Aldiaz berbaring di kasurnya. Tubuhnya penuh keringat, sementara napasnya menderu tak beraturan. Rahangnya mengetat, giginya bergemertak setiap mengingat wajah sedih itu. Di dalam kamarnya, yang barang-barangnya sudah hancur dan berantakan akibat tinjunya sendiri, Aldiaz meledak karena kefrustasian.
Lalu, dering ponsel membuyarkan lamunan.
"Apa?" tanya Al setelah mengangkat panggilan.
Dan suara Mia menyambut dari ujung telepon. "Al, lo bisa gak dateng ke sini?" suaranya seperti berbisik.
"Ke mana? Ngapain?"
"Egamart."
Setelah mendengarkan penjelasan singkat Mia, Aldiaz bangkit dan merapikan penampilannya. Wajahnya kembali cerah, karena pagi ini ternyata dia masih memiliki kesempatan.
Ternyata benar kata orang bijak, jika malam terlalu kelam untuk menggantungkan harapan, kau harus percaya kepada pagi.
***
Sial, benar-benar sial. Rutuk Shirin dalam hati. Ia menyendok makanan di piring tanpa selera. Mia ada di sampingnya bersama Atha, sementara Abi dan Valen ada di sisi lainnya. Mereka makan di sebuah restoran siap saji dan duduk melingkari meja bundar.
Shirin merasa salah tempat. Bayangannya berjalan-jalan dengan Abi tak terwujud. Karena begitu ia dan Mia turun dari taksi online, bukan hanya Atha dan Abi yang menyambut mereka di Mal, tetapi juga gadis berambut pendek bernama Valen.
"Ni cewek kenapa ikut?" saat itu Athalas meledek disusul tawa. Mia memukulnya pelan dan Shirin hanya menunduk dalam. Sejak saat itu, ia tahu bahwa ia sudah salah memutuskan.
Usai makan, dua pasangan itu berencana untuk menonton film. Shirin memilih kabur diam-diam saat berjalan menuju bioskop. Gadis itu malah duduk di taman di luar Mal sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Baginya, menyendiri lebih baik daripada melihat orang yang dicintainya bahagia bersama orang lain.
Seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya dan merebut satu earphone di telinga kanannya.
Shirin menoleh kaget begitu melihat sosok lelaki bermata onyx duduk di sampingnya sedang mendengarkan lagu dari sebelah earphone miliknya. Mulutnya terbuka, lidahnya kaku. "K-Kak Al?"
Al hanya tersenyum memandang lurus ke depan sambil bersenandung mengikuti lagu yang didengarnya.
People say i try to hard
People say i come off really awkward.You know i don't mean no harm.I just trying to be myself but.Sometimes i get confused.Cause i can't read social cues.Threw my inhibitions out the door.I don't have an excuse.Im just living in my youth.Don't know why people don't like me more.I have no friends but thats okay.I don't need them anyway.I do my best all on my own.And i just rather be alone.Rather be alone.Shirin hanya mampu terperangah melihat wajah Aldiaz yang sedang bernyanyi dari samping. Suaranya merdu dan ia juga tampan.
Al menoleh dan melayangkan senyum manisnya pada Shirin. "Suka lagu ini?"
Shirin tersadar, kemudian mengangguk cepat.
"Kenapa?"
"Liriknya sesuai sama pikiran aku." Shirin menjawab pelan.
"Bagian mana yang sesuai?" seolah tertarik, Al bertanya lagi.
Shirin diam dan menatap Al tanpa ekspresi. Ia berusaha mencari tahu apa tujuan lelaki ini.
Sebelah earphone Shirin masih tersangkut di telinga Aldiaz. Ia menatap lurus ke depan dan tersenyum samar kala Shirin tidak menjawab. "Maaf," lirihnya kemudian. Ia menoleh dan memerlihatkan ekspresi menyesal yang membuat siapa pun yang melihatnya tak tega. "Bisa kamu kasih aku satu kesempatan lagi? Aku janji, gak akan kasar sama kamu lagi."
