Kabut merah menyelimuti hutan itu seperti jubah tipis yang membungkus rahasia gelapnya. Daun-daun basah berembun, menggantungkan tetesan air yang seolah menunggu waktu untuk jatuh. Aroma tanah lembap bercampur wangi dedaunan liar menusuk hidung, membuat Xian Ling semakin waspada. Suara gemerisik ranting dan hembusan angin yang lembut terasa seperti bisikan hutan yang memperingatkan mereka untuk kembali. Namun, langkahnya tetap mantap.Putri Mahkota ini akhirnya memutuskan tidak akan kembali ke Istana Benua Timur dan melanjutkan perjalanannya ke Negeri Ching. Ia tidak ingin Selir Song Yin mencurigainya sehingga panik dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan terhadap dirinya. Xian Ling juga belum memiliki bukti yang cukup untuk menuduh Selir Song Yin yang mencoba membunuhnya. Hanya ucapan dari Song Kang, pemimpin Laskar Kultivator Iblis yang telah tewas di tangannya. Tidaka kan ada yang percaya pada ucapannya termasuk Kaisar Xian Shen, karena SongYin bersikap sangat perhatian terhadap
Xian Ling melirik sekilas ke arah Sakuntala Dewa, memberikan isyarat halus agar tetap dalam penyamarannya. Cahaya obor yang berkedip-kedip di sepanjang lorong istana menyoroti wajahnya yang tetap tenang meskipun pikirannya penuh dengan kecurigaan. Jika penyamaran Sakuntala Dewa terbongkar, hukuman mati akan menjadi satu-satunya akhir, baik dari Kerajaan Ching maupun Kekaisaran Benua Timur.Di sisi lain, pengawal istana asli yang telah lama setia mendampinginya sejak kecil, kini berdiri dengan sikap hormat. Baginya, Putri Xian Ling bukan sekadar pemimpin, melainkan juga keluarga sehingga mereka menutup rahasia rapat-rapat tentang keberadaan Sakuntala.Sementara itu, Liu Mei menyusup ke dalam istana, mengikuti iring-iringan Raja Shang Fu dengan tatapan tajam yang menyimpan dendam. Dalam benaknya, wajah sang ayah yang marah karena kejadian sebelumnya masih terukir jelas.'Aku akan membalas perbuatanmu, putri miskin! Gara-gara kamu, ayahku sampai menamparku...'Senyum tipis menghiasi bibi
Liu Mei berdiri di sana, dengan senyum sinis yang terpampang jelas di wajahnya. Sorot matanya penuh tantangan, sementara jari-jarinya mengepal kuat di sisi gaun merahnya yang mewah. Angin malam yang menyelinap masuk dari jendela aula membuat lilin-lilin bergoyang, memancarkan cahaya berkilauan yang seolah menari di wajah kedua wanita itu."Aku-Liu Mei menantangmu, Shui Ling!" seru Liu Mei dengan suara lantang, memecah kesunyian yang menggantung di udara. Matanya menatap langsung ke arah Putri Mahkota, penuh dengan rasa benci dan dendam yang terpendam sejak tamparan tadi. "Kau, yang katanya ahli pedang terhebat, berani tidak melawanku? Atau jangan-jangan kau hanya bisa bersembunyi di balik gelar dan statusmu?"Para tamu di aula saling bertukar pandang, gemuruh bisik-bisik mulai memenuhi ruangan. Raja Shang Fu tampak ingin bicara, tetapi ragu untuk mencampuri. Liu Shan, yang wajahnya kini penuh amarah dan rasa malu, hanya bisa menunduk, menggigit bibirnya hingga memerah. Ia tahu ini ada
Malam itu, setelah pertempuran singkat dengan Liu Mei, Xian Ling duduk di kamarnya yang luas namun terasa dingin. Wangi dupa lembut tercium, tetapi tak cukup menenangkan pikirannya yang terus bergolak. Tirai sutra yang tergantung di jendela bergoyang lembut tertiup angin malam, memantulkan bayangan redup di lantai marmer. Namun, pikirannya tak pernah lepas dari satu pertanyaan besar baginya, mengapa Raja Shang Fu begitu bersikeras memintanya datang ke Kerajaan Ching?Di luar pintu, Sakuntala Dewa berdiri dalam diam, mengenakan jubah gelap yang membaur dengan kegelapan malam. Pendekar misterius itu selalu berada dalam bayang-bayang Xian Ling, bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai tangan yang akan bergerak jika ada bahaya yang mengancam. Ia sudah bersumpah setia akan menjaga dan melindungi Putri Xian Ling.Setelah memastikan semua pelayan istana sudah pergi, Sakuntala melangkah masuk ke kamar Xian Ling tanpa suara. Matanya yang tajam menatap Xian Ling dengan penuh arti, seb
