"Kayak kamu bisa ngelawan aku aja."
Shirin duduk tak bergerak dan merasa lebih takut pada Al daripada selama ini. Ia tak pernah melihat Al begitu bebas membuka topeng ketenangannya seperti ini. Tak tahu bagaimana caranya Al bisa sekuat dan secepat itu.
Siapa dia sebenarnya?
"Dia sakit."
"Dia bisa bunuh perasaan maupun fisik lo kapan pun."
Perkataan Athalas kembali terlintas di otak Shirin. Shirin kembali melirik ponsel, tetapi ia tak bisa bergerak untuk menyalakannya dan menghubungi Mia. Dengan wajah pucat dan mata membelalak, Shirin duduk bagai burung yang siap dimangsa ular.
Mata Aldiaz yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-luap. Ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi kesedihan.
"Jangan takut," gumamnya. Suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda. "Aku janji ... aku janji gak akan melukai kamu." Ia kelihatan lebih ingin meyakinkan diriny
"Kak Atha." Shirin kembali bicara. "Sebenernya, Kak Al itu sakit apa?"Athalas diam dan menatap Shirin untuk waktu yang lumayan lama.Namun, saat ia hendak membuka mulut, pintu rooftop dibuka kencang. Aldiaz berdiri dengan sebelah telapak tangan menempel pada pintu, angin berembus menerbangkan helaian rambutnya.Athalas bangkit, mengambil hand bag yang dibawa Shirin, dan berjalan menuju pintu. "Bukan urusan lo," jawabnya. Sebelum pergi, ia sempat menabrakkan bahunya ke Al.Aldiaz masih diam, bahkan saat Athalas sudah menghilang di balik pintu. Cowok itu menunduk dalam.Shirin mengusap lengan, ekspresinya menyesal. "Maaf," bisiknya.Aldiaz menggeleng. Namun, tanpa mengucapkan apa pun, lelaki itu berbalik dan melenggang pergi.Bahu Shirin merosot dan tak habis pikir. Aldiaz bahkan tidak menatapnya sama sekali. Apa kali ini ... Al benar-benar marah padanya?***S
"Gue gak bisa pura-pura lagi." suara Mia sedikit bergetar.Willa menepuk-nepuk bahunya. "Tenang aja, Mia. Lo cuma harus lakuin apa yang gue suruh. Habis itu, semua bakal baik-baik aja.""Lo mau gue ngelakuin apa?" tanya Mia, dan kali ini tatapannya datar.Senyum Willa kembali mengembang, ia mendekat dan berbisik tepat di telinga Mia."Soal film yang dibuat sama tim jurnalis sekolah ...."***Abi tersenyum puas melihat rekaman video yang dibuatnya. Matanya melirik Willa dan Mia yang sudah menghilang tertelan keramaian koridor. "Kena lo, Wil!" gumamnya. "Kalau Al tau, dia pasti mati."Valen geleng-geleng kepala. "Jangan kasih tau Al.""Lah, kok gitu, sih?" Abi memrotes. "Buat apa gue rekam kalau si Al gak boleh tau?""Al itu kalau marah gak main-main." Valen memukul kepala Abi dengan sendok bersih. Ia membuang muka dan memelankan suara. "Kalau beneran kejadian, langsung
Shirin keluar dari kelasnya bersama Mia, tetapi mereka harus berpisah di gedung utama. Mia harus berbelok ke lorong untuk berkumpul dengan anggota klub jurnalis, sementara Shirin berjalan lurus ke luar gerbang. Ya, setidaknya itu yang direncanakan Shirin.Namun, begitu keluar dari gedung utama, seorang gadis menghalangi jalannya. Ia Willa, kelas XII IPA 2. Cewek jangkung itu menatapnya dingin, tetapi ekspresi ketusnya tak mengurangi kecantikannya sedikit pun.Shirin tersenyum kikuk, merasa insecure berhadapan dengannya."Jangan terlalu deket sama Aldiaz," ucap Willa to the point dan tanpa senyum, sukses membuat senyum Shirin sirna. "Gue gak akan cemburu sama cewek kaku kayak lo, tapi yang tadi itu kelewatan. Gue tau, banyak cewek yang nge-fans sama Al, tapi gak gitu juga. Pura-pura nangis supaya dipeluk terus ditemenin ke UKS? Lo masih punya harga diri, 'kan?"Perkataannya begitu dingin dan menusuk—membuat Shirin semakin tert
Tawa Athalas pecah melihat ekspresi Shirin di foto. Dengan susah payah ia duduk di samping Shirin dan memperlihatkan sebuah foto di layar ponselnya.Shirin menggeleng dan berusaha mengambil kesadaran. Menyadari apa yang terjadi membuat wajahnya panas."Lihat, nih, foto lo," ucap Atha di sela-sela tawa. "Tampang-tampang jones, ahahaha!"Shirin merebut ponsel itu. Di foto, Atha terlihat berpose dengan gaya salam dua jari. Di sampingnya, Shirin duduk dengan wajah tertekuk. Shirin menutup wajah dengan kedua tangan dan merasa malu.Atha kembali merebut ponselnya dengan sisa tawa. "Sip, gue kirim ke Al.""Eh, jangan!" Shirin menjawab cepat, membuat Atha kembali tertawa. Merasa dipermainkan, Shirin hanya meliriknya tajam dan kembali diam.Tawa Atha mereda, ia bersandar ke kursi taman dengan senyum yang mengembang. "Lo kenapa duduk sendirian sambil murung kayak jones?""Gak papa," jawab Shirin cuek. I
