Tubuh Meilani sudah berada di gendongan Jaquer dengan tangan lainnya menggandeng jemari kecil Leonard. Pria kecil itu melangkah mengikuti Jaquer tanpa suara, begitu pintu maybach terbuka barulah Leonard berhenti menunggu sejenak. "Masuk dan jaga ibumu, Leon!"Setelah siap, Jaquer berbalik badan melangkah cepat menuju ke tempat semula. Belum sampai di depan pintu gerbang, dia melihat Elang berjalan mendekat sambil membawa tas jinjing milik istrinya. "Maaf sedikit terlambat, Tuan. Ini tas milik Nyonya!""Hem." Jaquer menerima tas tersebut lalu membawanya ke mobil, dia berhenti sesaat dan berbalik lagi, "aku bawa mobil sendiri, kau cari taksi!"Elang mematung, tetapi dia tidak mampu berucap sepatah kata pun. Perintah Jaquer baginya mutlak tak terbantahkan. Maybach keluaran terbaru dan hanya beberapa di dunia meluncur meninggalkan Elang sendiri. Dia tidak segera melangkah hanya tetap berdiri di sana hingga sebuah mobil lainnya datang. "Masuk!" Suara perempuan memberi perintah pada Ela
Mobil yang dikendarai oleh Alexandria terus melaju membelah jalan raya yang sepi menyusuri jalan khusus menuju ke mansion utama Istana Naga. Elang yang duduk di sampingnya hanya diam menatap lurus ke depan. Pintu gerbang terbuka, mobil masuk lebih dalam. Kedua orang itu menjadi saling tatap saat melihat mobil maybach Jaquer sudah terparkir rapi di depannya. "Lebih baik kita segera masuk sebelum pimpinan makin tidak nyaman!"Kedua sisi pintu mobil terbuka secara bersamaan dan mereka berdua pun gegas berjalan cepat menuju ke ruang rapat yang biasa digunakan untuk menyusun rencana. "Kalian sudah di tunggu tuan di ruang baca!" Seorang wanita paruh baya memberi kabar pada kedua bawahan Jaquer. "Baik, Bi Ayun."Elang dan Alexandria pun berbelok arah menuju ke ruang baca. Sesuai informasi Bi Ayun, Jaquer sudah ada di sana. Dia duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pandangannya masih fokus pada layar meskipun kedua orang kepercayaannya sudah berdiri di depan meja. "Duduk!"
Linhua tergagap menjawab semua tanya Ayun, dia tidak mengira jika apa yang diperbuatnya akan kepergok wanita paruh baya itu. "Katakan dengan jujur, Linhua. Apa yang sedang kami cari, mungkin bibi bisa bantu kamu!""Tidak perlu, Ayun. Aku hanya bersihkan meja yang mulai berdebu." Setelah berkata Linhua segera melangkah keluar dari buang baca. Dia terus melangkah menuju ke beranda samping mansion. Tangannya merogoh saku celananya mengambil benda pipih. Jarinya bergerak lincah menulis deretan kata pada seseorang. 'Semoga segera dibaca!'Setelah merasa cukup informasi yang dikirimkan, maka Linhua melanjutkan pekerjaannya yang lain. Wanita itu masuk ke ruang kerja, dia terlihat sibuk di depan laptop. Ayun--art mansion masih belum rela melepas ingin tahunya pada Linhua. Dia merasa ada yang disembunyikan wanita muda dan cukup mencurigakan. Namun, Ayum masih belum memberi kabar pada Jaquer. 'Biar saja dulu, mungkin jika sudah cukup bukti akan kuserahkan langsung pada Ms. Xandria.'Ayun m
