Part 17“Maaf, Mas,” ujar Madina merasa bersalah kala mendengar suaminya meringis kesakitan. “Aku cuman mau mengucapkan selamat kepada Mas, kalau kita sebentar lagi akan ... mempunyai anak.""Syukur alhamdulillah. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginan dan harapan kamu, Dek," sahut Malik terdengar biasa saja, tidak seperti sang istri yang terlihat sangat bahagia. Madina mengurai pelukan dari tubuh tegap sang suami, lalu dia menatap kecewa pada pria yang sangat dicintainya. "Mas, sepertinya kamu enggak bahagia mendengar kabar baik ini. Kenapa, Mas?"Malik tampak menarik napas dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. Kemudian, dia membingkai lembut wajah ayu sang istri dan memberi kecupan sayang di kening wanitanya. "Mas bahagia, Sayang. Tapi, Mas akan jauh lebih bahagia kalau anak kita lahir dari rahim kamu, Dek.""Tapi, yang aku lihat malah sebaliknya. Tidak ada raut bahagia terpancar di wajah tampanmu ini, Mas, atas anugerah berkah dari-Nya yang menghadirkan calon anak kita yang se
Part 18"Jihan kenapa, Mbok?" tanya Malik cemas. Dia baru saja tiba di rumah mewah bergaya Eropa itu dan langsung ke lantai atas."Non Jihan tadi tiba-tiba pingsan, Den, setelah keluar dari kamar mandi. Badannya juga panas, mungkin karena dari siang dia belum makan apa-apa. Waktu pagi juga dia cuman makan sedikit, tapi dimuntahkan kembali," terang Mbok Yati sembari terisak sedih kala melihat keadaan wanita kesayangannya terlihat lemah tak berdaya."Sekarang Mbok yang tenang. Jangan khawatir, Mbok. Insyaallah, Jihan baik-baik saja," ucap Malik yang langsung mengeluarkan stetoskop dan tensimeter dari dalam tas kerjanya untuk memeriksa wanita yang sedang mengandung anaknya. "Jihan kekurangan banyak cairan, Mbok, tekanan darahnya juga rendah. Apa dia masih merasakan mual-mual setiap pagi dan juga malam, Mbok?"Mbok Yati tampak mengangguk sembari menyusut buliran bening yang masih meluncur deras membasahi pipi. "Masih, tapi hari ini yang Mbok lihat mual-mual Non Jihan lebih parah enggak se
Part 19"Om Hasan? Kapan Om pulang dari Itali?" tanya Jihan berusaha bangun dari pembaringan."Kamu enggak usah bangun dari situ, Ji. Keadaanmu masih sangat lemah," ucap Malik terdengar masih sangat mencemaskan wanita tersebut."Kemarin ... dan siangnya Om langsung pergi ke rumah sakit untuk mengecek data-data pemasukan dan pengeluaran rumah sakit kita selama enam bulan Om tinggal ke luar negeri. Dan, dari sanalah Om mengetahui kalau kamu sudah tiga bulanan enggak masuk kerja bahkan kamu enggak pernah mengecek data keuangan rumah sakit milik keluarga kita, Ji. Kamu serahkan semua tanggung jawabmu kepada Yusuf, putraku. Ternyata karena ini alasannya," tandas Pak Hasan seraya menatap tajam pada keponakan satu-satunya.Jihan sedikit takut dengan tatapan tajam yang diberikan oleh pamannya. Wanita beriris kecokelatan itu berusaha menyunggingkan senyuman kepada pria paruh baya yang auranya selalu terlihat tegas dan juga sangat menyeramkan."Ini semua enggak seperti apa yang sedang Om pikirk
Part 20"Auuw." Jari telunjuk Madina tidak sengaja tergores oleh pisau dapur saat dia sedang memotong bawang merah untuk dicampurkan ke dalam mangkuk yang berisikan telur."Astagfirullah, jarimu berdarah itu, Dek. Kakak lihat hari ini kamu banyak melamun, Dek. Tadi juga kamu hampir terjatuh dari tangga. Kamu sedang ada masalah sama Malik, Dek?" tanya Safira cemas seraya menatap wajah ayu sang adik, lalu wanita cantik itu menarik Madina untuk duduk di kursi yang tidak jauh dari dapur."Enggak ada, Kak. Alhamdulillah kami baik-baik saja," ucap Madina. "Tapi, dari semalam, entah kenapa pikiranku enggak bisa tenang, Kak. Apa karena aku enggak pernah pergi jauh meninggalkan Mas Malik sendirian di rumah?""Bentar, Dek. Kakak mau ambil kotak obat dulu di ruangan tengah, luka di jarimu jangan diapa-apain dulu, ya, Dek!""Iya, Kak."Hanya dalam waktu sepuluh detik, Safira sudah kembali menghampiri Madina dengan membawa kotak obat berisikan betadin dan juga hansaplast di dalamnya. "Tahan sediki