Paginya, Xian Ling memilih pakaian sederhana berwarna krem dengan sedikit bordir bunga teratai, sesuatu yang tampak anggun namun tidak mencolok. Ia tahu Raja Shang Fu menyukai wanita yang penuh sopan santun, dan pagi ini ia akan bermain peran sebagai keponakan yang penuh hormat.Saat ia memasuki ruang pertemuan pribadi Raja Shang Fu, wangi kayu cendana menyambutnya, bercampur dengan aroma teh hangat yang disiapkan di meja. Raja Shang Fu duduk di kursinya dengan sikap santai, jubah merahnya memancarkan wibawa seorang pemimpin, tetapi matanya tetap penuh perhitungan."Ah, Ling'er. Kau datang tepat waktu," ucapnya dengan senyum yang tampak hangat, meskipun Xian Ling tahu di balik senyuman itu ada sorotan tajam yang terus mengamatinya.Xian Ling membalas dengan senyuman kecil, melangkah anggun dan duduk di hadapannya. "Paman, kau sangat baik menjamuku dengan segala kemewahan ini. Tapi, terus terang, aku merasa tidak enak hati. Rasanya terlalu berlebihan hanya untukku."Raja Shang Fu terta
Langit sore yang berwarna jingga keemasan menyelimuti taman bunga plum istana. Hembusan angin membawa wangi bunga yang lembut, sementara suara gemericik air dari kolam kecil di tengah taman menambah suasana yang menenangkan. Xian Ling melangkah anggun di antara bunga-bunga merah, mengikuti undangan Pangeran Shang Chi untuk menghadiri perjamuan kecil di paviliun taman.Saat ia tiba, sebuah pemandangan yang penuh ironi menyambutnya. Pangeran Shang Chi, dengan sikap santai namun penuh wibawa, duduk di tengah paviliun yang dihiasi lentera merah. Di sampingnya, seorang wanita muda dengan wajah menawan dan pakaian sutra berwarna ungu duduk sambil memetik guzheng—alat musik tradisional yang suara senarnya terdengar halus namun penuh kekuatan."Putri Shui Ling, selamat datang," sapa Shang Chi dengan senyum hangat. "Izinkan aku memperkenalkan Xiao Yin, salah satu seniman terbaik di Negeri Ching. Ia memiliki bakat luar biasa dalam musik dan puisi."Xian Ling mengangguk sopan, meskipun matanya m
Malam telah larut, tetapi Istana Ching tetap berdenyut dalam keheningan yang sarat rahasia. Angin dingin berembus melalui lorong-lorong panjang, membawa aroma dupa yang terbakar. Cahaya redup dari lentera-lentera kertas bergetar, menciptakan bayang-bayang yang menari di sepanjang dinding batu yang dingin. Di kejauhan, suara langkah kaki para pelayan terdengar samar, sesekali diiringi bisikan yang menyelinap dalam gelap.Di dalam kediamannya, Xian Ling duduk bersila di atas kasur sutra merah darah. Matanya terpejam, tetapi pikirannya terus berputar, menganalisis setiap detail pertemuannya dengan Pangeran Shang Chi dan Xiao Yin. Apakah perjamuan tadi benar-benar hanya sekadar hiburan, atau ada jebakan yang tersembunyi di balik keramahan itu?Tiba-tiba, suara halus terdengar. Pintu geser kayu meluncur perlahan, nyaris tanpa suara, namun Xian Ling tahu siapa yang datang bahkan sebelum melihatnya.“Sakuntala.”Dari bayangan, seorang pria bertubuh tegap muncul, jubah gelap membalut tubuhnya