"Tuan, tolong selamatkan aku!"Lima pria berjaket hitam melangkah maju, datin tampangnya terlihat sebagai preman murahan. Jaquer hanya menatapnya datar dengan aura dingin. "Lepaskan wanita itu, dia milik kami!" Jaquer bergeming masih memeluk pinggang Meilani membuatnya bertanya akan identitas sosok sang pria. Meilani masih terus merancau meminta perlindungan. "Segera lepaskan wanita itu jika masih sayang dengan nyawamu!""Kau inginkan nyawaku, apa statusmu untuk itu. Kau belum pantas!""Membual, hanya pria miskin tidak tahu diri. Serang!" Seorang pria kekar memberi perintah menyerang Jaquer. Empat pria segera maju mulai menyerang Jaquer. Tendangan dan pukulan datang bertubi-tubi dari lawannya tidak membuat Jaguer mundur. Namun, dia menghadapi ke empat pria hanya dengan gerakan ringan saja tanpa meninggalkan tubuh Meilani. Melihat gerakan lawannya ke empat pria mulai gentar, tetapi pimpinan yang bernama Wang Huan tetap ingin membunuh Jaquer. "Wanita itu milikku, serahkan!""Apa b
"Keluarlah, kita sudah sampai!"Meilani tertegun untuk sesaat atas perlakuan Jaquer. Selama ini dia tidak pernah lupa bagaimana perlakuan pria itu terhadap nya yang selalu lembut. 'Dia masih sama seperti masa silam. Mungkinkah akan tetap sama saat berada di puncak kejayaan?' Berbagai tanya bermunculan akan sosok suaminya saat ini. Jaquer hanya melihat saja apa yang berputar pada sorot mata sang istri. Dia tidak berniat untuk bertanya ataupun mencari tahu mengenai kehidupan istri selama ditinggalkan. Baginya melihat senyum istri dan putranya sudah cukup, untuk yang lainnya dia mampu menahan meskipun itu harus mengorbankan nyawanya. 'Aku akan selalu ada untuk kalian dan buat bahagia.'Jaquer meraih jemari istrinya lalu menautkan. Dengan lembut dibawa masuk lebih dalam menuju ke rumah mereka. Selama perjalanan otak Meilani seakan mati, menemui jalan buntu untuk berpikir apa alasan Jaquer berbuat seperti itu padanya. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Jaquer. Apakah makan malam sudah bis
Ruang makan sudah tidak sepi lagi seperti masa silam. Terdengar suara anak kecil yang merajuk meminta untuk dilayani dengan baik oleh ibunya. Situasi ini membuat kepala pelayan tersenyum simpul. Jaquer hanya diam melihat semua yang terjadi di depannya, bahkan dia yang biasanya selalu kesepian tidak berpengaruh akan kericuhan di meja makan. "Tuan, apakah perlu saya tuangkan segelas wine?"Jaquer diam, kepalanya menoleh sesaat lalu kelopak matanya berkedip sesaat. Melihat isyarat itu kepala pelayan pun berbalik dan melangkah menuju ke meja panjang tempat berjajar botol wine. Leonard yang kebetulan duduk di hadapan Jaquer menatap heran. Dia belum pernah mendengar kata wine keluar dari mulut ibunya. Maka dengan suara rendah dia pun bertanya pada Jaquer apa itu wine. "Hanya minuman penghangat tubuh, tidak lebih.""Apakah aku boleh meminumnya, Ayah?"Meilani seketika melotot tajam pada Jaquer sambil menggelengkan kepalanya. Melihat reaksi istrinya, dia bernapas berat lalu ikut menggelen
Langkah Jaquer melin panjang dia seakan merasakan hal yang tidak biasa dan ini membuatnya tidak nyaman. Elang yang berjalan di belakangnya terus memberi arahan kemana dia harus melangkah. Hingga akhirnya keduanya berhenti di kamar nomer 245 sebuah hotel berkelas. Samar terdengar suara yang tidak asing di indranya. Dahinya berkerut tidak percaya. "Apakah ini nyata?""Saya juga tidak paham, Tuan. Lebih baik dibuktikan saja!"Dengan sedikit tenaga pintu dibuka paksa oleh Jaquer. Pandangannya langsung tertuju pada posisi istrinya ditindih oleh seorang pria. Langkahnya makin panjang dan langsung menghantam punggung pria itu. "Kau!""Lalu siapa yang kau inginkan, Jaquer?'" Bangsat, selama ini aku melindungimu ternyata ini balasannya!"Pukulan Jaquer melayang ke rahang pria itu, tetapi Meilani berteriak lantang sambil menempelkan pisau pada lehernya. "Jika kau pukul lagi dia maka pisau ini yang akan menancap di leherku!"Dalam helaan napas yang berat, Jaquer menoleh ke arah istrinya yan