Part 21[“Halo. Assalamualaikum, Mas,”] ucap Madina lembut pada sang suami, ketika dia bisa menatap langsung wajah Malik melalui panggilan video call. [“Wa ‘alaikumus-salam, Dek. Maaf, ya, karena ponsel Mas baru diaktifkan. Kamu sedang apa di sana, Dek?”] tanya Malik mencoba bersikap senormal mungkin agar sang istri tidak menyimpan prasangka buruk pada dirinya.[“Adek sama yang lain baru pulang dari jalan-jalan, Mas. Mumpung masih di sini, nyenengin hati Akbar sama adik-adiknya. Mas, kok, ponselnya baru diaktifin lagi, sih? Memangnya Mas pergi seminar di rumah sakit mana? Tadi siang, waktu aku telepon ke sana, katanya Mas lagi pergi seminar ke luar kota. Kok, tumben enggak ngasih tahu aku dulu, Mas? Biasanya Mas selalu izin terlebih dulu kalau mau pergi ke luar kota,”] tanya Madina beruntun kepada sang suami, karena perasaannya tidak bisa tenang sebelum melihat secara langsung sang suami dalam keadaan baik-baik saja.[“E-eh, iya, Dek. Maaf, Mas belum sempat ngasih tahu ke kamu kalau
Part 22 Setelah Jihan terlelap, Malik memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Perlahan dia memindahkan kepala sang istri dari dadanya ke atas bantal. Sejenak dia menatap wajah jelita sang istri, tidak dipungkiri kalau di sudut ruang hatinya yang paling dalam, Malik masih menyimpan perasaan sayang pada wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya. Wanita yang dulu pernah meninggalkan dirinya dan lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Saat itu, dia sempat terpuruk ketika Jihan memutuskan pertunangan yang telah mengikat hubungan mereka berdua menuju ikatan halal. Namun, kini kenangan suram itu telah terhapus setelah dia menikah dengan Madina. Sosok wanita baik, berhati lembut dan juga sangat penyabar. "Saya pulang dulu, Ji," bisik Malik sebelum memberi kecupan di kening sang istri. Setelahnya, dia beralih memberi usapan lembut di perut buncit Jihan. "Baik-baik, ya, Nak. Abi pulang dulu. Malam ini, tolong jangan membuat ibumu kesusahan, ya. Jadi anak yang pintar. Abi sa
Part 23Malik lalu melepaskan tautan bibirnya dari bibir ranum sang istri setelah beberapa menit yang lalu dia hampir saja kehilangan kendali kala wanita di bawahnya bersikap sangat agresif dan masih terus berusaha memancing sesuatu yang bergejolak di dalam sana. Dengan sekuat tenaga, Malik berusaha agar tidak lepas kendali lalu berakhir menyakiti wanita yang sedang mengandung darah dagingnya. Memang secara hukum agama, mereka berdua sudah halal untuk melakukan hal tersebut, menyempurnakan ibadah pernikahan yang baru tiga hari dia bina bersama wanita berparas jelita yang sekarang tengah menatapnya penuh damba."Kenapa berhenti? Aku sudah siap menyerahkannya kepadamu, Mas," ucap Jihan mendayu sembari mengelus lembut dada bidang sang pujaan hati yang sudah tidak tertutup pakaian lagi."Ini salah, Ji. Saya enggak bis—""Mas, kamu bisa. Tadi, kita hampir melakukannya. Lagi pula kita sudah halal, Mas. Enggak ada salahnya kita melakukan hubungan suami istri, menyempurnakan pernikahan kita,
Part 24"Lho, Dek, kapan pulang dari Dubai? Kenapa enggak ngasih tahu Mas terlebih dulu sebelum pulang ke Indonesia?" tanya Malik agak sedikit terkejut kala mendapati istrinya sudah ada di rumah. "Apa dari kemarin dan juga hari ini, Mas belum mengecek ponsel? Dari kemarin, aku sudah berulang kali menghubungi nomor Mas sebelum pulang ke Indonesia. Tapi, rupanya nomor ponsel Mas selalu di luar jangkauan dan setelah itu sudah tidak aktif," sahut Madina datar pada sang suami."Maaf, Dek," ucap Malik tersirat penuh sesal pada wanita yang sudah sangat dirindukannya. "Tolong maafkan Mas, Dek.""hmm," gumam Madina.Sebelum menghampiri sang istri, Malik menyimpan tas kerjanya terlebih dahulu di atas meja rias. Setelahnya, dia merentangkan kedua tangan pada Madina, berharap sang istri mengerti dan langsung menyambutnya."Dek, sini. Mas rindu," ucap Malik lembut pada wanitanya. Namun, wanita itu hanya bergeming dan tidak merespons titah darinya. Dia menghela napas berat sebelum akhirnya mengala