Shirin masih diam dan menunduk untuk beberapa menit yang terasa sangat lama. Ia ingin bersiul karena Aldiaz tidak menyerah dan tetap pada posisinya semula. "Hampir semuanya," ucap Shirin pada akhirnya, "hampir semua lirik lagu itu sesuai sama pikiran aku."
Aldiaz menoleh dan menyembunyikan senyum sumringah-nya seraya menunggu kelanjutan ucapan Shirin.
"Mereka bilang aku datang dengan canggung. Padahal, aku gak bermaksud jahat," lanjut Shirin. Ia tersenyum samar sambil meremas jeansnya. "Aku cuma berusaha jadi diri sendiri, tapi kadang aku bingung karena aku gak ngerti isyarat sosial. Aku cuma mau menikmati masa muda seperti orang lain, tapi gak tau kenapa mereka lebih gak menyukaiku. And ... i have ni friends ... kecuali Mia." Shirin terkekeh di akhir kalimatnya.
Rasanya lucu, sementara Al terdiam mengamatinya. Tatapannya santai, tidak mengasihani apalagi mengejek. Ia bertopang dagu. "Ngerasa kesepian, gak?"
Pertanyaan Al berhasil membuat Shirin kembali diam. Shirin mengusap lengannya seraya menjawab pelan. "K-kadang."
"Kalau ada aku, masih ngerasa kesepian, gak?" Al menunjuk dirinya sendiri.
Shirin hanya mengerutkan dahi. "H-hah?"
Lagi-lagi Al dibuat terkekeh. "Aku cuma tanya, kalau aku jadi temen kamu, apa kamu masih ngerasa kesepian?"
Shirin menggeleng lalu menjawab. "Gak tau."
"Kalau gitu ...." Al berdiri menghadap Shirin dan mengulurkan jari kelingkingnya. "Ayo temenan."
Shirin mendongak dan memandang tubuh tinggi yang menjulang membelakangi matahari itu. Dadanya menghangat. Ia manatap jari kelingking dan wajah Aldiaz bergantian. Padahal, kemarin rasanya Shirin sangat membenci lelaki itu.
Di menit berikutnya, Aldiaz masih setia menunggu. Hingga akhirnya, dengan ragu Shirin menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking lelaki itu.
Al tertawa. "Kamu terlalu lama mikirnya."
"Maaf." Shirin meringis.
"Tapi aku bisa menunggu lebih lama lagi. Bahkan, selama yang kamu mau." Shirin tercenung mendengar kata-kata Al yang tenang. Sementara Al sendiri memandang ke sekitar seraya menoleh pada Shirin lagi. "Ke Monas, yuk."
***
Mia, Atha, Abi, dan Valen sudah sampai di aula bioskop. Mereka mengamati sekitar, Mia menggandeng lengan Atha sambil berceloteh. "Enaknya nonton film apa, ya? Lo mau nonton film apa, Rin?"
Merasa tak ada respons dari temannya itu, Mia menoleh. Namun, tak ada siapa pun di belakangnya. "Loh, Rin? Shirin?"
Alhasil, Mia celingukan di tengah keramaian.
Atha mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"
"Shirin gak ada, Ath, dia hilang!" Mia panik. "Aduh, kalo dia kenapa-napa bisa mampus gue sama mamanya."
Atha berdecak. "Ck, nyusahin banget, sih, udah gede juga."
"Coba telepon," ujar Abi dan membuat Mia langsung mengeluarkan ponselnya.
Panggilan terhubung dan Mia langsung bersuara. "Rin! Lo di mana? Kenapa tiba-tiba gak ada di belakang gue?""Di Monas."
Mendengar jawaban Shirin, membuat keempat orang itu tersedak. "Hah?!"
"Gila, dari sini ke Monas 'kan, lumayan jauh." Valen berkomentar tak habis pikir.
Sementara Atha lagi-lagi berdecak, ia merebut ponsel dari tangan Mia dan berujar pada gadis di ujung telepon. "Woy, lo kenapa bisa sampe sana? Sama siapa lo?"
"Sama gue." kali ini, bukan Shirin yang menjawab, melainkan suara berat seorang lelaki.
Atha dan Abi kenal betul suara siapa itu. "Al?! Lo kenapa bisa sama dia?" Abi ikut heran.
"Tadi kebetulan ketemu di taman. Ya udah, gue ajak main aja," ujarnya santai.
Mia kembali merebut ponselnya dari Atha seraya mengomel, "Main bawa-bawa anak orang aja lo! Bawa balik ke sini! Awas aja kalo Shirin sampe lecet."
Al terdengar berdecak. "Iya, bawel."
***
Aldiaz memutus sambungan telepon dan mengembalikan ponsel ber-casing anime girl itu kepada pemiliknya seraya berujar, "Yuk, balik ke Mal. Pawang kamu marah-marah."
"Pawang?"
"Mia." Al terkekeh. "Yuk."
Namun, bukannya mengikuti langkah Al, Shirin masih memandang pemandangan kota di bawah sana. Ia kini berada di puncak Monas tanpa berniat pulang.
"Nanti ke sini lagi." ucapan Al membuat Shirin menoleh penuh binar. "Sekarang pulang."
Akhirnya, Shirin mengangguk dan mengikuti langkahnya.
"Lo, tuh, udah kayak anak kecil aja, njir!" Atha mengomel begitu Shirin sampai di Mal bersama Al. "Kesasar di Mal, terus diculik om-om. Nyusahin, dah, asli. Bikin orang khawatir aja!" Al memandang jengkel, tetapi kemudian ia tersenyum mengejek. "Eum, Ath ... lo ... khawatir sama Shirin?" "Bukan gue, tapi Mia." Atha menjawab cepat. Namun, Al dan Mia malah tertawa cekikikan-membuatnya mengumpat.Sementara Shirin sendiri hanya diam seperti anak kecil yang polos-memandang teman-temannya bergantian. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah sore, gue duluan, ya, Mia." Mia mengangguk membuat Shirin segera berbalik. "Mia, gak usah anter. Gue bisa sendiri." Shirin cepat-cepat menambahkan kala Mia ingin mengikuti langkahnya.
Shirin meneguk ludah memandang punggung Aldiaz yang menjauh. Padahal, ia tepat berada di samping Al saat cowok itu melewatinya. Kekecewaan tercetak jelas di wajahnya. Namun, ia cepat-cepat mengatur ekspresinya saat suara cempreng Mia terdengar di belakang. Shirin terlonjak hampir melompat dari tempatnya saat Mia tiba-tiba berseru dan merangkulnya dari belakang. "Pagi, Rin!" "Astagfirullah!" Shirin ber-istigfar seraya mengelus dada. Mia cekikikkan. Namun, dengan cepat tawanya memudar kala menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu. "Lo gak papa, Rin? Gue gak kekencengan, 'kan?" Shirin menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya. "Enggak, enggak apa-apa. Ayo, ke kelas aja." Mia tidak merespons dan langsung mengikuti langkah
Shirin meraba jaket di punggungnya, lembut, dan hangat. Kemudian, suara dehaman seorang lelaki terdengar. Seorang lelaki berambut cokelat melangkah melewati dan memunggunginya. Tersadar akan sesuatu, Shirin berdiri dan segera menghapus air matanya. Ia meraih jaket di punggungnya dan menyodorkannya pada lelaki itu. "M-maaf, ini jatuh." Lelaki yang tak lain adalah Athalas Fernan itu menoleh seraya mengerutkan dahi. "Hah?" "Ini jatuh." Shirin mengulangi, sambil menggoyangkan tangannya yang memegang jaket hitam itu. Atha masih mengernyit dan tatapan bingungnya berubah menjadi aneh. Ia menuding Shirin. "Lo pikir gue gak sengaja jatuhin jaket itu tepat di punggung lo?" Shirin mengangguk.