"Ada mata yang kerap menatapku, ada senyum yang menenangkanku, ada hal yang semua pikir itu untukku. Nyatanya, tak ada yang menetap demi aku."***Melihat Mia yang dengan kejam menjambak rambut Shirin dan menariknya keluar, Stevany dan Joy saling melirik, kemudian mengikutinya. Di koridor, mereka berdua berpapasan dengan bintang iklan SMA Generasi Bangsa—Willa."Mana si Mia?" tanya Willa dengan wajah dinginnya yang khas. Melihat Stevany yang menunjuk ujung koridor, Willa tersenyum. Ia melangkah perlahan, sementara dua adik kelasnya itu mengekorinya.Di ujung koridor yang sepi, langkah kaki Willa yang terdengar menggema membuat Mia menghentikan pergerakannya. Ia menoleh dan matanya langsung menatap lurus ke mata Willa."Gue gak nyangka lo bener-bener ngelakuin ini." Willa bertepuk tangan.Membuang muka, Mia mengulurkan tangan. "Mana janji lo?"Willa mengeluarkan amplop cokelat tebal dari
Lo yakin gak mau jalan sama gue dulu, Mi? Shoping gitu," tanya Stevany di balik mobilnya. Ia melirik ke sekitar dan perumahan itu dapat terbilang sepi, dengan rumah-rumah kecil yang sebagian besar tak berpenghuni. "Ini beneran daerah rumah lo? Bukannya lo anak CEO, ya?""Hm? Eh, iya." Mia mengangguk cepat seraya tersenyum kikuk. "Buat jaga-jaga. Keluarga gue gak mau kelihatan mencolok."Stevany membulatkan bibir. "Ya udah, gue duluan, bye." Gadis itu melambaikan tangan dan memutar stir menjauhi perumahan.Mia menghela napas dan berjalan perlahan memasuki perumahan kecil. Masih dengan seragam yang melekat, ia berbelok ke sebuah gang sempit yang kotor. Ini lebih bisa disebut sebagai perkampungan kumuh. Rumah-rumah dengan beragam bentuk menyatu. Suara anak-anak yang berlarian dan volume televisi terlalu besar bersahut-sahutan membuat riuh."Woy, buka! Jangan pikir lo bisa lari!" seru seseorang. Ia menggedor pintu kayu sebuah rumah kec
Seorang wanita paruh baya sedang mengepel lantai koridor gedung utama. Rambutnya yang sedikit beruban dicepol asal, dan baju lengan panjangnya yang lusuh digulung sampai ke siku. Sesekali ia mengusap keringat di keningnya.Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 petang. Mia mengendap-endap keluar dari ruang klub jurnalis dan matanya melirik berbagai arah dengan waspada. Ia memastikan tidak ada orang lain lagi di sana selain dirinya dan wanita pekerja sekolah itu.Setelah merasa lingkungannya aman, Mia menghampiri wanita itu dan menyapa pelan. "Ibu, udah sore. Yuk, pulang!"Wanita yang sedang membungkuk itu menoleh. Ia tersenyum sumringah, berdiri tegak, dan mengusap kepala Mia pelan. "Eh, anak Ibu. Udah selesai sekolahnya?"Mia mengangguk dan mengangkat sekantung plastik bening berisi ayam goreng crispy. Ia tertawa. "Tadi ditraktir Kak Atha, buat makan adik-adik aja."Suara klakson mobil dari parkiran membuat kedua orang i
"Aldiaz dan Athalas Fernan." Pak Surya memperkenalkan dua murid barunya yang baru pindah bersamaan. Aldiaz—seorang lelaki dengan kacamata bulat tersenyum manis menyapa seisi kelas, sementara Athalas hanya tersenyum singkat.Kemudian, keduanya duduk di kursi tengah tepat di antara Abi. Mereka bertiga menjadi teman baik dan membuat Abi memerhatikan mereka lebih dari yang seharusnya. Matanya sering menangkap mereka di tempat-tempat tertentu, dan ketika ia menemukan mereka sedang berdua ... mereka selalu terlihat berbincang serius."Kalian kenapa milih pindah ke SMA Generasi Bangsa?" tanya Abi pada suatu ketika.Athalas menegang sejenak. Ia terlihat gugup memikirkan jawaban.Berbeda dengan Aldiaz yang terlihat tenang. Bahkan, dengan gaya yang terkesan santai, ia menjawab sambil menatap Abi dengan sorot humor. "Gue sama Atha pindah ke sini karena kami tertarik sama cewek yang sekolah di sini.""Lah, anjir. Kok bucin?"
