Setelah yakin istrinya tidur, Jaquer bangun. Dia melangkah menuju ke ruang kerja, tidak lupa dengan handphone miliknya. Setelah berada di ruang kerja dia menghubungi Elang. "Bagaimana?""Ternyata saat itu nyonya sedang ditekan oleh kedua orang tuannya, Tuan. Dia harus memilih putranya atau nyawa Anda.""Tetapi untuk apa? Bukankah semua sudah diberikan istriku pada mereka?"Diam, tidak ada jawaban dari seberang. Hanya suara kertas yang dibolak-balik. Jaquer masih setia menunggu jawaban Elang. "Bagi mereka Anda adalah menantu yang tidak diinginkan. Miskin dan tidak berpendidikan. Untuk itulah mereka membuat Anda, Tuan.""Baiklah, lalu siapa itu Thomson?""Dia tuan muda kedua keluarga Thomson kota sebelah.""Berani sekali dia mendekati istri. Mungkinkah dia yang dijodohkan kala itu?" Jaquer menghentikan kalimatnya sesaat, lalu dia berkata, "selidiki lebih jelas lagi!"Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Jaquer. Untuk sesaat dia melihat kiriman email dari Elang dan Alexandria.
Jaquer tersenyum sendiri di balik kemudi. Setelah mengantar Leonard ke sekolah, dia langsung berbalik arah kembali ke rumah. Hingga mobil itu terparkir di depan rumah senyumnya masih terlukis sempurna. Jaquer masuk sambil sesekali bersiul menyuarakan kegembiraan hati. Hal ini membuat Meilani menatapnya heran. "Hai, sepertinya lagi dapat jempot ya!""Hanya rencana main kuda bersama jagoanku," jawab Jaquer santai sambil mencomot biskuit hasil karya istrinya. "Tidak bisakah permisi saat mengambil sesuatu yang bukan milikmu?!"Jaquer langsung berhenti melangkah dan berbalik menghadap pada Meilani. Pandangannya fokus pada manik mata wanita yang masih istrinya itu. Mendapat tatapan yang serius membuat nyali Meilani sedikit menurun. Namun, sesaat kemudian dia membalas tatapan itu. "Dimana letak salahku jika biskuit itu hasil karyaku?"Jaquer makin dingin, auranya menyebar menekan emosi Meilani membuat wanita itu merinding. Dia berjalan mundur berusaha menghindari interaksi berlebih yang
Meilani terpaku di tempatnya semula tanpa berniat untuk mengikuti langkah Jaquer. Dia lebih memilih diam tanpa kata apapun menatap kepergian suaminya. Setelah tidak nampak punggung Jaquer, Meilani pun mulai menata peralatannya. Dia menyusun peralatannya di atas motor roda tiga. Tanpa Meilani ketahui sesungguhnya Jaquer sedang mengamati pergerakan yang dilakukan istrinya itu. "Hari makin siang, sebaiknya aku segera berangkat sebelum semua terlupakan."Melani bergegas melangkah keluar dari rumah mewah, dia menjalankan kendaraan roda tiganya dan tanpa disadari Jalur telah mengamati semua dari lantai dua. Bibir pria itu tersenyum. 'Mau sampai kapan kamu sembunyikan semua, Mei?'Jalan kota menuju taman terlihat sepi membuat kendaraan Meilani segera sampai. Wanita itu mulai berjualan di pinggir jalan yang sedikit lebih longgar. Rupanya tidak hanya Meilani saja yang berjualan di sana. "Hai, Ms. Meilani. Apakah cuaca hari ini mendukung kita?""Semoga saja, aku sedang berusaha untuk anakku
