"Keluarlah, kita sudah sampai!"Meilani tertegun untuk sesaat atas perlakuan Jaquer. Selama ini dia tidak pernah lupa bagaimana perlakuan pria itu terhadap nya yang selalu lembut. 'Dia masih sama seperti masa silam. Mungkinkah akan tetap sama saat berada di puncak kejayaan?' Berbagai tanya bermunculan akan sosok suaminya saat ini. Jaquer hanya melihat saja apa yang berputar pada sorot mata sang istri. Dia tidak berniat untuk bertanya ataupun mencari tahu mengenai kehidupan istri selama ditinggalkan. Baginya melihat senyum istri dan putranya sudah cukup, untuk yang lainnya dia mampu menahan meskipun itu harus mengorbankan nyawanya. 'Aku akan selalu ada untuk kalian dan buat bahagia.'Jaquer meraih jemari istrinya lalu menautkan. Dengan lembut dibawa masuk lebih dalam menuju ke rumah mereka. Selama perjalanan otak Meilani seakan mati, menemui jalan buntu untuk berpikir apa alasan Jaquer berbuat seperti itu padanya. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Jaquer. Apakah makan malam sudah bis
Ruang makan sudah tidak sepi lagi seperti masa silam. Terdengar suara anak kecil yang merajuk meminta untuk dilayani dengan baik oleh ibunya. Situasi ini membuat kepala pelayan tersenyum simpul. Jaquer hanya diam melihat semua yang terjadi di depannya, bahkan dia yang biasanya selalu kesepian tidak berpengaruh akan kericuhan di meja makan. "Tuan, apakah perlu saya tuangkan segelas wine?"Jaquer diam, kepalanya menoleh sesaat lalu kelopak matanya berkedip sesaat. Melihat isyarat itu kepala pelayan pun berbalik dan melangkah menuju ke meja panjang tempat berjajar botol wine. Leonard yang kebetulan duduk di hadapan Jaquer menatap heran. Dia belum pernah mendengar kata wine keluar dari mulut ibunya. Maka dengan suara rendah dia pun bertanya pada Jaquer apa itu wine. "Hanya minuman penghangat tubuh, tidak lebih.""Apakah aku boleh meminumnya, Ayah?"Meilani seketika melotot tajam pada Jaquer sambil menggelengkan kepalanya. Melihat reaksi istrinya, dia bernapas berat lalu ikut menggelen
Langkah Jaquer melin panjang dia seakan merasakan hal yang tidak biasa dan ini membuatnya tidak nyaman. Elang yang berjalan di belakangnya terus memberi arahan kemana dia harus melangkah. Hingga akhirnya keduanya berhenti di kamar nomer 245 sebuah hotel berkelas. Samar terdengar suara yang tidak asing di indranya. Dahinya berkerut tidak percaya. "Apakah ini nyata?""Saya juga tidak paham, Tuan. Lebih baik dibuktikan saja!"Dengan sedikit tenaga pintu dibuka paksa oleh Jaquer. Pandangannya langsung tertuju pada posisi istrinya ditindih oleh seorang pria. Langkahnya makin panjang dan langsung menghantam punggung pria itu. "Kau!""Lalu siapa yang kau inginkan, Jaquer?'" Bangsat, selama ini aku melindungimu ternyata ini balasannya!"Pukulan Jaquer melayang ke rahang pria itu, tetapi Meilani berteriak lantang sambil menempelkan pisau pada lehernya. "Jika kau pukul lagi dia maka pisau ini yang akan menancap di leherku!"Dalam helaan napas yang berat, Jaquer menoleh ke arah istrinya yan
Meilani masih belum nyaman untuk membuka semua rahasia sepuluh tahun silam. Dia masih ingin melindungi nyawa suaminya dan putranya tanpa dia ketahui justru itu yang membuat Jaquer makin merasakan kasih dan cinta istrinya. "Iya sudah jika ini yang kamu inginkan, sebaiknya kita segera pulang.""Baiklah." Keduanya berjalan menuju ke mobil, dengan lembut Jaquer membukakan pintu. Melani masih enggan untuk masuk. Setelah siap, mobil melaju membelah jalan utama Kota Dongdong. Sementara di sekolah, terlihat Leonard sedang mengalami kesulitan. Dia ditekan oleh salah satu temannya dengan tuduhan mencuri. Leonard masih terus menolak tuduhan itu hingga akhirnya sebuah tamparan melayang di pipinya. "Aku sungguh tidak mengambil benda miliknya, Ibu Guru.""Jujur saja, jangan persulit dirimu, Leon. Apakah kamu ingin Mrs. Meilani akan membelamu?""Tentu saja." Pemilik barang terus mendesak pada guru agar barang itu segera dikembalikan. Baginya barang itu sangat berguna untuk hidupnya. Namun, Leon
Sosok Jaquer berjalan dengan gagah dan sombong diikuti Melani yang berjalan tergesa mendahului. Dia langsung berdiri meraih lengan Leonard agar berdiri di dekatnya. Selanjutnya Meilani mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Leonard. "Kamu tidak apa kan, Leon?"Leonard menggelengkan kepala, tetapi tatapannya tertuju pada sosok Jaquer yang menguarkan aura dingin. Pandangan Leonard begitu serius pada setiap perubahan reaksi pria tersebut yang diinfokan ibunya dialah ayah biologisnya. "Siapa Anda hingga berkata keras, Hah. Apakah Anda tahu siapa suamiku?" Wanita bergaun merah menyala dan bermake up tebal berkata sambil menunjuk ke muka Jaquer. Kepala sekolah terdiam dengan tubuh bergetar, sepertinya dia tahu identitas apa yang dibawa oleh Jaquer. Namun, kepala sekolah tidak bisa berkata seakan suaranya terhenti di tenggorokan. Bukan hanya suaranya yang terhenti, tetapi otaknya seakan pun tidak mau bergerak. Tapak tangannya mencengkeram bibir meja untuk mengurangi kecerobohan lisan dan g
Jaquer segera merokok sakunya, dia terlihat serius berbicara dengan lawan bicaranya. Nada dingin dan serius membuat tubuh Mr. Yohan bergetar hebat. Apalagi Jaquer ada menyebut satu nama tokoh penting di tempatnya bekerja. "Sudahkah, Mah, sebaiknya kita mengalah!" bisik Mr. Yohan pada istrinya. "Tidak bisa. Aku tidak terima, harusnya kamu dukung aku dong!"Perkelahian mulut suami istri itu terus berlanjut meskipun dalam suara yang rendah. Jaquer hanya menatap tajam dan dingin. Sementara Meilani mulai ketakutan dan memeluk lengan suaminya tanpa bersuara. "Tenanglah, Mei!"Suara Jaquer masih bisa didengar oleh kepala sekolah, hal ini menimbulkan pertanyaan dalam otaknya. Lelaki berusia senja itu menatap pada sepasang suami istri lalu mendekat dan memberi saran agar memilih Damai saja dalam menghadapi sosok dingin itu. "Tidak bisa, anak itu harus meminta maaf lebih dulu baru aku bebaskan!" tolak Mrs. Yohan. "Bukankah liontin itu sudah ketemu, Nyonya. Jadi aku tidak perlu minta maaf."
