Aku berjalan cepat ke ruangan Xander. Aku masuk tanpa mengetuk, toh dia cuma sendirian kan. Aku duduk di kursi kerjanya. Kemana ia...kenapa tak kelihanatan. Seharusnya ia ada di sini.
Aku duduk menunggu tiga puluh menit, Xander tak kunjung datang. Kemana sih dia!
Setelah satu jam menunggu akhirnya Xander datang, dengan senyum kecut ia memandangku yang sudah sejak tadi cemberut.
"Kenapa kau yang bad mood? Kan aku yang nunggu sampai satu jam di sini...tanpa ada kejelasan kau kemana...dan tak memiliki makanan apapun!"
Xander tak menjawab apapun, ia langsung menciumku cepat. Lalu mengangkatku dari kursi kerjanya...dan duduk di kursi yang kududuki tadi. Ia memangku dan memelukku dari belakang.
"Aku harus bermanis-manis dengan dosen akademik yang sudah tua untuk menjalankan misi Sherlock Holmesnu, ia beberapa ka
“Jadi bagaimana ini?” Tanyaku kesal. Xander bukannya membantu malah memanfaatkan keadaan. Sejak tadi ia hanya duduk menyender di kursi kerjanya dengan mata ditutup. Ia terlalu puas hari ini.“Kenapa? Kau mau pulang?”“Xander…ayo selidiki Andrew! Kau jangan mau enaknya saja….ikut bantu aku!” Pintaku padanya, sambil menarik lengannya agar berdiri.“Kubilang…tak ada yang salah dengan pria itu…you don’t have to worry. Kau temani aku saja…aku harus membeli sesuatu di department store.” Xander akhirnya berdiri.“Okay. Kau yakin tak ada yang salah dengan pria itu?”“Ya. Nadja.” Ucapnya sabar.Kami berada di mobil Xander menuju department store, ia bilang mau membeli beberapa bahan makanan, dengan nafsu makanku yang seperti ini…sepertinya ia sedikit
Hari ini adalah hari ujian mata kuliah Xander. Aku sejak pagi sudah menolak untuk diganggu oleh Blase yang dengan sengaja mencoba, agar membuatku tidak bisa mengulang pelajaran. Bukannya membantu, ia malah justru membuatku terkecoh untuk melakukan hal yang lain. Xander berkali-kali memintaku untuk merapihkan pakaian, untuk merapihkan makanan atau mencuci piring, lalu ia juga berusaha untuk memelukku dari belakang saat aku mau memulai mengulang materi. Semua ia lakukan dan itu sangat menyebalkan.Mata kuliahnya adalah salah satu mata kuliah dengan SKS terbesar, aku setidaknya harus mendapatkan nilai di atas B, agar nanti nilaiku bagus. Karena apabila aku mendapatkan nilai buruk di mata kuliahnya, akan sangat mempengaruhi GPA ku nanti."Nadja.... tolong aku! Tolong aku di sini!" Teriak Xander dari dalam kamar.Aku sedang berada di ruang makan dan menyantap sandwich buatan Xander. Aku juga memegang buku materi dan sejak tadi berusaha
Aku masih menggerak-gerakkan bokongku....Xander sesekali menggeram pelan...aku hanya tinggal menunggu ia tak tahan dan akhirnya menyerah. Untuk menambah sensasi... Aku membuka tiga kancing kemejaku yang teratas, membuat Xander bisa menikmati isi di dalamnya."Ada apa sebenarnya denganmu Nadja?" Keluh Xander dengan suara tertahan dan mata menuju area depanku. Ia menahan kedua tangannya di samping, ia tak berani menyentuhku walau ia mau."Don't you want me?" Aku mendekatkan dadaku ke wajahnya. Xander menggeram kencang. Aku tertawa dalam hati. Sekarang akan kugunakan ini sebagai senjata mendapatkan keinginanku."Nadja... walaupun aku membocorkannya, bukankah kau jadinya tak puas kalau kau mendapatkan nilai hasil berbuat curang? Bukankah mendapatkan nilai murni itu...Lebih memuaskan dibandingkan hasil curang?" Tanya Xander yang sekarang menutup matanya... badannya sedikit be