Jaquer menatap tajam pada Alex. Pria yang berusaha melecehkan wanitanya. Namun, Alex justru menertawakan tatapan dingin Jaquer. "Bagaimana rasanya dihina oleh wanita, Jaquer? Dia adalah milikku."Kedua tangan Jaquer mengepal kuat, dia tidak tahan lagi dengan ocehan Alex yang merendagkannya. "Apa kau tidak kenal denganku, Alex?""Hah, siapa kau hingga aku harus mengenalmu, Sampah!"Tanpa memberi aba-aba, Alex langsung melancarkan serangan ke arah Jaquer. Selarik cahaya meluncur deras mengarah ke Jaquer, tetapi dia sama sekali tidak bergerak dari posisinya. "Jaqu, awas!" Meilani berteiak memberi peringatan pada Jaquer akan serangan Alex. Akan tetapi, Jaquer tidak memedulikan suara istrinya. Hal ini membuat Meilani segera bangkit dari posisi jongkoknya lalu berlari mencoba menghadang sinar tersebut. Melihat perjuangan istrinya, hati Jaquer tercubit. Tanpa menggeser tubuhnya, Jaquer menjentikkan jari ke arah wajah Alex hingga seberkas sinar meluncur. Hal ini membuat Alex terhenyak ka
Langkah Jaquer berhenti di ambang batas antara ruang tamu dan ruang makan. Pandangannya terkunci pada sosok wanita yang menggunakan gaun santai yang menampilkan tulang selangka yang indah. "Makan siang dulu, bukankah kamu belum makan?" Suara Meilani yang lembut meluluhkan emosi Jaquer hingga membuat langkahnya memanjang agar segera sampai pada meja makan. "Duduklah!"Jaquer langsung mengikuti semua arahan istrinya dengan sopan. Dia masih diam menikmati semua layanan Meilani. Tidak hanya itu, otak Jaquer berkelana dan kedua mata memindai sosok istrinya yang berubah dalam waktu sebentar. "Ini aku siapkan khusus untukmu, semoga masih bisa kamu nikmati, Jaqu!" kata Meilani dengan lembut sambil menyiapkan menu makanan. Kepala Jaquer mendongak menatap pada wajah Meilani, dia mengulum senyum sesaat lalu menunduk fokus kembali pada piringnya dan mulai menyendok makanan. Meilani menarik kursi di samping kanan Jaquer lalu duduk di sana dan mulai mengambil makanan. Perlahan dia mulai menyuap
Apa yang dilakukan oleh Jaquer setelah mendengar inginnya sang istri pun mulai berpikir lagi. Meilani yang masih duduk di sebelah suaminya hanya menunduk dalam. Hatinya mulai berdebar kencang menunggu keputusan Jaquer akan usahanya Selama ini dia begitu bahagia bisa keluar dari keluarga menyesatkan, maka untuk alasan itulah dia merayu suaminya. Jaquer tersenyum melihat sikap istrinya yang cemberut. "Baiklah, akan kita usahakan untuk menebus lapak milikmu." Jaquer pun segera mengeluarkan selembar cek lalu diberikan pada Meilani, "tulis di sini berapa jumlah yang dibutuhkan agar lapak itu bisa kamu dapatkan lagi!"Meilani termangu melihat lembar kertas itu, lalu wajahnya menatap pada wajah Jaquer seakan tidak percaya. "Apakah ini nyata, bisa aku tulis sesuai harga yang mereka minta?""Hem."Meilani masih bimbang, lalu perlahan tangannya meraih bolpaint dan mulai menuliskan beberapa angka hingga delapan digit. Setelah selesai cek itu diberikan pada Jaquer dengan tatapan penuh harap. "
Setelah semua selesai, akhirnya lapak mie rebus yang diidamkan oleh Meilani pun sudah jadi. Bangunan cukup sederhana berasa di pinggir jalan telah selesai dibangun sendiri oleh tangan Jaquer. Kali ini dia benar-benar menunjukkan pada istrinya bagitu berharganya hadirnya untuk keluarga. Selama pembangunan warung mie rebus terlihat kerja sama antara suami istri itu. Bahkan, putranya pun ikut membantu penuh dengan senyum. "Akhirnya semua selesai. Kapan kamu memulai pekerjaan ini, Mei?" tanya Jaquer. Pria itu berdiri kokoh dengan tengadah menatap papan nama. Tubuhnya terlihat mengkilat karena keringat yang membasahi otot lengannya terpapar sinar mentari. Meilani terpaku menatap sosok suaminya yang telah lama tidak berjumpa. "Mei!" panggil Jaquer dengan melambaikan tangannya. Merasa istrinya tidak ada respon, maka Jaquer pun berdiri melangkah mendekat pada Meilani dan menyentuh dahinya. "Apakah kamu demam? Oh, ternyata tidak." Jaquer menatap lembut pada istrinya, "Mei." Kemudian kepa
Meilani menatap tajam pada Jaquer dengan kedua tangan di pinggang. Melihat sikap istrinya yang garang, Jaquer menciut nyalinya. Selama sepuluh tahun ke belakang dia sama sakali lupa wajah istrinya dalam emosi tinggi. Jaquer melangkah perlahan mengikis jaraknya dengan Meilani, saat tubuhnya sudah dekat tangannya terulur meraih telapak tangan kanan istrinya. Kemudian dicium lembut punggung tangan itu. "Sudahi ya marahnya, kan jadi jelek lho!" rayu Jaquer sambil mengerjab kelopak matanya memasang wajah melas. Meilani tidak menampilkan senyumnya, dia justru menyentak lengan suaminya. Lalu berbalik cepat melangkah menuju ke kedainya. Wanita itu membereskan semua mangkuk kotor yang telah mereka gunakan untuk makan sebelum datangnya para bawahan Jaquer. "Sayang, jangan marah dong!" Jaquer berkata sambil mengejar langkah istrinya Sementara Leonard yang sejak tadi berdiri masih tetap diam terpaku di tempatnya. Baginya apa yang dilakukan oleh Jaquer adalah sesuatu sikap yang keren. Pria ke
Keramaian terlihat di Gedung Imperial. Berbagai merek kendaraan berkelas terparkir dengan rapi. Bahkan ada jenis mobil terbaru. Para tamu sudah memenuhi ballroom utama, beberapa pebisnis terlihat di sana. Tidak hanya itu, yang tua seperti Paman Ahong pun juga hadir. Beberapa tetua keluarga besar terlihat di beberapa sudut, mereka membahas masalah kemajuan bisnis Kota Dongdong sejak adanya ketua naga yang baru "Peraturan dagang saat ini lebih ketat. Mungkin akan sulit untuk kita tembus beberapa tender besar." Seorang pria berjas putih berbicara sambil melihat sekitar. Sepertinya dia begitu berhati-hati mengungkap masalah, tidak hanya pria itu saja yang menjaga lisan. Di beberapa tempat dalam ballroom pun sama, hingga kedatangan sosok perempuan yang berkelas menghentikan bincang mereka. "Lihatlah, bukankah itu Nona Angeli. Dewi Saham sekte bukan sabit?" "Ah iya kamu benar, dia lah dewi saham. Jika orang seperti itu ikut turun gunung akan membahayakan bisnis Kota Dongdong."Para pe
Peringatan Mr. Hurt untuk istrinya ternyata direspon sedikit terlambat, akibatnya satu anak panah berhasil menancap pada bahu kanan Mrs. Hurt. "Istriku!"/ " Argh!" Sepasang suami istri itu bersamaan berteriak, jika Mrs. Hurt berteriak kesakitan saat anak panah itu menancap dalam, sedangkan suaminya berteriak kekhawatiran saat melihat darah mulai merembes pakaian atas Mrs. Hurt. Pria baruh baya itu tertatih mendekat pada sosok istrinya, segera direngkuh bahu sang istri dan dibawa dalam pelukannya. "Sebaiknya kita mundur dulu, Istriku!" bisik Mr. Hurt. "Tetapi--?""Sudahlah, jangan membantah!" tekan Mr. Hurt. Dengan napas berat, akhirnya Mrs. Hurt mengalah. Dia membungkuk sesaat pada Jaquer. Sikap ini menandakan bahwa saat ini wanita itu memilih mengalah pada menantunya. "Pah, Mah, tunggu dulu. Masakan sudah aku siapkan semua, makanlah dulu kalian!" kata Melani bergegas saat pertarungan itu sudah selesai. Kepala Mr. Hurt menoleh pada asal suara, "tidak perlu. Makanan miskin saja
Tubuh Mrs. Hurt yang mulai bangkit kini bisa berdiri meskipun masih sedikit condong ke depan. Dia berusaha menyeimbangkan tenaga chi miliknya. Setelah berdiam diri sejenak dan merasakan hawa hangat mulai menjalan ke seluruh aliran darah barulah Mrs. Hurt membuka beberapa meridian yang menuju ke luka dalam akibat pertemuan dua jurus. Bibir tipisnya melengkung membentuk kurva yang indah tetapi masam. Jaquer hanya memiringkan kepala ke kanan dengan sorot mata tajam. "Jika kamu belum puas, maka keluarkan semua kemampuanmu, Mrs. Hurt!" Jaquer berkata sambil mengibaskan jubah bagian kanannya. Melihat dan mendengar deretan kata dari menantunya itu darah Mr. Hurt bergolak, dia merasa direndahkan oleh manusia tidak berdaya di depannya itu. Pria paruh baya yang cara jalannya sudah tidak sempurna itu mengikis jaraknya dengan sang istri. "Bagaimana kondisimu, Istriku?" tanya Mr. Hurt begitu jaraknya sudah dekat dengan istri. "Aku tidak apa, Suamiku. Tenang saja, aku masih sanggup melawan me
Jaquer masih berdiri tenang menatap ibu mertuanya, tidak ada kegentaran sedikit pun pada raut wajahnya. Merasakan pelukan istrinya makin erat, dia menunduk melabuhkan ciuman lembut ke pucuk kepala sang istri. Meilani mendongak, bibirnya mengerucut dengan gelengan kepala. Dia tidak rela bila suaminya bertarung lagi dengan keluarganya, "lebih baik kita mengalah, Suami!"Jaquer membelai pipi istrinya, "kamu tenang saja, ini tidak akan berakhir bila semua dibiarkan saja.""Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Jaqu!" bisik Meilani sambil mencium lengan suaminya. Perlakuan Meilani yang begitu lembut mampu memicu tenaga positif yang berlipat ganda. Aliran darah yang hangat meluncur deras di sepanjang sel mati milik Jaquer. Angin berhembus semakin kencang, desirnya membuat jubah Jaquer melambai hingga memperlihatkan otot. Debar jantung Meilani tidak mampu disembunyikan lagi. Dia begitu takut dan waspada hingga susah menekan reaksi tubuhnya. Apa yang terlihat oleh mata telaniang seketika me
Ibu mertua Jaquer menatap tajam padanya. Wanita itu terlihat sedang menahan emosi terhadap Jaquer, tetapi Meilani menanggapi dengan santai. Meskipun wanita itu adalah ibunya, bagi Meilani dia hanya wanita pengganti jadi buat apa takut. Dengan lembut diraihnya jemari Jaquer dan menautkan dengan jarinya. Hal ini membuat Jaquer menunduk untuk melihat mimik wajah istrinya, "apakah ini artinya kamu sudah mau menerimaku lagi, Mei?" Suara Jaquer menyapa telinga Meilani dengan lembut. Cukup lama jawaban itu didengar Jaquer, bagitu rendah hampir saja tidak terdengar. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Mah?" tanya Jaquer datar. "Jika memang kamu seorang pemilik istana naga, maka berikan aku tanah di Wuhai!"Suasana makin terasa tegang saat beberapa mobil sedan hitam berhenti di depan kedai. Semua mata tertuju pada satu sosok yang dikenal sebagai orang kepercayaan istana naga. Seorang pria berjalan tegap dengan tuxedo putih dan pedang tipis, dia terus berjalan menuju ke arah Mr. Hurt dan
Jaquer terpaku menatap pada cara berdiri ibu mertua, ada yang berbeda dia sudut pandangnya. Lalu dia mulai menata jalan napasnya untuk mempersiapkan diri jika sesuatu terjadi pada keluarga kecilnya. "Ayah, tidakkah kamu marah dengan perlakuan mereka?" Suara Leonard membuyarkan konsentrasi Jaquer. Dia menunduk menatap pada manik biru milik putranya, lalu bibirnya mengulum senyum tipis. Jaquer mengusap ujung kepala Leonard, lalu pandangannya kembali ke arah meja makan. "Apa kamu kira setelah suamimu kembali dia bisa membuatmu bahagia, penuh harta?" kata wanita senja itu menekan Meilani. Meilani terdiam, pandangannya tertuju pada Jaquer yang juga menatapnya. Tanpa sadar kepalanya mengangguk dan dibalas oleh Jaquer. "Dia adalah suamiku, Mah. Bagaimanapun aku masih sayang." Meilani berkata dengan tegas, "dia tidak akan tergantikan oleh siapa pun.""Sialan, apa masih kurang pembuangan sepuluh tahun silam? Dia seorang pecundang dan miskin. Kau akan tersiksa, Mei. Dengar kata mama!" "Ak