Hingga menjelang larut malam barulah mobil Jaquer memasuki gerbang rumah utama. Setelah memberikan kunci pada pelayan, dia langsung melangkah masuk ke dalam dan disambut kepala pelayan. "Bagaimana dengan istri dan anakku, Ramon?" kata Jaquer sambil melempar mantel miliknya. "Mereka tidur dalam satu kamar, Tuan. Semua sudah saya siapkan, tetapi Nyonya inginkan tidur satu kamar dengan tuan muda."Jaquer terus melangkah tanpa memberi reaksi atas penjelasan Ramon hingga sampai di dalam kamarnya barulah dia bicara, "siapkan air hangat untukku!"Tanpa berkomentar, Ramon masuk lebih dalam ke kamar mandi pribadi milik Jaquer. Dia mulai menata dan mengatur suhu air sesuai yang diinginkan oleh majikannya. Tidak lupa dia menyiapkan wine dan gelas khusus serta aromaterapi. "Semua sudah siap, Tuan. Silakan!"Ramon berjalan menuju ke ruang ganti Jaquer, dia juga menyiapkan piyama khusus dan diletakkan di atas tempat tidur. Setelah merasa cukup, pria tua itu keluar dari kamar Jaquer. Saat pintu
Setelah yakin istrinya tidur, Jaquer bangun. Dia melangkah menuju ke ruang kerja, tidak lupa dengan handphone miliknya. Setelah berada di ruang kerja dia menghubungi Elang. "Bagaimana?""Ternyata saat itu nyonya sedang ditekan oleh kedua orang tuannya, Tuan. Dia harus memilih putranya atau nyawa Anda.""Tetapi untuk apa? Bukankah semua sudah diberikan istriku pada mereka?"Diam, tidak ada jawaban dari seberang. Hanya suara kertas yang dibolak-balik. Jaquer masih setia menunggu jawaban Elang. "Bagi mereka Anda adalah menantu yang tidak diinginkan. Miskin dan tidak berpendidikan. Untuk itulah mereka membuat Anda, Tuan.""Baiklah, lalu siapa itu Thomson?""Dia tuan muda kedua keluarga Thomson kota sebelah.""Berani sekali dia mendekati istri. Mungkinkah dia yang dijodohkan kala itu?" Jaquer menghentikan kalimatnya sesaat, lalu dia berkata, "selidiki lebih jelas lagi!"Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Jaquer. Untuk sesaat dia melihat kiriman email dari Elang dan Alexandria.
Jaquer melangkah mengikis jaraknya dengan Angeli, dia tidak mengindahkan peringatan dari wanita itu. Tatapannya yang tajam menghujam jantung Angeli membuat tubuh wanita itu gemetaran. "Jaquer," keluh Angeli manja. Meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dan tubuhnya tampak gemetaran, Angeli masih mampu mengeluarkan kemanjaannya. Tangan kekar Jaquer mencengkeram rahang Angeli lalu mendorongnya hingga tubuh wanita itu terjatuh di sofa. "Apakah selama ini masih kurang?"Angeli meraih telapak tangan itu dan mengusapnya lembut. Tubuhnya menggeliat pelan hingga rok mini yang dipakai sedikit naik lebih tinggi. Paha putih mulus terpampang nyata. Angeli tersenyum tipis, "Jaquer!"Suara manja nan lembut mengalun indah, tidak hanya suara yang digunakan oleh Angeli agar Jaquer tergoda. Dia juga melakukan gerakan. Tungkai yang panjang dan mulus diangkatnya dan bergerak menyentuh tubuh Jaquer. Pria itu mengulum senyum aneh, tetapi Angeli tidak peduli. Dia terus memancing gairah Jaquer. "Car
Sementara di ruang kerja Jaquer terlihat pria itu sedang memegang kepalanya dan memijatnya pelan. Elang hanya duduk diam di depannya yang terhalang oleh meja. "Apakah sesakit itu, Tuan?""Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan tubuhku, Elang.""Sejak kapan ini terjadi?""Sejak aku kembali dari pencarian Meilani dan Leonard. Sehari setelahnya rasa ini mulai tumbuh, serangan akan lebih dahsyat setelah aku makan bekal dari istri."Untuk sesaat Elang menatap pada atasannya dengan dahi berkerut, lalu bibirnya mulai bergerak pelan, "mungkinkah ada konspirasi antara penculik dan nyonya, Tuan?""Aku kira juga itu, tetapi semua belum jelas. Meilani terlihat santai dan tulus begitu juga dengan putraku." Keduanya terdiam dalam pikirannya masing-masing hingga lamunan itu buyar saat terdengar suara familiar yang datang menyapa manja. Elang langsung menatap pada Jaquer, atasannya itu mengangguk dan menggeleng sebagai tanda agar dia keluar meninggalkan Jaquer bersama pemilik suara itu. "Saya
Waktu terus berlalu, Jaquer merasakan perlakuan Meilani banyak berubah sejak menghilang beberapa waktu lalu. Namun, dia tidak mau berkata hanya bawahannya yang digerakkan untuk mencari kebenaran atas peristiwa menghilangnya itu. Jaquer mengikuti saja semua apa yang diinginkan oleh istri dan anaknya tanpa bentak membantah. Seperti hari ini, dia diberi arahan untuk mulai membawa bekal makan siang. Jaquer hanya memberi senyuman dan setuju saja toh hanya bekal makan siang. "Jangan lupa dimakan, Jaqu!" pesan Meilani. Melihat sikap ayahnya yang makin patuh dengan apa yang dikatakan oleh ibunya membuat Leonard menjadi bimbang. Dia tidak ingin ada perubahan pada ayahnya yang akan membawa dampak tidak baik. "Ibu, apakah ini tidak akan merubah semua?" tanya Leonard saat bayangan Jaquer sudah jauh. Meilani menatap punggung suaminya yang menghilang di balik tirai pembatas. Kemudian pandangannya berpaling pada putranya. Senyumnya mengembang tipis, dengan tatapan gelisah. "Semoga saja tidak,
Sudah sekian waktu ternyata Jaquer masih belum mampu menemukan keluarganya. Dia mendesah panjang dan berat. Maka untuk menghilangkan kegelisahan dan rasa khawatir yang terus mendera dia pun memutuskan untuk kembali pulang. Tidak butuh waktu lama, kaki Jaquer sudah menapaki lantai halaman mansion miliknya. Dia berjalan lesu, tetapi pintu langsung terbuka saat tangannya meraih gagang pintu. "Mei!" Tanpa banyak suara, Meilani meraih lengan suaminya dan membawanya masuk. Jaquer hanya mengikuti langkah istrinya dalam diam. "Duduklah, kamu pasti lelah!" Usia berkata, Meilani berdiri dan melangkah meninggalkan Jaquer. Namun, baru saja bergerak dua langkah tangannya sudah di raih Jaquer dan ditarik hingga wanita itu jatuh terduduk di paha. "Menghilang kemana?""Aku tidak hilang, hanya keluar bersama Leonard berbelanja setelah itu pulang. Aku juga belikan kamu pakaian, sebentar aku ambil dulu," kata Meilani. Jaquer meraup wajahnya, dia tidak semudah itu percaya akan penjelasan istrinya.
Jaquer masih fokus dengan layar laptopnya, dia meneruskan pekerjaan Elang yang tertunda akibat pencarian istri dan anaknya. Pekerjaan bisnis di kota sebelah membuat otak Jaquer terus berputar dan bercabang. Keresahan yang menjalar di jiwa tidak dia pedulikan. Saat ini gelisah itu harus ditekan demi sebuah pekerjaan yang lebih pantas. Tiba-tiba telinga Jaquer bergerak ke atas, kedua matanya menyipit dengan dahi berkerut. Dia pun mengangkat kepalanya menatap pada pintu berharap ada kabar dari sana. Cukup lama Jaquer diam menatap pintu dengan menopang dagu. Selang beberapa menit, pintu terbuka dengan menampilkan wajah sendu Alexandria. "Tuan, Nyonya dan Tuan Muda telah ditemukan."Mendengar kabar itu seketika Jaquer bangkit dari duduknya dan saat itu juga tangannya menyambar jas hitam yang ada di sandaran kursi. "Segera ke sana!"Tanpa banyak bicara, Alexandria pun berjalan mengikuti arah Jaquer hingga sampai di pintu lift. Jaquer menghentikan langkahnya dan berbalik badan menghadap
Mobil yang membawa Meilani dan Leonard telah memasuki jalan khusus yang mana di sekelilingnya dipenuhi dengan pohon pinus menjulang tinggi. Angin bertiup sepoi, pandangan Meilani semakin berkabut. "Leon, segera kabari ayah kamu!" perintah Meilani dengan nada sangat rendah. Tanpa bersuara Leonard menunjukkan layar ponselnya yang sudah berada di dinding chat bersama ayahnya. Melihat riwayat chat itu seketika Meilani menghela napas panjang. Kemudian dia pun melihat ke sisi luar. Hanya ada deretan pohon pinus yang sesekali terdapat rumput liar yang cukup tinggi. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan megah, tetapi bukan seperti gambar yang dikirim ayahnya. Hal ini membuat kepala Leonard menggeleng. "Selamat datang!" Terdengar suara yang familiar di telinga Meilani. Begitu pintu terbuka barulah dia sadar sedang berhadapan dengan siapa. Bibir tipis Meilani tersenyum masam. "Apa maksud kamu membawa kami ke sini, Nona?"Angeli tersenyum, dia memberi isyarat pada bawahannya aga
Beberapa bawahan Jaquer membawa Jordan dan yang lainnya keluar dari ruangan itu atas perintah Jaquer. Setelah semua yang melakukan perundingan telah disingkirkan, barulah Alexandra berjalan mendekati Meilani."Mari, Nyonya!"Meilani meraih telapak tangan Alexandria, keduanya naik ke atas panggung dimana Jaquer dan Leonard sudah berdiri tegak di sana. Dengan penuh kasih, Jaquer menjemput wanitanya. Lalu dibawa lebih ke tengah. "Wanita ini adalah istri saya, ke depannya kalian harus menjaganya," kata Jaquer sambil mengangkat tangannya yang bertautan dengan Meilani. Jawaban serempak terdengar jelas, kemudian Jaquer kembali berkat untuk memperkenalkan putranya. Semua anggota Istana Naga tampak gembira atas kabar yang disampaikan oleh Jaquer. Waktu terus berlalu hingga akhirnya perjamuan itu selesai. Jaquer pun melangkah lebih dulu meninggalkan ruangan itu, ada pekerjaan yang harus dilakukan. "Bawa pulang istriku dan anakku, langsung mansion Venus!" Usai berkata Jaquer melangkah panja
Leonard menatap manik mata ayahnya yang sedang menunduk. Pria kecil itu menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin agar ibuku kembali seperti semula, Ayah," ujar Leonard datar. "Baik." Jaquer berpaling menatap pada bawahannya, "bersihkan tanpa sisa!"Mendengar perintah Jaquer, beberapa pria berpakaian serba hitam pun melangkah menuju ke sekumpulan orang yang telah melakukan perundungan pada Meilani dan Leonard. "Jaquer, apakah ini balasannya?" teriak Angeli sambil menatap penuh harap. Jaquer menatap dingin pada sosok Angeli. Dia menggerakkan dagunya pelan. Saat itu juga dia orang pria menyeret tubuh Angeli dan beberapa orang yang telah menyiksa istrinya. "Berhenti! Aku masih disini, Jaqu," tegas Jordan. Jaquer berpaling pada sosok pria berusia senja--Jordan Wang. Bibir tipisnya menyeringai, "aku tidak peduli!"Mendengar kata tidak peduli keluar dari mulut Jaquer, maka kedua pria itu melanjutkan tindakan mereka yang menyeret tubuh Angeli secara tidak hormat. "Bangsat, kau berkhia
Seorang pria paruh baya berjalan dengan diiringi oleh beberapa pria berjas hitam. Dia melangkah dengan bantuan tongkat berkepala naga menuju ke arah Miss. Angeli. "Salam Sejahtera, Tuan Jordan!" Semua orang yang hadir membungkuk sambil memberi salam pada pria tersebut. Jordan Wang, pemimpin sekte bulan sabit. Dia datang ingin menegaskan atas janji yang dulu pernah diucapkan oleh sang pemimpin naga. Akan tetapi semua telah berubah tudak sesuai dengan janji pemimpin terdahulu, dia tidak tahu siapa pemimpin yang baru. Selama ini yang dia tahu adalah putrinya lah yang akan mewarisi pedang panjang naga itu. "Papa, akhirnya kamu datang juga. Lihatlah wanita dan pria kecil itu!" adu Angeli dengan kemanjaannya. Pandangan Jordan Wang seketika tertuju pada sosok wanita yang masih berdiri di sekitar kursi khusus dengan menggandeng tangan mungil seorang pria kecil dengan gestur yang mirip seseorang. Dahi Jordan Wang berkerut, pikirannya melayang pada sosok pria muda yang dulu pernah dia tol