Xian Heng sudah lama mencurigai beberapa Duke yang hidup dalam kemewahan berlebihan di sekitar istana. Aroma dupa mahal dan sutra yang menghiasi rumah-rumah mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Mereka hidup seperti raja-raja kecil, seolah-olah kekaisaran ini milik mereka sendiri. Namun, kecurigaan Xian Heng selama ini hanya berhenti pada dugaan. Tidak ada bukti konkret untuk menyingkap rencana mereka menggulingkan Kaisar Xian Shen.Saat berita tentang perjanjian damai dengan bangsa Barbar diumumkan, Xian Heng mulai merancang strateginya. Dia tahu, serangan mendadak terhadap bangsa Barbar akan memaksa pihak yang berkhianat untuk menunjukkan taringnya. Dengan itu, Xian Heng mengarahkan pasukannya menyerang perbatasan utara, menghancurkan salah satu benteng Barbar.Ketika kabar serangan itu sampai di telinga istana, Duke Shou, salah satu Duke paling vokal di antara yang lain, bereaksi dengan kemarahan yang meledak-ledak. Di ruang audiensi, ia melangkah maju, jubah ungunya ber
Ruang tahta yang megah tiba-tiba terasa sunyi dan mencekam. Hiasan naga emas yang biasanya memancarkan wibawa kini tampak seperti diam menghakimi. Kaisar Xian Shen duduk di singgasananya, wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, guratan kecewa dan kelelahan tergambar jelas di matanya. Di hadapannya, Panglima Xian Heng berdiri tegap, dengan senyum tipis kemenangan yang menghiasi bibirnya.“Tentu saja, Duke Shou,” kata Xian Heng, suaranya datar namun mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan. “Kaisar akan meringankan hukumanmu, asalkan kamu menyerahkan semua nama Duke yang terlibat dalam pengkhianatan ini.”Duke Shou yang berlutut di lantai dingin marmer terlihat bimbang. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Akhirnya, dengan suara gemetar, dia menyerahkan daftar nama yang diminta. Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, ruangan seakan menegang. Nama-nama yang dia sebutkan mengungkapkan pengkhianatan yang jauh lebih dalam daripada yang dibayangkan.Salah satu nama
Langit pagi di Istana Naga Emas memancarkan keindahan berlapis warna oranye dan merah muda, namun suasana di dalam istana tidak seindah itu. Di balik pintu-pintu berlapis ukiran naga, Selir Song Qian berdiri di balkon kamarnya, jari-jarinya yang ramping meremas pagar kayu hingga buku-bukunya memutih. Matanya memandang tajam ke arah paviliun selir yang lain, di mana tawa lembut Selir Song Yin terdengar samar, menggema seperti alunan melodi kemenangan yang merobek ketenangannya.Selir Song Qian mengerutkan bibirnya, wajahnya memerah karena marah. Selir Song Yin, dengan kecantikan yang seolah-olah diciptakan oleh para dewa, telah berhasil mencuri perhatian Kaisar Xian Shen. Bahkan, Kaisar mulai tersenyum lagi, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sejak kepergian tragis Permaisuri Zhi Yang. Senyum itu, yang seharusnya hanya dimiliki oleh dirinya, sekarang sepenuhnya milik Song Yin.“Keparat itu,” gumam Song Qian, suaranya nyaris seperti bisikan. “Tubuhnya yang sempurna dan senyuman manis it
Bulan purnama menggantung di langit, cahayanya memantulkan kilauan keemasan pada atap-atap paviliun istana Naga Emas. Namun di dalam kamar Selir Song Qian, suasananya jauh dari keindahan malam. Ia duduk di depan cermin besar, jarinya menggenggam sisir perak dengan gerakan kasar, menarik rambutnya sendiri dengan penuh amarah. Pelayan setianya berdiri di sudut, takut mengeluarkan suara.“Dia bahkan berani menghina usahaku,” desis Song Qian, menggertakkan giginya. “Dia pikir dirinya tak terkalahkan hanya karena berhasil menggagalkan rencana kecil itu. Tapi aku belum selesai. Jika racun tak mempan, aku akan menggunakan cara lain.”Song Qian berdiri dan memutar tubuhnya dengan cepat. Matanya memancarkan kegilaan yang membuat pelayan di sudut gemetar. “Aku ingin kau mencari seseorang di luar istana. Pembunuh bayaran. Bayar berapa pun yang mereka minta. Tapi kali ini, aku ingin Song Yin lenyap tanpa jejak.”Pelayan itu mengangguk gugup. “Saya akan mengurusnya, Nyonya.”Namun, di balik dindin
Di paviliunnya yang dingin, Selir Song Qian berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pikirannya berputar-putar, dipenuhi bayangan Song Yin yang tersenyum licik dan pesan ancaman yang masih terukir di pikirannya.“Kau terlalu lemah untuk melawan aku,” gumamnya pelan, mengulang pesan itu dengan kebencian yang mendidih. Tangannya mengepal hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. “Aku lemah? Akan kubuktikan bahwa aku jauh lebih berbahaya daripada yang dia pikirkan.”Pelayan setianya berdiri di sudut, tidak berani mengganggu. Namun, Selir Song Qian memanggilnya dengan suara tajam. “Ayo, kita temui seseorang yang bisa membantuku.”Di Paviliun Bunga Malam, Selir Song Qian bertemu dengan seorang tabib rahasia yang dikenal ahli dalam racun-racun paling mematikan. Pria tua itu memiliki wajah penuh kerut, matanya tajam seperti elang yang terus mengawasi mangsanya. Di hadapannya, botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni tertata rapi.“Aku butuh racun yang tidak meninggalkan jejak,” uja
Sementara itu, Selir Song Qian tidak tinggal diam setelah penghinaan terang-terangan yang dilakukan Song Yin. Dengan amarah yang membara, ia mengumpulkan para selir lain di paviliun tersembunyinya. Lampu-lampu minyak menerangi wajah-wajah para wanita yang kini bersatu dalam kebencian terhadap Song Yin.“Kita tidak bisa membiarkan dia terus merajai hati Kaisar,” ujar Song Qian dengan suara penuh determinasi. “Song Yin semakin kuat setiap harinya. Jika kita tidak bertindak sekarang, dia akan menghancurkan kita semua satu per satu.”Salah satu selir, Selir Mei, mengangguk dengan ekspresi penuh kebencian. “Kau benar. Dia bukan hanya mengambil perhatian Kaisar, tapi juga membuat kita semua terlihat tidak berguna.”“Tapi dia terlalu kuat,” sela Selir Lian dengan ragu. “Kita semua tahu bahwa dia menguasai seni bela diri tingkat tinggi. Setiap kali kita mencoba melawan, dia selalu menang.”Song Qian mengepalkan tangannya, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kita tidak perlu melaw
Malam itu, setelah kegagalan rencananya di Aula Naga Langit, Song Qian duduk di paviliunnya dengan tangan gemetar menahan amarah. Angin dingin malam menyusup melalui celah-celah jendela, seolah ikut menyaksikan kekalahannya yang memalukan. Ia menggenggam cangkir teh hingga nyaris retak, pikirannya berputar mencari cara lain untuk menghancurkan Song Yin.“Aku tidak akan berhenti,” gumamnya lirih, hampir seperti mantra. “Song Yin akan membayar untuk penghinaan ini.”Pelayan setianya, Mei'er, mendekat dengan langkah pelan. “Yang Mulia, apakah Anda ingin aku mencari lebih banyak informasi? Mungkin ada jalan lain untuk menyingkirkan Song Yin tanpa menimbulkan kecurigaan.”Song Qian menatap Mei'er dengan mata tajam. “Tidak. Informasi tidak cukup. Aku membutuhkan tindakan langsung. Jika racun tidak berhasil, maka mungkin aku harus menciptakan skenario yang lebih kompleks. Sesuatu yang membuat Song Yin tidak hanya kehilangan posisi, tetapi juga hidupnya.”Mei'er menelan ludah, menyadari kegil
Kilauan matahari sore menyelinap melalui jendela aula istana yang luas, menerangi lantai marmer yang berkilauan. Aroma lembut dupa melayang di udara, namun keheningan terasa seperti bilah tajam yang menggantung di atas kepala. Di tengah aula, Selir Song Yin berdiri anggun, mengenakan jubah sutra berwarna merah marun yang dihiasi bordir bunga peony emas. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis yang tak terbaca.Seorang pengawal masuk tergesa, langkahnya menggema di lantai marmer. Ia menjatuhkan satu lutut di lantai, menundukkan kepala dengan hormat. "Lapor, Yang Mulia Selir Song! Telah terjadi kekacauan di Desa Huang Yang yang berbatasan dengan Hutan Hantu!"Selir Song Yin mengangkat alisnya dengan elegan. Tatapannya dingin namun penuh rasa ingin tahu. "Kenapa kau lapor padaku? Bukankah ini tanggung jawab Panglima Xiang Heng yang mengurus pertahanan kita?"Pengawal itu menggelengkan kepalanya, keringat menetes di dahinya. "Panglima Xiang Heng sedang pergi ke West City bersama Putri
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi