"Kasihan," ucap Aldiaz dengan senyum mengejek. Ia menyadari kesedihan Shirin yang tertolak sebelum berjuang.
Shirin perlahan mendongak dan menatap Aldiaz sebal. Padahal, matanya berkaca-kaca. Pipi tembamnya semakin mengembung.
Aldiaz membuang muka seraya menyembunyikan tawa. Lalu mengulurkan tangan dan mengelus puncak kepala Shirin.
Shirin refleks mundur saat mendapat perlakuan itu. Aldiaz kembali berusaha menyembunyikan tawanya. Namun, berbeda dengan Abi, Aldiaz malah merampas kotak bekal di tangan kanan Atha.
"Oy, Al—" Atha menghentikan protesnya kala Al maju beberapa langkah menghadap Shirin. Atha mendengus ketika gadis itu tidak mundur seperti saat ia mendekatinya tadi.
Al membungkuk untuk menyejajarkan tingginya dengan gadis itu, seraya menyodorkan kotak bekal yang dipegangnya. "Makasih, ya. Ini buat lo aja, sisanya buat gue sama Atha."
Meski enggan, Shirin tetap menerimanya. Tatapan sebal masih ia layangkan pada Aldiaz meski pipinya sudah memanas tanpa sebab. Hal itu membuat Al lagi-lagi harus menyembunyikan tawa tanpa suaranya. Shirin mendengus dan membungkuk isyarat pamit seraya melenggang pergi tanpa mengucapkan apa pun.
Al kembali berdiri tegak dan memandangi punggung Shirin yang mulai menjauh. Ia kemudian berbalik dan merangkul sohibnya. "Yuk, Ath, ke kelas."
"E-eh, tunggu dulu!" Atha menepis tangan Al dan menatap arah kepergian Shirin seperti tak rela. Ia mengulurkan tangan seolah dengan begitu bisa meraih Shirin kembali. "Gue 'kan, belum tau ... namanya."
"Gak boleh naksir."
Atha berkedip dan langsung mengubah ekspresinya. "Enggak, gue cuma penasaran."
"Oh, gitu? Ya udah."
"Ya udah apa?"
Al melirik Atha sekilas, kemudian lanjut melangkah. Senyum tercetak di wajahnya. "Buat gue."
Atha melotot tak terima. Namun, mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata. "Inget tugas lo!"
Al terkekeh. Ia tak memedulikan ucapan Atha seraya melenggang ke kelas.
***
"Mia, besok jadi?" Atha menghampiri Mia yang berjalan di koridor sambil membawa beberapa buku, kemudian ikut berjalan di sampingnya. "Btw, mau ke mana?"
"Ke ruang guru, mau naruh buku-buku ini di meja Bu Dewi," jawab Mia sambil tersenyum.
Atha mengangguk dan mengambil buku-buku itu dari tangan Mia. "Yuk, biar gue yang bawa."
"Makasih."
Mereka pun berjalan bersisian menuju ruang guru. Usai meletakan buku-buku itu di atas meja Bu Dewi, keduanya duduk di kursi koridor. Terlihat para siswa banyak yang berlalu-lalang, ada juga yang baru datang dan langsung mengobrol di koridor. Bel baru akan berbunyi sepuluh menit lagi. Namun, Atha dan Mia masih santai.
"Oh, iya, nanti gue mau ajak temen gue." Mia akhirnya bersuara.
"Temen lo yang mana? Cewek kaku itu?"
"Kaku?"
"Eh, sori." Atha terkekeh canggung. "Gue gak tau namanya."
Mata Mia menyipit seraya mendesah jengah. "Jangan panggil dia kayak gitu. Namanya Shirin, Shirina Haruki. Dia cewek baik yang cuma mau jadi diri sendiri."
"Padahal, kemarin lo juga bilang kalo dia itu nolep dan gak cantik," cibir Atha.
"Y-ya ... gue 'kan, jujur. Gue pikir kalian mau ngegebet dia."
Atha mendelik mendengar jawaban Mia, tetapi kemudian, Mia mendekat seraya memelankan suaranya. "Eh, btw, kemarin si Al ngapain aja ke rumah Shirin?"
"Cuma ngembaliin buku doang, terus pulang," jawab Atha dan memilih untuk tidak menceritakan detail yang terjadi.
Mia menghela napas. "Hadeh, gue pikir mau PDKT."
"Ngarep amat, sih." Atha risih sendiri, tetapi kemudian ia teringat. "Eh, bentar."
"Apa?"
"Boleh minta kontaknya Shirin?"
"Katanya gak suka." bukan Mia yang mencibir, melainkan Aldiaz yang tiba-tiba sudah ada di sana. Ternyata, Al sudah lama duduk di samping mereka sambil membaca buku dengan tenang.
Atha menendang tungkai kaki Al pelan. "Apaan, sih? Dibilang gue gak suka, cuma penasaran."
Mia melirik kedua lelaki itu bergantian dan mengeluarkan ponselnya dari saku. Kemudian, jarinya menari di atas layar.
Di detik berikutnya, dering pesan terdengar dari ponsel Atha yang ada di sakunya. Atha memeriksa ponselnya, Mia mengiriminya kontak dengan nama 'Shirin Bestfriend'. Atha mendongak, kemudian tersenyum lebar. "Makasih."Mia hanya mengangkat bahunya seraya tersenyum meremehkan. "Coba aja kirim pesan ke dia."
Atha mengerutkan dahi, tetapi kemudian menuruti ucapan Mia.
Athalas Fernan : P
Athalas Fernan : Save back, gue Athalas.
--Shirina blocked you--
"Pffftttt!" Al menahan tawanya, tetapi kemudian, ia dan Mia sama-sama tertawa lepas.
"Parah, tuh, cewek!" geram Atha. Ia bangkit dan berjalan menuju kelas XI IPS 2 dengan tergesa. Tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di sana, dilihatnya Shirin keluar.
Dengan sigap, Atha mencekal lengannya dan menariknya kasar menuju suatu tempat. Bel sudah berbunyi dan membuat Shirin meronta ingin kembali ke kelas … tetapi melawan tenaga Atha yang kuat, sangat mustahil baginya.
Sampai di atap sekolah, Atha menghentakkan tangan Shirin dengan kasar. "Buka blokirnya," ucapnya.
Shirina diam dan melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangannya, kemudian membuang muka. "Gak sopan!"
Atha melotot. "Apa lo bilang?"
"Gak sopan!" Shirin mengulangi dan kali ini dengan berani balas menatap Athalas.
"Lo, tuh, yang gak sopan. Main ngeblokir nomor orang sembarangan," balas Atha.
Shirin diam dan hendak melewati Atha untuk kembali ke kelasnya. Namun, dengan sigap Atha menarik tangannya hingga kembali berbalik menghadapnya. "Jangan ge-er, gue cuma mau nambah kontak." setelahnya, Atha berbalik dan melenggang pergi meninggalkan Shirin yang tetap diam.
Shirin mengembuskan napas panjang. Tanpa memedulikan kata-kata Athalas, ia bergegas menuju kelas. Hingga akhirnya, di persimpangan koridor ia terduduk di lantai karena menabrak seseorang.
"Kalo lari, matanya juga dipake," ujar Aldiaz. Ia bersandar ke tembok sambil menyilangkan tangan di dada. Kali ini ia sengaja membiarkan gadis itu terjatuh.
Shirin segera bangkit, wajahnya datar saat memandang Aldiaz. "Siapa, sih?" deliknya seraya lanjut berjalan meninggalkan Al yang ternganga.
Aldiaz buru-buru menahan lengannya. "Lo gak tau siapa gue?"
"Aku mau ke kelas." bukannya menjawab, Shirin justru nyaris memohon.
Al menatapnya beberapa lama. Namun, bukannya melepaskan lengan Shirin, ia justru menarik Shirin agar mendekat ke tubuhnya.
Shirin meneguk ludah saat hidungnya hampir membentur dada Aldiaz. Dengan kaku, ia mendongak, dan menatap Aldiaz yang ternyata sedang was-was melihat ke arah lain. Shirin menoleh ke belakang. Namun, belum sempat melihat sesuatu, Aldiaz kembali menarik lengannya menuruni anak tangga.
"Gue Al," ucapnya, "Aldiaz, kelas XII IPA 2, absen lima, duduk di bangku paling belakang barisan tengah."
"Gak nanya," dengus Shirin.
"Tadi lo nanya gue siapa."
"Tapi 'kan, gak sedetail it—" belum sempat menyelesaikan ucapannya, bahu Shirin didorong menjauh saat sampai di koridor IPS kelas XII.
"Udah-udah, mending lo masuk. Bye-bye."
Mata Shirin menyipit, ia menoleh. Aldiaz sudah beranjak menuruni tangga sambil melambaikan sebelah tangan padanya sebagai isyarat pamit. Bukannya balas melambaikan tangan, Shirin mendelik menjauh. "Dasar orang-orang gak sopan."
Saat sampai di kelas, Bu Dewi menyambut Shirin dengan tatapan datarnya. Meski diizinkan masuk untuk mengikuti pelajaran, istriahat kali ini harus Shirin habiskan untuk mengepel lantai lobi gedung utama. Mia sendiri sudah pergi ke kantin sejak bel istirahat berbunyi, dan semua ini, karena lelaki sok ganteng yang memaksanya membicarakan hal tak penting. Shirin mengembuskan napas sambil mulai mengepel dan menggerutu dalam hati. Apa hanya karena mereka tampan, terkenal, dan menjadi most wanted sekolah membuat mereka bisa melakukan hal seenaknya? Seperti menarik Shirin ke sana-kemari, hingga akhirnya disuruh pergi. Shirin sendiri yakin setelah ini, baik Aldiaz atau Athalas pasti akan bersikap seolah tak mengenalnya. Seolah Shirin ... barang sekali pakai saja. Namun, segala pemikiran Shirin terpecah, seolah dun
Aldiaz berbaring di kasurnya. Tubuhnya penuh keringat, sementara napasnya menderu tak beraturan. Rahangnya mengetat, giginya bergemertak setiap mengingat wajah sedih itu. Di dalam kamarnya, yang barang-barangnya sudah hancur dan berantakan akibat tinjunya sendiri, Aldiaz meledak karena kefrustasian. Lalu, dering ponsel membuyarkan lamunan. "Apa?" tanya Al setelah mengangkat panggilan. Dan suara Mia menyambut dari ujung telepon. "Al, lo bisa gak dateng ke sini?" suaranya seperti berbisik. "Ke mana? Ngapain?" "Egamart." Setelah mendengarkan penjelasan singkat Mia, Aldiaz bangkit dan merapikan penampilannya. Wajahnya kembali cerah, karena pagi ini ternyata dia masih memiliki kesempatan. Ternyata benar kata orang bijak, jika malam terlalu kelam untuk menggantungkan harapan, kau harus percaya kepada pagi.
"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!" Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?" "Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia." Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik. "Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.
Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang. Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!" "Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada. Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?" Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja." Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah
Shirin meraba jaket di punggungnya, lembut, dan hangat. Kemudian, suara dehaman seorang lelaki terdengar. Seorang lelaki berambut cokelat melangkah melewati dan memunggunginya. Tersadar akan sesuatu, Shirin berdiri dan segera menghapus air matanya. Ia meraih jaket di punggungnya dan menyodorkannya pada lelaki itu. "M-maaf, ini jatuh." Lelaki yang tak lain adalah Athalas Fernan itu menoleh seraya mengerutkan dahi. "Hah?" "Ini jatuh." Shirin mengulangi, sambil menggoyangkan tangannya yang memegang jaket hitam itu. Atha masih mengernyit dan tatapan bingungnya berubah menjadi aneh. Ia menuding Shirin. "Lo pikir gue gak sengaja jatuhin jaket itu tepat di punggung lo?" Shirin mengangguk.