Meilani masih belum nyaman untuk membuka semua rahasia sepuluh tahun silam. Dia masih ingin melindungi nyawa suaminya dan putranya tanpa dia ketahui justru itu yang membuat Jaquer makin merasakan kasih dan cinta istrinya. "Iya sudah jika ini yang kamu inginkan, sebaiknya kita segera pulang.""Baiklah." Keduanya berjalan menuju ke mobil, dengan lembut Jaquer membukakan pintu. Melani masih enggan untuk masuk. Setelah siap, mobil melaju membelah jalan utama Kota Dongdong. Sementara di sekolah, terlihat Leonard sedang mengalami kesulitan. Dia ditekan oleh salah satu temannya dengan tuduhan mencuri. Leonard masih terus menolak tuduhan itu hingga akhirnya sebuah tamparan melayang di pipinya. "Aku sungguh tidak mengambil benda miliknya, Ibu Guru.""Jujur saja, jangan persulit dirimu, Leon. Apakah kamu ingin Mrs. Meilani akan membelamu?""Tentu saja." Pemilik barang terus mendesak pada guru agar barang itu segera dikembalikan. Baginya barang itu sangat berguna untuk hidupnya. Namun, Leon
Peringatan Mr. Hurt untuk istrinya ternyata direspon sedikit terlambat, akibatnya satu anak panah berhasil menancap pada bahu kanan Mrs. Hurt. "Istriku!"/ " Argh!" Sepasang suami istri itu bersamaan berteriak, jika Mrs. Hurt berteriak kesakitan saat anak panah itu menancap dalam, sedangkan suaminya berteriak kekhawatiran saat melihat darah mulai merembes pakaian atas Mrs. Hurt. Pria baruh baya itu tertatih mendekat pada sosok istrinya, segera direngkuh bahu sang istri dan dibawa dalam pelukannya. "Sebaiknya kita mundur dulu, Istriku!" bisik Mr. Hurt. "Tetapi--?""Sudahlah, jangan membantah!" tekan Mr. Hurt. Dengan napas berat, akhirnya Mrs. Hurt mengalah. Dia membungkuk sesaat pada Jaquer. Sikap ini menandakan bahwa saat ini wanita itu memilih mengalah pada menantunya. "Pah, Mah, tunggu dulu. Masakan sudah aku siapkan semua, makanlah dulu kalian!" kata Melani bergegas saat pertarungan itu sudah selesai. Kepala Mr. Hurt menoleh pada asal suara, "tidak perlu. Makanan miskin saja
Tubuh Mrs. Hurt yang mulai bangkit kini bisa berdiri meskipun masih sedikit condong ke depan. Dia berusaha menyeimbangkan tenaga chi miliknya. Setelah berdiam diri sejenak dan merasakan hawa hangat mulai menjalan ke seluruh aliran darah barulah Mrs. Hurt membuka beberapa meridian yang menuju ke luka dalam akibat pertemuan dua jurus. Bibir tipisnya melengkung membentuk kurva yang indah tetapi masam. Jaquer hanya memiringkan kepala ke kanan dengan sorot mata tajam. "Jika kamu belum puas, maka keluarkan semua kemampuanmu, Mrs. Hurt!" Jaquer berkata sambil mengibaskan jubah bagian kanannya. Melihat dan mendengar deretan kata dari menantunya itu darah Mr. Hurt bergolak, dia merasa direndahkan oleh manusia tidak berdaya di depannya itu. Pria paruh baya yang cara jalannya sudah tidak sempurna itu mengikis jaraknya dengan sang istri. "Bagaimana kondisimu, Istriku?" tanya Mr. Hurt begitu jaraknya sudah dekat dengan istri. "Aku tidak apa, Suamiku. Tenang saja, aku masih sanggup melawan me
Jaquer masih berdiri tenang menatap ibu mertuanya, tidak ada kegentaran sedikit pun pada raut wajahnya. Merasakan pelukan istrinya makin erat, dia menunduk melabuhkan ciuman lembut ke pucuk kepala sang istri. Meilani mendongak, bibirnya mengerucut dengan gelengan kepala. Dia tidak rela bila suaminya bertarung lagi dengan keluarganya, "lebih baik kita mengalah, Suami!"Jaquer membelai pipi istrinya, "kamu tenang saja, ini tidak akan berakhir bila semua dibiarkan saja.""Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Jaqu!" bisik Meilani sambil mencium lengan suaminya. Perlakuan Meilani yang begitu lembut mampu memicu tenaga positif yang berlipat ganda. Aliran darah yang hangat meluncur deras di sepanjang sel mati milik Jaquer. Angin berhembus semakin kencang, desirnya membuat jubah Jaquer melambai hingga memperlihatkan otot. Debar jantung Meilani tidak mampu disembunyikan lagi. Dia begitu takut dan waspada hingga susah menekan reaksi tubuhnya. Apa yang terlihat oleh mata telaniang seketika me
Ibu mertua Jaquer menatap tajam padanya. Wanita itu terlihat sedang menahan emosi terhadap Jaquer, tetapi Meilani menanggapi dengan santai. Meskipun wanita itu adalah ibunya, bagi Meilani dia hanya wanita pengganti jadi buat apa takut. Dengan lembut diraihnya jemari Jaquer dan menautkan dengan jarinya. Hal ini membuat Jaquer menunduk untuk melihat mimik wajah istrinya, "apakah ini artinya kamu sudah mau menerimaku lagi, Mei?" Suara Jaquer menyapa telinga Meilani dengan lembut. Cukup lama jawaban itu didengar Jaquer, bagitu rendah hampir saja tidak terdengar. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Mah?" tanya Jaquer datar. "Jika memang kamu seorang pemilik istana naga, maka berikan aku tanah di Wuhai!"Suasana makin terasa tegang saat beberapa mobil sedan hitam berhenti di depan kedai. Semua mata tertuju pada satu sosok yang dikenal sebagai orang kepercayaan istana naga. Seorang pria berjalan tegap dengan tuxedo putih dan pedang tipis, dia terus berjalan menuju ke arah Mr. Hurt dan
Jaquer terpaku menatap pada cara berdiri ibu mertua, ada yang berbeda dia sudut pandangnya. Lalu dia mulai menata jalan napasnya untuk mempersiapkan diri jika sesuatu terjadi pada keluarga kecilnya. "Ayah, tidakkah kamu marah dengan perlakuan mereka?" Suara Leonard membuyarkan konsentrasi Jaquer. Dia menunduk menatap pada manik biru milik putranya, lalu bibirnya mengulum senyum tipis. Jaquer mengusap ujung kepala Leonard, lalu pandangannya kembali ke arah meja makan. "Apa kamu kira setelah suamimu kembali dia bisa membuatmu bahagia, penuh harta?" kata wanita senja itu menekan Meilani. Meilani terdiam, pandangannya tertuju pada Jaquer yang juga menatapnya. Tanpa sadar kepalanya mengangguk dan dibalas oleh Jaquer. "Dia adalah suamiku, Mah. Bagaimanapun aku masih sayang." Meilani berkata dengan tegas, "dia tidak akan tergantikan oleh siapa pun.""Sialan, apa masih kurang pembuangan sepuluh tahun silam? Dia seorang pecundang dan miskin. Kau akan tersiksa, Mei. Dengar kata mama!" "Ak
Pria tua dengan tongkat kepala naga berdiri tegak di depan kedai dengan kepala mendongak ke atas membaca papan nama kedai milik Meilani. Bibirnya mencekik seakan dia menghina apa yang sudah diusahakan oleh keluarga kecil itu. Meilani segera menyambut pria tua itu dengan penuh hormat. Dia membungkuk untuk, "selamat datang, Ayah!"Mr. Hurt menatap datar putri sulungnya. Dia sama sekali tidak bersikap ramah, berjalan begitu saja melewati tubuh Meilani yang masih membungkuk. Melihat reaksi ayah mertuanya membuat Jaquer mengepalkan kedua tangannya. Deru napasnya begitu memburu, dia tidak Terima dengan perlakuan pria tua itu pada istrinya. Raut wajahnya yang masih datar dan dingin hanya menatap tajam. "Tidak sopan, orang tua datang justru mendapat tatapan sinis. Apa kau lupa dengan kejadian sepuluh tahun silam?" Jaquer masih bungkam, dia sama sekali tidak terbakar mendengar ucapan Mr. Hurt. Jaquer justru berbalik badan melangkah ke balik meja masak yang terbuat dari kayu berukir. Mr. H
