Hujan salju kembali turun keesokan harinya. Pada pagi hari yang masih redup, di dalam sebuah bangunan bobrok yang hanya memiliki sehelai karung goni sebagai pintunya, beberapa anak pengemis tidur bergelung sambil saling memeluk satu sama lain. Di dalam bangunan kumuh itu, ada seorang gadis remaja usia awal dua puluhan yang menjaga anak-anak ini. Dia masih mengenakan pakaian pelayan istana. Saat ini, gadis itu sibuk menyalakan perapian demi menjaga suhu ruangan agar tetap hangat. Dalam hati, dia merasa cemas karena angin kencang di luar sana menerbangkan karung goni yang menutupi pintu mereka. Membuat butir salju menerobos masuk ke dalam kamar dan angin menerbangkannya hingga ke seluruh ruangan. Dia terpaksa menahan karung itu dengan bantuan benda yang besar seperti kursi dan meja makan. Dengan begitu, angin di luar sana tak bisa lagi masuk ke dalam dan membuat anak-anak ini tidur dalam keadaan kedinginan. Setelah urusan dengan perapian dan pintu selesai, dia berdiri di depan lema
Jing Xuan menyeruput teh miliknya, kemudian meletakkannya kembali di atas meja. Tangan kirinya mengangkat sebuah dokumen laporan, matanya sibuk membaca isi laporan tersebut. Saat pintu terbuka, Jing Xuan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu, melihat Mao Lian berjalan mendekat. “Apakah sudah menemukannya?” tanya Jing Xuan. Mao Lian menggeleng, dia duduk di tempatnya dan menyenderkan tubuh, hembusan napasnya terdengar cukup kencang. “Kau begitu kelelahan?” Jing Xuan tersenyum mengejek, dia mengangkat sebuah kendi arak dari dalam laci mejanya, kemudian meletakkannya di atas meja. “Aku memberimu hadiah.” Mao Lian langsung duduk tegak, dia berdeham pelan, lalu melapor, “Sejak keluar dari Nanzhou, tidak ditemukan lagi jejaknya di mana pun, Yang Mulia. Pasukan Jenderal Nanzhou yang mengejarnya juga kehilangan jejak di daerah Tingzhou.” “Lalu, terakhir kali empat hari yang lalu, seorang warga sipil di Youzhou sepertinya sakit parah, lalu seorang tabib menyembuhkannya. Dia ber
Tiga hari berikutnya, saat hari pengobatan itu kembali datang, Yinlan bersiap-siap hendak pergi ke Ruang Baca untuk menemui Jing Xuan. Namun, di depan kediamannya sendiri, dia melihat Mao Lian sedang menunggunya sambil melihat ikan di kolam teratai. Yinlan menghampirinya, “Selamat pagi, Tuan Mao.” Seharusnya dia juga bertanya, ‘Kenapa ada di sini?’ Tapi karena Mao Lian lebih dulu membalik tubuhnya dan mengatakan permintaan maaf padanya, Yinlan mengurungkan niatnya yang hendak lanjut bertanya. “Maaf, Selir. Hari ini, Yang Mulia mengundang tabib lain untuk melakukan pengobatannya.” Mao Lian mengatakannya dengan penuh rasa bersalah. Justru Yinlan yang menanggapinya cukup santai, bahkan sempat tersenyum, “Baguslah, kalau begitu. Dia mendapat pengobatan dari orang yang lebih berpengalaman dari pada aku.” “Kau baik-baik saja, Selir?” Mao Lian menatapnya lamat-lamat. Yinlan mengangguk riang, “Kalau begitu, ayo kita temui dia.” “Eh, tapi …,” Mao Lian menghentikan langkahnya, dia menu
Liu Xingsheng berdiri di depan Toko Obat Qiuyue setelah mendapat undangan dari Shangguan Zhi. Sehari setelah pulang, dia langsung dipanggil Yang Mulia Kaisar untuk menggantikan Yinlan melakukan pengobatan. Esok paginya, Shangguan Zhi memintanya datang ke Toko Obat Qiuyue untuk mendiskusikan sesuatu. Kini, dia sudah berada di tempat itu, Pengurus Toko membawanya masuk. Dia bahkan bertemu lagi dengan Han Zheng, bocah laki-laki yang mengantarnya pulang ke Ibu Kota itu. Juga ada Shangguan Yan. Pria itu duduk santai mengupas kulit kacang di ruangan yang dipilih Shangguan Zhi untuk mengobrol dengannya. Liu Xingsheng berdecak kesal, “Kenapa kau ada di sini?” “Kawan …, harusnya aku yang bertanya, untuk apa kau berada di tempat adikku sepagi ini?” Shangguan Yan menyeringai lebar. Liu Xingsheng meraup kacang yang sudah dikupas dari depan Shangguan Yan dan memakannya. Shangguan Yan melotot kesal, “Sudah susah payah aku mengupasnya, kenapa malah kau yang menghabiskannya?” dia bersungut-sun
Siang hari, begitu bangun dari tidurnya, Yinlan mendengar keributan dari luar paviliunnya. Dia keluar untuk melihatnya. Betapa terkejutnya ia, melihat A-Yao tersungkur dengan tubuh basah kuyup dan gemetar kedinginan. Yinlan segera menghampirinya di bawah tatapan mengejek para pelayan di kediamannya. Yinlan segera membantu A-Yao berdiri, dia menyelimutinya dengan jubah berbulu yang dia pakai. “Apa yang terjadi, A-Yao?” A-Yao tidak mampu berbicara dengan bibirnya yang bergetar dan pucat. Yinlan menatap dua orang pelayan dari Istana Mingyue yang membawa mangkuk besar yang kosong. Dengan nada meremehkan, mereka berkata, “Dia pantas mendapatkannya, Selir.” Yinlan mengernyit heran, “Kesalahan apa yang dia lakukan, sampai-sampai kalian berbuat seperti ini padanya?” Dia bertanya datar. “Dia menolak saat aku memintanya membangunkanmu. Jadi, kami terpaksa memakai cara kasar. Rupanya dia sangat setia, ya …, kepada majikan udiknya ini.” Permaisuri muncul dari belakang dua pelayan itu. “Xie
Di lantai tiga Paviliun Longwei, tepat setelah melihat Liu Xingsheng mengangkat tubuh Yinlan, Jing Xuan tak sengaja menjatuhkan cangkir tehnya, suara nyaring terdengar, pecahannya berserakan di lantai. Mao Lian berdiri dengan terkejut, “Yang Mulia, kau baik-baik saja?” bergegas menghampirinya. Jing Xuan menggeleng, wajahnya tiba-tiba terlihat pucat, meringis menahan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan. Tangannya mengepal gemetar. Rasa sakit yang sudah lama tak ia rasakan itu muncul lagi. Jing Xuan berdiri untuk menjajal tenaganya sendiri. Tubuhnya malah terjatuh bahkan sebelum sempat mencapai posisi setengah berdiri. “Yang Mulia!” Mao Lian memapahnya dan membantunya duduk di kursi panjang itu. Mao Lian menyingkirkan meja catur yang ada di tengahnya supaya Jing Xuan bisa meluruskan kakinya. Wajahnya terlihat cemas, dia memeriksa suhu tubuh Jing Xuan. “Yang Mulia. Apakah penyakitmu kambuh lagi?” Mao Lian bertanya cemas. “Berikan obat itu padaku, Mao Lian.” Jing Xuan berkata deng
Di tengah malam, di tengah guguran salju dan irama desiran angin melewati pepohonan, Yinlan membiarkan jendela kamarnya terbuka, membuat angin sejuk berhembus masuk ke dalam dan menyibak rambut panjangnya. Yinlan sedang duduk di meja rias, matanya terpejam dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Meski duduk di depan meja rias, Yinlan tidak menghadap ke depan meja rias dan menatap cermin, justru menghadap ke samping di mana Jing Xuan dengan lembut menyentuh dagunya. Hembusan napasnya yang hangat mengusir angin sejuk yang menerpa punggungnya, Yinlan sama sekali tidak terganggu. Jing Xuan memegang sebuah kuas rias kecil untuk menggambar alis. Dia melakukannya secara pribadi untuk menggambar alis Xie Yinlan. “Kau yakin bisa melakukannya, Yang Mulia?” Yinlan bertanya tak yakin. “Jangan bergerak, nanti warna hitamnya akan keluar dari jalur.” Jing Xuan berkata pelan, dengan lembut dan penuh kasih sayang mengusap alis Yinlan dengan kuas kecil berisi bubuk hitam pekat itu. Lima men
