Xian Ling menatap makhluk itu, kemudian menoleh ke arah petapa tua. Dalam benaknya, peraturan Dinasti Xian berputar seperti mantra 'Menggunakan ilmu para petapa adalah pengkhianatan. Hukuman mati menanti siapa saja yang melakukannya.'Namun, di saat yang sama, instingnya berteriak bahwa ia tidak akan bertahan tanpa kekuatan baru ini.“Apa yang harus aku lakukan, Paman?” tanya Xian Ling dengan suara bergetar, hatinya dipenuhi kebimbangan. Makhluk itu melangkah mendekat, dan setiap langkahnya membuat goa bergetar."Kamu harus memutuskan yang terbaik bagimu, Xian Ling! Ilmu Petapa merupakan bagian dari sejarah tanah ini yang seharusnya tidak dilupakan oleh Dinasti Xian. Aku harap Kau sebagai Kaisar wanita pertama Benua Timur bisa membangkitkan Ilmu Petapa ini kembali."Xian Ling memandangi wajah Petapa Sakti yang penuh harap terhadap dirinya. "Tapi, aku tidak berminat untuk menjadi Kaisar wanita, paman ... aku ingin menjadi Cultivator dan menjelajahi dunia lain yang lebih luas!"Petapa S
Malam yang pekat berubah mencekam ketika cahaya merah darah menyelimuti horizon, melahap kegelapan dengan aura yang mengancam. Udara yang tadinya dingin menjadi panas, seakan diselimuti api yang tak terlihat. Energi jahat mengalir di sekitarnya seperti racun yang menyusup ke dalam tulang. Xian Ling berdiri mematung, tubuhnya kaku oleh ketegangan, sementara tangannya tanpa sadar meraih pedang di pinggangnya, jemarinya gemetar saat menyentuh gagangnya yang dingin.“Paman,” suaranya pecah di tengah ketegangan, matanya terpaku pada cahaya merah yang kian mendekat, “makhluk apa yang mendekati kita?”Petapa tua itu, yang sebelumnya duduk tenang, berdiri dengan gerakan yang tidak biasa. Tubuhnya tampak membesar, auranya berubah, seolah kekuatan yang telah lama tersembunyi kini membungkus dirinya. Mata tuanya memandang lurus ke arah cahaya itu, penuh kewaspadaan. “Itu bukan sekadar cahaya,” katanya dengan nada rendah, suaranya berat dan penuh beban. “Itu adalah Bayangan Merah yang telah berev
Cahaya merah darah itu semakin mendekat, melumatkan kegelapan malam seperti luka terbuka yang menganga. Suara gemuruh yang menyertainya mengguncang tanah di bawah kaki Xian Ling, membuat udara seolah penuh dengan bisikan-bisikan putus asa. Goa yang semula sunyi kini dipenuhi suara ratapan panjang, seperti tangisan jiwa-jiwa yang tersesat.Xian Ling mencengkeram pedangnya, dinginnya bilah perak terasa menusuk kulit telapak tangannya. Napasnya terputus-putus, namun matanya tetap fokus pada kegelapan yang terus berubah warna. Ia melirik ke arah petapa tua di sebelahnya. “Paman, apa itu?” tanyanya dengan suara yang mencoba tetap tegar, meski ketakutan mulai menyusup ke dalam nada suaranya.Petapa tua itu berdiri dengan punggung tegak, auranya seolah berubah, menjadi sosok yang tampak jauh lebih besar dari sebelumnya. “Itu bukan sekadar cahaya,” katanya pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Xian Ling berdiri. “Itu adalah Bayangan Merah yang telah berubah menjadi Cahaya Darah, utusan k
"Nyaris saja!" Xian Ling mengusap peluh yang menetes di dahinya. Nafasnya masih tersengal-sengal, seakan paru-parunya baru saja lolos dari cengkeraman maut. Di sekelilingnya, dinding goa berwarna kelabu memantulkan suara napasnya, menciptakan gema yang nyaris menyerupai irama denyut nadi."Kau telah menerima takdirmu sebagai Sang Pewaris Ilmu Petapa, Xian Ling!" Suara Petapa Sakti memenuhi ruangan kecil itu, menggema dengan kehangatan yang mengalahkan dinginnya udara di dalam goa. "Cahaya Darah itu tidak akan mengganggumu lagi!"Xian Ling tersenyum tipis, tetapi di balik senyuman itu ada pertanyaan yang mengendap. Ia menatap pria tua di hadapannya, berjubah lusuh namun memancarkan aura kedamaian yang aneh."Maaf, tapi... apakah Paman ini Master Zen yang terkenal di masa lalu?" tanyanya hati-hati, seolah setiap kata adalah pijakan di atas es tipis.Tiba-tiba, suara tawa menggelegar mengguncang ruang sempit itu. "Ha-ha-ha-ha!" Suara tawa Petapa Sakti begitu kuat hingga butiran kecil bat
Xian Ling duduk bersila di atas tikar bambu yang sudah pudar warnanya, diletakkan tepat di tengah-tengah lingkaran batu yang tertata rapi. Udara di sekitar terasa berat, namun ada energi hangat yang berdesir, seakan dunia menyambut awal perjalanannya.Master Zen berdiri di hadapannya, tangan kirinya memegang sebuah kristal transparan yang memancarkan cahaya keemasan. "Kultivasi Dewa dimulai dari memahami kekuatan inti semesta," ujarnya, suaranya berat namun menenangkan. "Kekuatan ini mengalir di segala sesuatu—angin, tanah, bahkan dalam darahmu."Ia mengangkat kristal itu ke arah Xian Ling. Seketika, kristal tersebut mulai bersinar terang, seakan merespon keberadaan gadis muda itu. Xian Ling bisa merasakan energi hangat menjalari kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. "Apa ini, Master?" tanyanya, suaranya bergetar antara rasa kagum dan takut."Ini adalah Esensi Dewa, inti dari segala energi. Ketika kau mampu menyatu dengannya, kau akan melangkah ke ranah pertama dari Kultivasi Dewa.