Aku berjalan langsung ke kamar mandi terdekat di aula kampus. Salah satu kamar mandi terbesar dan terdekat dari parkiran. Xander lebih memilih berjalan super cepat ke ruang kerjanya. Aku menolak saat ia mengajakku ke sana. Karena bukannya bersih…malah ia dijamin akan meminta tambahan. Aku sedag membasuh tangan di kamar mandi wanita, hendak keluar. Ada sekelompok mahasiswa senior yang sedang mengaplikasikan make up, mereka sesekali tertawa kencang. Aku mengambil tasku yang ku taruh di meja dekat watafel.“Kau mahasiswa tingkat satu ya?” Tanya salah satu mahasiswi senior kepadaku. Ia seorang perempuan berpakaian feminime dan memiliki rambut berhighlight merah. Apakah warna rambut merah sedang trend saat ini?“Mmh…Iya?” Jawabku bingung.“Kau. Jangan kecentilan sama Tuan DeVille! Kami mengawasimu.” Ucapnya menunjuk dadaku dengan jari telunjuknya.“Mmh…aku tidak…” Aku tak bisa melanjutkan kalimatku karena tig
Bel sudah berbunyi dan aku sudah mengumpulkan lembar jawabanku ke depan. Aku mengambil tas lalu berjalan mencari Lidya. Aku harus member tahunya. Aku berjalan menuju kelas Lidya.“Lidya!” Panggilku pada sahabat berambut merahku. Ia memakai pakaian yang sangat seksi hari ini, membuat aku mengerenyitkan dahi saat pertama kali melihat. Ia mengenakan sebuah jeans hitam yang robek di bagian paha dan berjaring, atasannya ia memakai sebuah blouse dengan bahu terbuka. Lidya tampil all out dengan wajahnya yang terpoles make-up natural.Lidya menoleh dan tersenyum kepadaku.“Hai.” Sapanya dengan santai.“Oh…Lidya. Kau tak tahu siapa yang mengawasku barusan.” Ucapku antusias. Aku menggiringnya ke cafeteria, aku tahu Lidya masih ada jam ujian berikutnya, jadi ia pasti beristriahat untuk makan di cafeteria.“Siapa?&rdq
Aku menyelesaikan ujianku dan setelah bel berbunyi, aku langsung mengumpulkannya di depan. Hari ini aku sudah berdandan dengan maksimal. Hari ini aku dengan Andrew sudah berjanji akan akan bertemu di kafe yang sama, tempat pertama kali kami berbicara di luar. Aku akan memberikan jawabanku mengenai tawarannya saat itu.Sejak tadi Nadja sudah mengusikku dan memberikan pendapatnya mengenai Andrew, sahabatku yang satu itu memang sangat keras kepala kalau urusan seperti ini, tapi tak bisa kusalahkan, karena dia melakukannya... karena ia menyayangiku.Selama ini aku dan Andrew hanya bertemu di luar sebatas hanya meminum kopi tapi tidak pernah membahas lagi tawarannya saat itu. Ia merasa nyaman dengan kehadiranku. Mungkin karena ia tinggal sendiri di kota ini dan ia membutuhkan teman, ia merasa nyaman dan bisa berbicara banyak denganku.Andrew seorang pria kelahiran Jepang. Aya
Andrew membayar tagihan di cafe ini, kami sekali lagi berada di dalam mobil...menuju hotel. Di cafe tadi Andrew bilang, ia tak mau memakai pelindung, jadi aku yang dimintanya meminum pil. Hampir semua pria seperti ini.Ia memilih sebuah hotel dengan level elite. Sepertinya ia ornag kaya, karena setahuku hotel ini semalamnya membutuhkan biaya sewa diatas lima ratus dolar. Andrew memarkir mobilnya dan berjalan ke lobby, ia memesan kamar untuk satu malam. Aku hanya membatin...kenapa satu malam? Bukankah...hanya... Dan tak membutuhkab waktu selama itu?"Kenapa kau memesan satu malam?" Tanyaku saat kami berada di lift.Ia mengangkat bahunya, "minimal di sini memesan untuk satu malam." Jawabnya santai. Seperti mengajariku angka satu lalu dua lalu tiga.Kami diam di dalam lift, begitu lift terbuka menampilkan sebuah koridor panjang beralaskan
Aku sedang berkemas barang-barangku yang terakhir, sebagian besar pakaianku sudah dikemas oleh Xander."Xander, kau tak memasukkan piyamaku?" Tanyaku saat melihat beberapa tumpuk piyama masih tersimpan di dalam lemari."Kau tak akan butuh piyama!" Jawabnya. Ia sedang memasak makan siang. Aku berkeras meminta dimasakkan olehnya. Kapan lagi aku membuatnya repot."Hah? Kenapa?" Tanyaku ragu. Aku menghampiri Xander yang sedang memasak stirfry daging dan sayur. Hmm..yumm."Kau tak butuh piyama untuk tidur di sana." Ucapnya lagi tanpa menoleh."Kenapa?" Aku masih belum paham."Karena aku takkan membiarkanmu tidur berpakaian. Kau sudah tak ujian lagi kan?" Jawabnya sambil menyeringai."Huh...dosen mesum!" Protesku. Aku mengambil sebuah