Di musim yang dingin ini, setiap orang senang menghabiskan waktu di dalam kamar dan ditemani perapian yang hangat. Para pelayan akan menghidangkan sup buah yang hangat dan menghangatkan perut. Seperti yang dilakukan Ning'er saat ini. Istana Mingyue tampak senyap setelah beberapa saat. Karena Kaisar sedang berada di sana, tidak ada pelayan yang berani mendekat kecuali Ning'er yang diperintahkan Permaisuri untuk membuatkan sup buah hangat untuk Yang Mulia. Jing Xuan berada di dalam kamar Xie Qingyan, bertujuan untuk menemani Qingyan yang sedang melukis. Dia bahkan tak segan menggilingkan tinta untuknya. Permaisuri sedang memiliki suasana hati yang baik untuk melukis pemandangan Sungai Hong. Katanya, sungai panjang ini diberi nama demikian karena airnya pernah berwarna merah pekat pada suatu peperangan besar ratusan tahun lalu. Sungai itu berada di Perbatasan Utara, tempat Keluarga Adipati Xie pernah memimpin peperangan belasan tahun lalu, peperangan yang terjadi saat Kaisar masih j
Istana Guangping menjadi sangat ramai lima tahun ke depan. Dua orang anak yang terlihat sangat mirip setiap hari berlarian di halamannya, saling mengejar, saling mencoba menjatuhkan. Satu anak adalah perempuan, dia memegang pedang kayu dan terus mengarahkannya pada si anak laki-laki sambil berkata, “Berhenti, penjahat!” Semenatra yang laki-laki tertawa riang, terus berkata bahwa si anak perempuan tidak akan bisa menangkapnya. Di dalam istana, Yinlan sedang sibuk menatap sejumlah tusuk rambut di atas meja. Bingung memilih mau pakai yang mana. “Bagaimana dengan ini?” Jing Xuan menunjukkan tusuk konde yang berwarna perak dengan batu giok putih yang indah. Yinlan menggeleng, “Aku rasa aku sudah memakai itu kemarin lusa.” “Tidak apa, pakai lagi saja.” Jing Xuan menguap, sudah satu jam dia berdiri di depan meja rias Yinlan, dan gadis itu masih belum menentukan akan memakai apa. “Aku pakai ini saja lah.” Yinlan mengambil tusuk rambut bunga rong yang pernah Jing Xuan berikan padanya du
A-Yao tampak kerepotan, menerima sejumlah hadiah dari tamu-tamu luar Ibukota yang menghadiri pernikahan terbesar di seluruh Kekaisaran Jing ini. “A-Yao, sampaikan ucapan selamatku pada Permaisuri, ya?” terlihat Nona Kelima Jiang tersenyum ramah sambil menyerahkan sebuah kotak kayu besar. A-Yao mengangguk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah datang.” Mao Lian berdiri di dekat pintu sambil menatapnya dengan tatapan remeh, “Kau tampak sibuk, A-Yao.” A-Yao mendengus sambil menatap tajam ke arahnya, “Dari pada diam menjadi pagar seperti itu, lebih baik kau membantuku.” Mao Lian terkekeh lalu menghampirinya. Sebelum mulai membantu, dia mendekatkan mulutnya ke telinga A-Yao dan berbisik, “Baru saja Yang Mulia memberkati pernikahan untukku, A-Yao. Apakah kau terkejut?” A-Yao terdiam kaku, matanya membulat sempurna, berkedip beberapa kali. “Be-benarkah? Bagaimana mungkin,” A-Yao menyeringai tipis, mencoba mengendalikan perasaannya yang tidak karuan. Dia membatin, ‘Diberkati pernikahan?
Yinlan merebahkan tubuhnya di ranjang, Jing Xuan menjadikan pahanya sebagai bantal. Tangannya bergerak mengusap pelan helai rambut panjangnya. Aroma wangi ini, Jing Xuan sangat merindukannya. Sejak baru tiba sore lalu, Yinlan sama sekali tak mau melepaskannya. Dia selalu tersenyum dan berkata harus selalu bersama untuk menebus hari-hari saat berpisah. “A-Yin, berapa bulan lagi sampai hari kelahirannya?” tanya Jing Xuan, memecah keheningan. “Hm …,” Yinlan berpikir sejenak, “Ini sudah lama memasuki bulan ke-tujuh. Sebentar lagi bulan ke-delapan.” “Sebentar lagi, ya ….” Jing Xuan menghela napas, “Tapi dua bulan lagi sangat lama.”“Jika melewatinya bersama-sama, harusnya tidak terlalu lama.” Yinlan tersenyum lebar sampai matanya menyipit. “A-Yin, aku tidak bisa menepati janjiku untuk menikahimu di ujung musim dingin.” Jing Xuan menunduk merasa bersalah. Yinlan menepuk punggung tangannya, “Kita menikah di awal musim semi saja. Bukankah itu bagus?” “Apakah menurutmu begitu?” Yinlan
Dua minggu kemudian. Kabar mengenai kepulangan Jing Xuan telah tiba di Istana. Semua orang menyambutnya di depan gerbang istana, termasuk Yinlan dan Ibu Suri. Kabar peperangan dengan Negara Shang yang mendadak itu juga telah sampai di Ibukota sejak dua minggu lalu. Para warga merasa bersyukur saat tahu sang Kaisar berada di sana untuk meredakan kekacauan. Kini, mereka sudah berkumpul di tepian jalan untuk menyambut Kaisar mereka. Melempar bunga dengan wajah tersenyum lebar, sambil memanjatkan do’a dan pujian untuk pahlawan nomor satu itu. Jing Xuan hanya menaiki seekor kuda hitam, tidak ada tandu atau kereta kuda yang mewah yang menemaninya. Di belakangnya hanya ada dua orang tabib, dan sepuluh orang prajurit yang mengantar kepergiannya. Itu sungguh hanya kepulangan sederhana yang tidak disiapkan secara khusus. Namun semua orang justru merasa senang untuknya dan mengucapkan beribu-ribu kata syukur. Jing Xuan juga secara khusus turun dari kudanya dan menggendong anak-anak usia tig
Kamp Militer Perbatasan Utara. Jing Xuan duduk tegak di kursi, wajahnya sangat serius. Dia sedang membaca sebuah buku. Buku medis kuno yang Shangguan Yan bawa dari ruang bawah tanah beracun milik Ye Qing di Tingzhou. Dalam buku itu, tertulis bahwa Teratai Hitam bukanlah racun. Melainkan sejenis obat mujarab yang bisa membentuk ketangguhan fisik luar biasa, obat yang bisa menetralisir semua jenis racun yang tumbuh di dunia ini. Obat itu memberikan efek samping yang cukup kejam bagi pemakainya. Semua gejala menyakitkan yang Yinlan alami setiap bulan itu adalah efek sampingnya. Dan selamanya tidak bisa dihilangkan. Dalam setiap bulan, akan selalu ada hari di mana tubuh itu sendiri tiba di titik terlemahnya. Jing Xuan menggeram, “Kenapa aku tidak mengalami siklus bulanan ini juga? Padahal aku jelas-jelas meminumnya, kan?” Xi Feng menghela napas, “Yang Mulia, Teratai Hitam yang kau minum itu hanya semangkuk penawar racun saja, bukan lagi jenis obat yang sama. Permaisuri meminum selur
Satu minggu kemudian, Selir Agung Qin ditemukan di Prefektur Barat Ibukota. Jubah kekaisarannya entah hilang ke mana, semua perhiasan emas yang melekat di tubuhnya juga telah raib. Pangeran Ming menggunakan kereta kuda untuk membawanya kembali ke Istana. Sepanjang perjalanan, Selir Agung tidak mengeluarkan sepatah kata pun meski Pangeran Ming berada tepat di depannya. Pangeran Ming tidak berharap wanita itu akan bertanya tentang kenapa dia ditangkap, atau mau membawanya ke mana. Dia berpikir wanita ini akan menanyakan keadaan putranya. Namun keduanya sama sekali tidak terdengar keluar dari mulutnya. Pangeran Ming menghela napas, dia mengeluarkan sapu tangan dengan bordir lambang Keluarga Jing miliknya. Lalu dia meletakkannya di atas paha Selir Agung dan berkata, “Sekalah kotoran di wajahmu. Haoyu tidak akan suka melihatnya.” Selir Agung tersenyum tipis, “Aku bahkan tidak pantas mengambil barang milik Keluarga Jing kalian.”“Memang benar …, lagi pula, untuk apa kau memedulikan pen
Yu adalah marga sebenarnya Selir Agung Qin. Pangeran Ming menatap punggungnya, “Ibumu bahkan tidak memedulikan nasibmu, Haoyu.” Ruangan penjara itu semakin senyap, Pangeran Chi mengangkat kepala, lantas terkekeh pelan, “Kau tidak berhak menilai hubungan ibu dan anak di antara kami, Jing Tian.”“Satu hari setelah tindakan bodohmu, aku terus mencari keberadaan Selir Agung Qin di mana pun. Dia melarikan diri, bersembunyi di suatu tempat menunggu kesempatan pergi dari Ibukota yang sudah seperti neraka baginya ini. Tanpa memedulikan putranya.” Pangeran Ming diam sejenak. Dia menunggu Pangeran Chi berbalik dan menatapnya sebelum dia melanjutkan perkataan yang kian lama semakin menyakitkan itu. Namun Pangeran Chi tidak sebaik hati itu untuk mendengarkan penjelasannya. Dia tampak tidak begitu peduli dengan apa yang ibunya lakukan padanya. “Jing Haoyu.” Pangeran Ming menggeram dengan tangan mengepal. “Apa? Kau mau berkata bahwa aku ditelantarkan? Hah, kau juga tidak berhak.” Pangeran Mi
Pangeran Ming menutup rapat pintu Istana Guangping, sebelum meninggalkan tempat itu, dia menghela napas pelan. “Yang Mulia, Biro Pusat Keamanan dan Kementerian Hukum sudah menunggu.” pengawalnya melaporkan. “Ada berapa orang yang terlibat dalam pemberontakan itu?” tanya Pangeran Ming, langkahnya dengan cepat meninggalkan Istana Guangping. “Kementerian Ritus dan Adipati Wei terlibat. Mereka bersekongkol mengadakan pernikahan palsu agar Tuan Muda Wei tidak dicurigai. Dia yang membantu Pangeran Chi menculik Tuan Muda Ouyang dari Suzhou untuk dicuri identitasnya.” “Nona Kelima Jiang mengalami depresi karena pernikahannya ternyata tidak sungguh-sungguh. Selir Agung Qin melarikan diri. Sementara waktu, dia mungkin masih berada di Ibukota karena semua gerbang telah ditutup sejak hari pemberontakan.” Pangeran Ming mengangguk-angguk, menerima semua laporan itu dengan cepat. “Jangan pernah membuka gerbang itu sebelum Selir Agung ditemukan. Berikan kompensasi atas kerugian yang dialami Nona
BRUK! Jing Xuan meringis, tersungkur beberapa meter dari lokasi pertarungan. Pedangnya terlepas dari genggaman, berkelontang. Dia kembali berdiri dengan tubuh bergetar. Tangannya bergerak menyeka ujung bibir yang masih menyisakan jejak darah. Sudah lama dia tidak mengeluarkan banyak kekuatan. Tubuhnya terkejut menerima hantaman demi hantaman, terlebih, Ye Qing lebih berpengalaman, jelas lebih kuat berkali-kali lipat darinya. Jing Xuan memungut pedangnya. Memasang kuda-kuda kokoh, dia harus bisa segera mengakhirinya. Seseorang masih menunggunya dengan cemas. Shangguan Yan berteriak kencang, tubuhnya melesat cepat, melompat ke udara dengan Pedang Baijiu yang sudah berlumuran darah meski belum membunuh satu orang pun. Ye Qing mendengus, “Bocah merepotkan. Pergi kau ke neraka!” Shangguan Yan menyeringai, Liu Xingsheng melemparkan tombak Jing Xuan yang sebelumnya dibuang oleh Ye Qing. Dengan langkah halus, Shangguan Yan menjejakkan kakinya pada tombak yang masih melesat itu. Tangan