Xian Ling mengepalkan tangannya erat, merasakan dinginnya udara yang menyelusup ke dalam kulitnya. Jadi ini rencana mereka. Membuatnya bertarung, membiarkan dirinya terluka, atau lebih buruk… terbunuh di dalam arena. Napasnya tetap stabil, meskipun di dalam dadanya, gelombang amarah dan kewaspadaan saling bertarung.Namun, di wajahnya, tidak ada ketegangan yang terlihat. Sebaliknya, ia menampilkan senyum tipis, seolah tantangan ini hanyalah angin lalu.“Apa Raja Shang Fu mengetahuinya?” tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh kehati-hatian.Di hadapannya, Shang Chi bersandar santai di kursinya, tangannya memainkan cawan emas berisi anggur merah. Ia tersenyum seakan semua ini hanyalah permainan kecil.“Tentu saja... apa kami berani mengujimu kalau belum mendapat persetujuan dari Ayah?” jawabnya dengan nada ringan.Xian Ling menatapnya tajam. Cahaya lilin di ruangan itu memantulkan bayangan samar di matanya yang tajam. Ternyata pamannya yang berpura-pura baik ini sedang menjebaknya di li
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima
Xian Ling meluncur ke udara, tubuhnya berputar seperti bidadari yang berputar turun dari kahyangan, pedangnya berkilau saat menyapu gelombang energi hitam yang dilemparkan Qirana. Dentuman keras menggelegar, menggetarkan tanah di bawah mereka, seakan seluruh lembah bergetar dalam gemuruh kekuatan yang saling bertabrakan. Getaran itu merembet hingga ke tulang, mengusik kedamaian yang hanya ada dalam sekejap sebelum kekuatan itu menghancurkan segalanya.Qirana melesat ke samping, tubuhnya membengkok dalam kecepatan luar biasa, lengan kirinya bergerak dengan gesit, menciptakan lingkaran cahaya hitam yang menyelimuti tangannya. Dengan satu gerakan cepat, lingkaran tersebut berubah menjadi pedang energi yang berkilau tajam, siap meluncur menembus langit.“Kau hanya mengulur waktu, Xian Ling!” seru Qirana, suaranya penuh ejekan, terdengar seperti suara angin dingin yang berbisik. Senyumannya terlukis sinis di wajahnya, seakan kemenangan sudah ada di ujung jari. “Sejak Mahasura menghilang, k
Angin kencang bertiup membuat pakaian mereka berkibar-kibar. Langit yang kelam seakan menelan cahaya matahari, menciptakan bayangan-bayangan mencekam di antara pepohonan yang melingkupi Desa Naga. Aroma tanah basah bercampur bau logam menyelubungi udara, menambah kesan bahwa akan ada kejadian yang buruk di tempat tujua mereka."Apa kita tetap akan masuk ke Lembah Iblis, Tuan Putri?" tanya Sakuntala, suaranya mengandung kegelisahan. Mata tajamnya memandang jauh ke depan tempat Lembah Iblis berada, seolah-olah mengawasi mereka dari kejauhan. Ia merasa bahwa pencarian Pendekar Dewa Naga ini hanya akan membawa mereka ke jalan buntu. Namun, membawa pulang Naga Vikrama adalah keuntungan besar bagi Benua Timur.Xian Ling menoleh, sorot matanya tegas. "Aku harus mengetahui nasib Pendekar Dewa Naga. Ramalan Artie hanya menyebutkan bahwa Mahasura Arya akan berperan penting dalam menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Aku sengaja menyimpan ramalan ini agar kerajaan-kerajaan di bawah Kekaisar
Ki Seno menggelengkan kepalanya perlahan. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keteguhan yang tak tergoyahkan."Aku tak tahu di mana Mahasura sekarang," ucapnya dengan suara berat, nyaris berbisik. "Tapi aku yakin ia masih hidup!"Xian Ling menatap Ki Seno dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu yang terpendam di benaknya."Kata Chandani, Ki Seno selalu pergi ke Gunung Awan Putih setiap pagi... Apa yang Ki Seno lakukan di sana?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.Ki Seno tertawa kecil, nada misterius tersemat di dalamnya. "Hahaha... Kau ingin tahu? Tapi berjanjilah untuk menjaga rahasia ini!"Tanpa menunggu jawaban, tubuh Ki Seno melesat, ringan bak sehelai daun yang ditiup angin. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia berlari dengan ilmu meringankan tubuh. Bayangan tubuhnya berkelebat di antara pepohonan, mendaki gunung dengan kecepatan yang mencengangkan.Xian Ling, Sun Wu Long, Sakuntala, dan Chandani segera menyusul. Sun Wu Long, meski memi