Pagi pun tiba, terlihat Jaquer di dapur sibuk dengan tepung. Kedua tangannya bergerak gesit membuat adonan mie mentah. Sudah ada beberapa yang sudah jadi dan dia simpan pada tempat biasanya. Suara riuh di dapur membangunkan Meilani. Dia segera bangkit dari ranjang lalu membuka selimutnya. "Ternyata masih utuh, tetapi suara itu terdengar begitu ricuh," gumam Meilani. Dia pun segera merapikan ranjang sebelum melangkah keluar. Setelah mencuci wajahnya, barulah Meilani berjalan menuju ke dapur. Kedua matanya membulat tidak percaya, ternyata apa yang dia ucapkan benar-benar dilakukan oleh Jaquer. "Sejak kapan kamu membuat ini semua, Jaqu?" "Sudah cukup lama, hanya menyisakan ini. Mungkin ada 200 bahan mie yang sudah jadi, Mei. Apakah kurang?"Mendengar jumlah nominal yang dikatakan oleh suaminya kedua bola mata Meilani melotot tidak percaya. Seingatnya saat dia membuka mata di jam dua dini hari, Jaquer masih tidur di sisinya. Lalu, kini di jam enam pagi bagaimana bisa mendapatkan has
Mobil yang dikendarai oleh Jaquer akhirnya sampai di depan kedai mie miliknya. Dia pun membuka pintu untuk Meilani. Dari teras terlihat Leonard berdiri di sana. Senyumnya mengembang kala dilihatnya kedua orang tuanya sudah menyatu kembali. "Selamat datang kembali, Ayah, Ibu!" sambut Leonard. Meilani tersenyum, lalu dia berjalan lebih dulu meninggalkan Jaquer. Dia segera memeluk tubuh putranya. "Terima kasih, Leon.""Apa sebenarnya yang terjadi?"Leonard menatap keduanya bergantian, dia sengaja ini diungkapkan pada ibunya apa yang dia ketahui mengenai ayahnya. Lalu tatapannya berhenti pada wajah Jaquer. "Apakah masalah itu sudah tuntas, Ayah?"Jaquer tidak mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk saja. Lalu menatap pada Meilani. Wanita itu masih tetap bungkam. "Jadi apakah benar Paman Simon yang melakukan semua ini, Ayah?""Begitulah, tetapi ada seseorang yang mendukungnya selama ini. Apakah kamu juga kenal, Leon?"Leonard terdiam, dahinya berkerut. Satu nama melintas begitu saja
Langkah tegak memancarkan aura dingin membuat para barisan pria berjas hitam hanya menunduk. Mereka tidak berani menatap langsung pada sosok pria tersebut. Jaquer berjalan dengan kepala tengadah penuh kesombongan dan keangkuhan yang sulit untuk di tembus. Pakaiannya yang begitu berkelas menandakan posisinya yang tidak biasa di bangunan megah bak istana. Iya bangunan yang begitu megah berhias lukisan naga terbang di setiap dinding menyatakan bahwa itulah istana naga. "Semua sudah ada di tempat biasanya, Tuan. Apa masih perlu di keluarkan?""Antar aku ke sana!"Elang berjalan lebih dulu dia menunjukkan jalan ke dalam ruang bawah tanah. Lorong yang gelap dan lembab langsung menyapa penciuman Jaquer, pria itu mengeratkan rahang dengan kedua tangan mengepal. Terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya. Pintu terbuka dengan pelan, Elang berdiri di sisi pintu menunggu datangnya Jaquer. Pria dengan jas terbaik itu berjalan tenang menuju ke dua kursi yang diduduki oleh tersangka. "Ba