Pria tua dengan tongkat kepala naga berdiri tegak di depan kedai dengan kepala mendongak ke atas membaca papan nama kedai milik Meilani. Bibirnya mencekik seakan dia menghina apa yang sudah diusahakan oleh keluarga kecil itu. Meilani segera menyambut pria tua itu dengan penuh hormat. Dia membungkuk untuk, "selamat datang, Ayah!"Mr. Hurt menatap datar putri sulungnya. Dia sama sekali tidak bersikap ramah, berjalan begitu saja melewati tubuh Meilani yang masih membungkuk. Melihat reaksi ayah mertuanya membuat Jaquer mengepalkan kedua tangannya. Deru napasnya begitu memburu, dia tidak Terima dengan perlakuan pria tua itu pada istrinya. Raut wajahnya yang masih datar dan dingin hanya menatap tajam. "Tidak sopan, orang tua datang justru mendapat tatapan sinis. Apa kau lupa dengan kejadian sepuluh tahun silam?" Jaquer masih bungkam, dia sama sekali tidak terbakar mendengar ucapan Mr. Hurt. Jaquer justru berbalik badan melangkah ke balik meja masak yang terbuat dari kayu berukir. Mr. H
Pagi pun tiba, terlihat Jaquer di dapur sibuk dengan tepung. Kedua tangannya bergerak gesit membuat adonan mie mentah. Sudah ada beberapa yang sudah jadi dan dia simpan pada tempat biasanya. Suara riuh di dapur membangunkan Meilani. Dia segera bangkit dari ranjang lalu membuka selimutnya. "Ternyata masih utuh, tetapi suara itu terdengar begitu ricuh," gumam Meilani. Dia pun segera merapikan ranjang sebelum melangkah keluar. Setelah mencuci wajahnya, barulah Meilani berjalan menuju ke dapur. Kedua matanya membulat tidak percaya, ternyata apa yang dia ucapkan benar-benar dilakukan oleh Jaquer. "Sejak kapan kamu membuat ini semua, Jaqu?" "Sudah cukup lama, hanya menyisakan ini. Mungkin ada 200 bahan mie yang sudah jadi, Mei. Apakah kurang?"Mendengar jumlah nominal yang dikatakan oleh suaminya kedua bola mata Meilani melotot tidak percaya. Seingatnya saat dia membuka mata di jam dua dini hari, Jaquer masih tidur di sisinya. Lalu, kini di jam enam pagi bagaimana bisa mendapatkan has
Mobil yang dikendarai oleh Jaquer akhirnya sampai di depan kedai mie miliknya. Dia pun membuka pintu untuk Meilani. Dari teras terlihat Leonard berdiri di sana. Senyumnya mengembang kala dilihatnya kedua orang tuanya sudah menyatu kembali. "Selamat datang kembali, Ayah, Ibu!" sambut Leonard. Meilani tersenyum, lalu dia berjalan lebih dulu meninggalkan Jaquer. Dia segera memeluk tubuh putranya. "Terima kasih, Leon.""Apa sebenarnya yang terjadi?"Leonard menatap keduanya bergantian, dia sengaja ini diungkapkan pada ibunya apa yang dia ketahui mengenai ayahnya. Lalu tatapannya berhenti pada wajah Jaquer. "Apakah masalah itu sudah tuntas, Ayah?"Jaquer tidak mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk saja. Lalu menatap pada Meilani. Wanita itu masih tetap bungkam. "Jadi apakah benar Paman Simon yang melakukan semua ini, Ayah?""Begitulah, tetapi ada seseorang yang mendukungnya selama ini. Apakah kamu juga kenal, Leon?"Leonard terdiam, dahinya berkerut. Satu nama melintas begitu saja