"Jangan deket-deket!" Shirin mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan berani, tetapi ia benar tentang tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Kenapa, Manis?" tanya lelaki itu, dan suara tawa liar menyusul. Shirin memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat jurus beladiri yang ia tahu. Kepalan tangan siap dilayangkan, semoga bisa mematahkan hidung atau menghantam kepala dua lelaki itu. Namun, sebelum sempat menyerang, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar dan melemparnya ke trotoar. Shirin berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti atau malah menabraknya? Mobil hitam itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terb
Keesokan harinya, adalah hari kasih sayang. SMA Generasi Bangsa punya tradisi tersendiri untuk merayakannya. Yaitu semua warga sekolah wajib bertukar cokelat untuk orang yang disayanginya. Baik itu teman, sahabat, pacar, ataupun guru.Shirin merasa suasana sekolah lebih riuh dari biasanya. Pagi ini, Mia menemukan laci mejanya penuh dengan cokelat dan bunga. Stevany menolak mentah-mentah tiga orang lelaki yang menembaknya. Joy ikut bernyanyi dangdut di kantin bersama para jomlo. Abi yang diam-diam membuang cokelat dari para fans-nya. Serta Shirin.Shirin menatap cokelat bermerek di tangannya, kemudian menatap pintu kelas XII IPA 2 yang terbuka lebar seolah ingin memakannya hidup-hidup. Shirin meneguk ludah dan kakinya bergerak-gerak gelisah memerhatikan Aldiaz yang duduk di kursi paling belakang.Aldiaz masih asyik membaca buku seolah tidak menyadari Shirin. Beberapa gadis bergantian datang ke meja Al untuk sekedar menyod
Mata Willa memicing menatap Athalas yang masih sibuk dengan ponselnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, kedua orang itu seakan enggan beranjak."Lo gak pulang?" tanya Atha pada akhirnya.Willa berdecak. "Gue mau ngomong sama lo. Peka, kek.""Yaudah, ngomong aja," jawab Athalas tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel."Lo anak jurnal, 'kan?"kali ini Athalas meletakkan ponselnya dan menatap wajah cantik Willa. Tatapannya datar seolah menusuk. "Lo mau apa?"Willa tersenyum.***Mobil mulai memasuki kawasan yang asing. Jalan aspal tampak usang dan terlihat sedikit retak. Pohon tabebuya kuning terbentang di sisi-sisi jalan. Shirin tidak tahu sudah berapa lama mereka berkendara, pinggangnya terasa pegal, dan sepertinya, ini di luar kota Jakarta.Shirin mencoba merenggangkan tubuhnya dan bersenandung memandang sekitar."Kamu gak takut?" suara
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata
"Leonard ...." Aldiaz menggeram."Yo, Al!" suara Leon terdengar ramah. Pria itu bersandar ke pintu mobil seraya menatap Al humor. "Lo ngapain lindungin dia kayak gitu? Mau dicap pengkhianat? Lo mau mati, Al?"Shirin melebarkan mata. Apa kata orang itu tadi? Aldiaz akan mati jika tidak membunuhnya? Lalu perlahan, Shirin menoleh pada Al. Aldiaz bungkam dan ekspresinya berubah tenang dalam sekejap. Namun, Shirin tak mampu menyembunyikan raut cemasnya."Gak masalah," kata Al, dan seketika membuat Shirin menoleh tak terima.Shirin melangkah maju tanpa takut. Namun, dalam sekejap Al menariknya ke belakang punggung. "Saya siap mati, kalau Shirin dibiarkan pulang." Al berkata lagi.Leonard memandang gelagat sepasang kekasih itu. Beberapa detik waktu terbuang, lalu tiba-tiba ia tertawa. Tawanya terdengar mengejek. "Cowok gentle, nih?" ejeknya, tetapi kemudian, Leon mengibaskan tangan. "Tenang, Al. Antek-antek gue bakal anter di
Lelaki berambut cokelat itu berjalan tegap di koridor rumah sakit umum kota. Bau antiseptik dan obat-obatan menguar di mana-mana. Sebelah tangannya menggenggam sebuket bunga mawar putih.Athalas berhenti di sebuah kamar di ujung lorong. Ia masuk dan menghela napas melihat wanita paruh baya yang terbaring lemah dengan berbagai perlatan medis yang menemaninya. Lelaki itu tersenyum sendu dan mengganti bunga layu yang ada di vas dengan bunga yang dibawanya.Setelahnya, ia menyibak tirai—membiarkan cahaya mentari yang cerah masuk ke dalam ruangan. Athalas duduk di kursi di sisi ranjang. Diraihnya tangan wanita yang sedang terlelap itu, lalu diusap lembut."Ibu tenang aja." Atha bermonolog pelan. "Atha bakal dapetin uang yang banyak secepatnya, supaya Ibu dioperasi dan cepet sembuh."***Aldiaz baru mengantarkan Shirin pulang saat pukul tujuh malam. Mereka sem
Ingatan siapa ini? batin Shirin. Kemudian, kelopak matanya memberat. Kepalanya nyeri, hingga membuatnya tak sadarkan diri.***[Shirina Haruki]Sejak kecil, di duniaku, ruangan adalah segalanya. Dunia tertutup yang tak terjamah oleh siapa pun yang berada di luar jendela. Di mansion Haruki yang megah, para pengasuh merawatku dengan baik. Aku selalu memerhatikan anak-anak bermain di taman kota. Namun, setiap kali mereka mengajakku, aku selalu diam. Diam, hingga akhirnya ditinggalkan.Hingga pada akhirnya, aku hanya duduk sendirian di ayunan taman belakang mansion. Aku kesepian, itulah yang kupahami saat mendengar tawa anak-anak lain. Namun, kemudian ... aku melihatnya.