"Jangan deket-deket!" Shirin mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan berani, tetapi ia benar tentang tenggorokan yang kering—tak ada suara yang keluar dari mulutnya. "Kenapa, Manis?" tanya lelaki itu, dan suara tawa liar menyusul. Shirin memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat jurus beladiri yang ia tahu. Kepalan tangan siap dilayangkan, semoga bisa mematahkan hidung atau menghantam kepala dua lelaki itu. Namun, sebelum sempat menyerang, sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar dan melemparnya ke trotoar. Shirin berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti atau malah menabraknya? Mobil hitam itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terb
Keesokan harinya, adalah hari kasih sayang. SMA Generasi Bangsa punya tradisi tersendiri untuk merayakannya. Yaitu semua warga sekolah wajib bertukar cokelat untuk orang yang disayanginya. Baik itu teman, sahabat, pacar, ataupun guru.Shirin merasa suasana sekolah lebih riuh dari biasanya. Pagi ini, Mia menemukan laci mejanya penuh dengan cokelat dan bunga. Stevany menolak mentah-mentah tiga orang lelaki yang menembaknya. Joy ikut bernyanyi dangdut di kantin bersama para jomlo. Abi yang diam-diam membuang cokelat dari para fans-nya. Serta Shirin.Shirin menatap cokelat bermerek di tangannya, kemudian menatap pintu kelas XII IPA 2 yang terbuka lebar seolah ingin memakannya hidup-hidup. Shirin meneguk ludah dan kakinya bergerak-gerak gelisah memerhatikan Aldiaz yang duduk di kursi paling belakang.Aldiaz masih asyik membaca buku seolah tidak menyadari Shirin. Beberapa gadis bergantian datang ke meja Al untuk sekedar menyod
Mata Willa memicing menatap Athalas yang masih sibuk dengan ponselnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun, kedua orang itu seakan enggan beranjak."Lo gak pulang?" tanya Atha pada akhirnya.Willa berdecak. "Gue mau ngomong sama lo. Peka, kek.""Yaudah, ngomong aja," jawab Athalas tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel."Lo anak jurnal, 'kan?"kali ini Athalas meletakkan ponselnya dan menatap wajah cantik Willa. Tatapannya datar seolah menusuk. "Lo mau apa?"Willa tersenyum.***Mobil mulai memasuki kawasan yang asing. Jalan aspal tampak usang dan terlihat sedikit retak. Pohon tabebuya kuning terbentang di sisi-sisi jalan. Shirin tidak tahu sudah berapa lama mereka berkendara, pinggangnya terasa pegal, dan sepertinya, ini di luar kota Jakarta.Shirin mencoba merenggangkan tubuhnya dan bersenandung memandang sekitar."Kamu gak takut?" suara
"Kayak kamu bisa ngelawan aku aja." Shirin duduk tak bergerak dan merasa lebih takut pada Al daripada selama ini. Ia tak pernah melihat Al begitu bebas membuka topeng ketenangannya seperti ini. Tak tahu bagaimana caranya Al bisa sekuat dan secepat itu. Siapa dia sebenarnya? "Dia sakit." "Dia bisa bunuh perasaan maupun fisik lo kapan pun." Perkataan Athalas kembali terlintas di otak Shirin. Shirin kembali melirik ponsel, tetapi ia tak bisa bergerak untuk menyalakannya dan menghubungi Mia. Dengan wajah pucat dan mata membelalak, Shirin duduk bagai burung yang siap dimangsa ular. Mata Aldiaz yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-luap. Ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi kesedihan. "Jangan takut," gumamnya. Suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda. "Aku janji ... aku janji gak akan melukai kamu." Ia kelihatan lebih ingin meyakinkan diriny