"Tergantung pencapaian awalmu!" jawab Master Zen singkat. "Apa kamu bersedia?" Xian Ling teringat dengan Selir Song Yin, tapi ia tidak melihat selir istana ini sama sekali saat memasuki Hutan Hantu. "Biarlah, ia tidak mungkin bisa menemukan tempat ini," batinnya sambil menganggukan kepalanya.Hari pertama latihan dimulai di bawah naungan pohon bambu yang menjulang. Cahaya matahari menyelinap di antara celah-celah daun, memantulkan bayangan yang bergerak pelan seiring angin berhembus. Xian Ling duduk bersila, matanya tertutup, mencoba memusatkan pikirannya seperti yang diajarkan Master Zen."Rasakan energinya," kata Master Zen, berdiri beberapa langkah di belakangnya. Suaranya tenang namun penuh wibawa. "Biarkan dirimu menyatu dengan aliran semesta. Jangan memaksa, biarkan energi itu datang padamu."Namun, Xian Ling menggertakkan giginya. Ia sudah mencoba berkali-kali, tetapi setiap kali ia merasa mendekati sesuatu, aliran itu menghilang, seperti kabut yang lenyap sebelum bisa digengg
Xian Ling merasakan udara di sekitar goa semakin dingin, hampir menusuk hingga ke tulang. Suara gemuruh samar terdengar, seperti bisikan angin yang membawa cerita dari masa lalu. Sorot matanya yang penuh penasaran tak lepas dari petapa tua di depannya, wajahnya tampak dipahat oleh waktu, penuh dengan kerut yang menyimpan seribu rahasia."Apa Master tahu makhluk apa yang telah mengubah Hutan Hantu menjadi menyeramkan seperti ini?" tanya Xian Ling, suaranya lembut tapi mengandung desakan. Ia merasakan hawa misterius yang menyelubungi tempat itu, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan makhluk-makhluk yang menghuni hutan ini.Petapa tua itu menghela napas panjang, suara desahnya hampir seperti bisikan angin yang menabrak stalaktit di langit-langit goa. “Aku tidak tahu...” ujarnya, matanya yang redup menatap ke arah bayangan yang bergoyang di dinding. “Dulu, ketika aku pertama kali masuk ke hutan ini, tempat ini adalah surga. Peri-peri cantik mengisi udara dengan tawa dan nyanyian.
Master Zen hanya menggelengkan kepalanya. "Sudah terlambat! Necromancer sudah terbangun dari tudur panjangnya. Hanya tinggal waktu makhluk kuno ini kembali mengambil alih Benua Timur!" ucapnya tanpa ragu sedikit pun."Hufh! Aku akan cari informasi untuk mengalahkan Necromancer ini. Paman Heng dan ayah harus tahu tentang makhluk ini," gumam Xian Ling pelan.Xian Ling memejamkan mata, mencoba mendalami energi baru yang mengalir lembut dalam tubuhnya. Namun, ketenangan itu mendadak buyar ketika telinganya menangkap suara samar dari kejauhan. Suara derap kaki kuda yang semakin mendekat, disertai sorakan nyaring yang familiar—Selir Song Yin."Putri Mahkota! Apakah Anda di sini?" Suara wanita itu nyaring, nadanya penuh kewibawaan bercampur kecemasan.Xian Ling membuka mata dengan cepat, tatapannya panik. "Master, aku harus pergi!" bisiknya tergesa-gesa.Master Zen berdiri dengan tenang, ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun. "Tenang, Xian Ling. Jangan tunjukkan rasa takutmu. Itu hanya
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi