci Marisa. Mendukungnya merebut Aksara dari istrinya. Namun tidak dengan Kholifah yang sangat menentang keras dan menyebutnya perempuan tidak punya harga diri. Terkadang di tampar berkali-kali baru membuat seseorang sadar dengan
Sarah beserta suami dan bapaknya juga bergabung dan bersalaman dengan keluarga Bu Arum.Wanita itu menggendong bayi lelaki yang tertidur pulas. Sedangkan ketiga anak yang lain tidak ikut. Sambil melangkah, Daniel mengajak ngobrol Johan dan Aksara. Apalagi kalau bukan bicara mengenai dunia bisnis. Daniel berencana hendak mengajak mereka bekerjasama. Marisa sendiri sudah resign satu bulan yang lalu. Disamping usaha suami dan iparnya mulai butuh tenaga ekstra, kehamilannya juga agak rewel. Namun masih sering bertemu, kalau Daniel datang ke kantor mereka.Mahika juga resign dari perusahaan Omnya. Sekarang fokus di kantor mereka sendiri. Alhamdulillah, perkembangan usaha mereka sangat bagus. Johan dan Aksara memang jenius membawa perusahaan ke arah yang lebih cemerlang. Mereka kompak dan saling melengkapi."Jangan lupa kabarin kalau kamu lahiran," ucap Sarah yang melangkah di sebelah Marisa."Pasti dong, Mbak," jawab Marisa sambil tersenyum.Pak Kyai, Bu Haji, Alim, dan Mifta yang menyam
Marisa terkejut. Begitu pun dengan Mahika. Johan membaca undangan warna abu-abu itu, sedangkan Aksara meladeni Kenzi dan Ubed bermain. Sebenarnya dia mendengar, hanya saja memilih tidak menanggapi."Syukurlah, akhirnya memutuskan nikah juga ustadzah Hafsah, Ma," ujar Mahika seraya memperhatikan undangan yang tengah dibaca sang suami."Haikal Ahmad. Apa dia ustadz juga, Ma?" "Mama kurang paham, Ka. Katanya duda anak satu. Kakaknya yang jodohin sama laki-laki itu. Yang mama dengar, Haikal itu teman kuliahnya Mas Alim."Teman Alim? Pasti usia mereka terpaut lumayan jauh, karena Alim kakak sulungnya Hafsah. Mungkin Hafsah punya pertimbangan tersendiri kenapa menyetujui perjodohan dengan temannya Alim. Bisa jadi, dialah yang sanggup merobohkan keteguhan hati gadis itu."Hari Minggu depan ini, 'kan, Ma?" tanya Marisa."Iya, Ris. Habis akad nikah langsung resepsi. Seperti kamu dan Aksa dulu. Undangannya juga terbatas. Hanya kerabat dekat dan tetangga saja yang di undang."Meski mama, istri,
Johan tertawa lepas berderai sambil memperhatikan lalu lintas di hadapan. "Kamu ada-ada saja, sih, Yang.""Mas, malah ngakak. Sudah kubilang aku hanya penasaran.""Setelah banyak hal terjadi dan aku mendapatkan pasangan sepertimu, apa yang ingin kucari lagi. Di usia kita yang sekarang ini, apa yang ingin kita ambisikan lagi? Aku sangat bersyukur memilikimu dan Ubed. Kamu yang mau menerimaku apa adanya, membuatku bangkit dan sanggup menatap dunia. Memberikan support baik moril maupun materiil. Yang, mikir aneh-aneh itu hanya bikin timbulnya penyakit hati dan masalah."Yang. Ini panggilan spesial dari Johan untuk Mahika. "Iya, aku tahu. Kadang hal-hal begini bisa jadi itermezo percakapan kita. Tapi jujur saja, nggak ada maksud apapun selain sekedar ingin tahu." Mahika tersenyum seraya merangkul lengan suaminya."Aku paham. Kita sudah terlalu tua untuk menciptakan drama.""Tapi Sarah baik, Mas. Nggak seperti Hafsah yang cinta mati ke Aksara.""Memang sejak dulu dia suka Aksa. Hanya saja
"Kenzi masih tidur. Nggak usah khawatir. Mas sudah lihat tadi." Aksara menahan tubuh istrinya.Marisa urung bangkit dari atas pembaringan. Dia menatap sang suami yang mendadak sakau. Pagi ini Aksara berada pada titik kulminasi kesabarannya. Marisa kasihan dan merasa berdosa jika menghindari, karena dokter pun sebenarnya tidak melarang.Kamar kembali hening. Bisik lirih dan deru nafas yang terdengar di telinga masing-masing. Pengalaman beberapa bulan yang lalu membuat Aksara sangat berhati-hati. Meski dikuasai 'keinginan tingkat tinggi', tapi ia tidak ingin mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Sebab dia pun sangat menginginkan anak itu. Semoga saja Marisa akan memberinya bayi perempuan yang cantik dan lucu. Pagi yang berakhir manis. Terbayar tunai hutang Marisa pada sang suami. Aksara tersenyum bahagia, secerah mentari pagi."I love you," bisiknya.Marisa mengeratkan pelukan. Perutnya yang sudah mulai membuncit di usia kehamilan sepuluh minggu, bersinggungan dengan tubuh Aks
Diam. Aksara memerhatikan jalanan yang ramai kendaraan dihadapan. Tak menyangka saja, keharmonisan yang tercipta tiga bulan ini ada sisi lain yang disembunyikan istrinya. Bahkan sangat rapi hingga dirinya tidak menyadari. Marisa memang pandai bermain rasa. Senyumnya merekah sepanjang hari. Melayani dirinya dan Kenzi dengan baik. Urusan ranjang yang tidak pernah diabaikan. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Marisa sangat pintar memang. Bagaimana sang istri meyakinkannya saat ia cemburu karena Marisa sering bertemu Hugo untuk urusan pekerjaan. Padahal batin Marisa sendiri masih perlu diyakinkan oleh urusan tentang Hafsah. "Tapi itu kisah selama tiga bulan kemarin, Mas. Kalau sekarang aku memutuskan untuk hamil, berarti semua keraguan itu bisa kuatasi sendiri." Marisa bicara sambil tersenyum. Aksara menarik lengannya pelan hingga Marisa bersandar di bahunya, sedangkan tangan kanannya fokus pegang kemudi. "Makasih, Sayang. Semoga sampai kapan pun kita bisa mengatasi ujian rumah tan