"Kak Atha." Shirin kembali bicara. "Sebenernya, Kak Al itu sakit apa?"Athalas diam dan menatap Shirin untuk waktu yang lumayan lama.Namun, saat ia hendak membuka mulut, pintu rooftop dibuka kencang. Aldiaz berdiri dengan sebelah telapak tangan menempel pada pintu, angin berembus menerbangkan helaian rambutnya.Athalas bangkit, mengambil hand bag yang dibawa Shirin, dan berjalan menuju pintu. "Bukan urusan lo," jawabnya. Sebelum pergi, ia sempat menabrakkan bahunya ke Al.Aldiaz masih diam, bahkan saat Athalas sudah menghilang di balik pintu. Cowok itu menunduk dalam.Shirin mengusap lengan, ekspresinya menyesal. "Maaf," bisiknya.Aldiaz menggeleng. Namun, tanpa mengucapkan apa pun, lelaki itu berbalik dan melenggang pergi.Bahu Shirin merosot dan tak habis pikir. Aldiaz bahkan tidak menatapnya sama sekali. Apa kali ini ... Al benar-benar marah padanya?***S
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata
"Leonard ...." Aldiaz menggeram."Yo, Al!" suara Leon terdengar ramah. Pria itu bersandar ke pintu mobil seraya menatap Al humor. "Lo ngapain lindungin dia kayak gitu? Mau dicap pengkhianat? Lo mau mati, Al?"Shirin melebarkan mata. Apa kata orang itu tadi? Aldiaz akan mati jika tidak membunuhnya? Lalu perlahan, Shirin menoleh pada Al. Aldiaz bungkam dan ekspresinya berubah tenang dalam sekejap. Namun, Shirin tak mampu menyembunyikan raut cemasnya."Gak masalah," kata Al, dan seketika membuat Shirin menoleh tak terima.Shirin melangkah maju tanpa takut. Namun, dalam sekejap Al menariknya ke belakang punggung. "Saya siap mati, kalau Shirin dibiarkan pulang." Al berkata lagi.Leonard memandang gelagat sepasang kekasih itu. Beberapa detik waktu terbuang, lalu tiba-tiba ia tertawa. Tawanya terdengar mengejek. "Cowok gentle, nih?" ejeknya, tetapi kemudian, Leon mengibaskan tangan. "Tenang, Al. Antek-antek gue bakal anter di
Lelaki berambut cokelat itu berjalan tegap di koridor rumah sakit umum kota. Bau antiseptik dan obat-obatan menguar di mana-mana. Sebelah tangannya menggenggam sebuket bunga mawar putih.Athalas berhenti di sebuah kamar di ujung lorong. Ia masuk dan menghela napas melihat wanita paruh baya yang terbaring lemah dengan berbagai perlatan medis yang menemaninya. Lelaki itu tersenyum sendu dan mengganti bunga layu yang ada di vas dengan bunga yang dibawanya.Setelahnya, ia menyibak tirai—membiarkan cahaya mentari yang cerah masuk ke dalam ruangan. Athalas duduk di kursi di sisi ranjang. Diraihnya tangan wanita yang sedang terlelap itu, lalu diusap lembut."Ibu tenang aja." Atha bermonolog pelan. "Atha bakal dapetin uang yang banyak secepatnya, supaya Ibu dioperasi dan cepet sembuh."***Aldiaz baru mengantarkan Shirin pulang saat pukul tujuh malam. Mereka sem
Ingatan siapa ini? batin Shirin. Kemudian, kelopak matanya memberat. Kepalanya nyeri, hingga membuatnya tak sadarkan diri.***[Shirina Haruki]Sejak kecil, di duniaku, ruangan adalah segalanya. Dunia tertutup yang tak terjamah oleh siapa pun yang berada di luar jendela. Di mansion Haruki yang megah, para pengasuh merawatku dengan baik. Aku selalu memerhatikan anak-anak bermain di taman kota. Namun, setiap kali mereka mengajakku, aku selalu diam. Diam, hingga akhirnya ditinggalkan.Hingga pada akhirnya, aku hanya duduk sendirian di ayunan taman belakang mansion. Aku kesepian, itulah yang kupahami saat mendengar tawa anak-anak lain. Namun, kemudian ... aku melihatnya.