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata
"Leonard ...." Aldiaz menggeram."Yo, Al!" suara Leon terdengar ramah. Pria itu bersandar ke pintu mobil seraya menatap Al humor. "Lo ngapain lindungin dia kayak gitu? Mau dicap pengkhianat? Lo mau mati, Al?"Shirin melebarkan mata. Apa kata orang itu tadi? Aldiaz akan mati jika tidak membunuhnya? Lalu perlahan, Shirin menoleh pada Al. Aldiaz bungkam dan ekspresinya berubah tenang dalam sekejap. Namun, Shirin tak mampu menyembunyikan raut cemasnya."Gak masalah," kata Al, dan seketika membuat Shirin menoleh tak terima.Shirin melangkah maju tanpa takut. Namun, dalam sekejap Al menariknya ke belakang punggung. "Saya siap mati, kalau Shirin dibiarkan pulang." Al berkata lagi.Leonard memandang gelagat sepasang kekasih itu. Beberapa detik waktu terbuang, lalu tiba-tiba ia tertawa. Tawanya terdengar mengejek. "Cowok gentle, nih?" ejeknya, tetapi kemudian, Leon mengibaskan tangan. "Tenang, Al. Antek-antek gue bakal anter di
Lelaki berambut cokelat itu berjalan tegap di koridor rumah sakit umum kota. Bau antiseptik dan obat-obatan menguar di mana-mana. Sebelah tangannya menggenggam sebuket bunga mawar putih.Athalas berhenti di sebuah kamar di ujung lorong. Ia masuk dan menghela napas melihat wanita paruh baya yang terbaring lemah dengan berbagai perlatan medis yang menemaninya. Lelaki itu tersenyum sendu dan mengganti bunga layu yang ada di vas dengan bunga yang dibawanya.Setelahnya, ia menyibak tirai—membiarkan cahaya mentari yang cerah masuk ke dalam ruangan. Athalas duduk di kursi di sisi ranjang. Diraihnya tangan wanita yang sedang terlelap itu, lalu diusap lembut."Ibu tenang aja." Atha bermonolog pelan. "Atha bakal dapetin uang yang banyak secepatnya, supaya Ibu dioperasi dan cepet sembuh."***Aldiaz baru mengantarkan Shirin pulang saat pukul tujuh malam. Mereka sem
Ingatan siapa ini? batin Shirin. Kemudian, kelopak matanya memberat. Kepalanya nyeri, hingga membuatnya tak sadarkan diri.***[Shirina Haruki]Sejak kecil, di duniaku, ruangan adalah segalanya. Dunia tertutup yang tak terjamah oleh siapa pun yang berada di luar jendela. Di mansion Haruki yang megah, para pengasuh merawatku dengan baik. Aku selalu memerhatikan anak-anak bermain di taman kota. Namun, setiap kali mereka mengajakku, aku selalu diam. Diam, hingga akhirnya ditinggalkan.Hingga pada akhirnya, aku hanya duduk sendirian di ayunan taman belakang mansion. Aku kesepian, itulah yang kupahami saat mendengar tawa anak-anak lain. Namun, kemudian ... aku melihatnya.