Cukup lama Tuan Morat dan Rusmidi terdiam. Mereka hanyut dalam keresahan hati masing-masing.
“Maafkan aku Midi, aku sungguh tidak tahu kalau Nona Janeta itu adalah keponakanmu. Aku juga sempat mencurigai dirinya.” Akhirnya Tuan Morat memecah keheningan.“Itu karena kau sudah lama tidak kemari, Morat. Jadi kau tidak pernah bertemu dengannya. Padahal aku telah mengambilnya sejak kedua orang tuanya mati terbunuh. Aku membawanya ke sini dan menguliahkannya.”“Apa kau bilang tadi, Midi? Orang tua siapa yang mati terbunuh?” mata Tuan Morat membesar. Ia mencecar sahabatnya itu dengan pertanyaan.“Kedua orang tua Jane. Ayahnya adalah Kakak kandungku.” sahut Rusmidi lirih dengan pandangan mata kelam. Air bening menutupi pemandangan lelaki paruh baya itu.“Jangan bercanda kau, Midi!”Tuan Morat sampai berdiri karena tidak percaya dengan berita yang didengarnya dari Rusmidi. Wajahnya tegang dan tubuhnya bergetar menahan emosi dirinya sendiri.“Aku tidak bercanda Morat! ItulahMalam kini telah berlalu dengan berbagai cerita bagi masing-masing insan di bumi. Sang fajar muncul di balik bukit menandakan bahwa malam kini akan berganti siang. Perlahan matahari mulai menaik dan menyinari bumi.Suara burung-burung riuh bagaikan nyanyian alam menggambarkan betapa kayanya sang pencipta.Cecep menggeliat masih di atas pohon tumbang yang syukur cukup besar hingga mampu menahan tubuhnya. Si Hitam dengan setia tidur di bawah pohon itu.“Oh, sudah pagi, Hitam!”Beberapa kali Cecep menguap petanda kantuk belum sepenuhnya pergi dari matanya.Si Hitam melompat-lompat manja. Ekornya ia kibaskan ke kiri dan ke kanan.“Ayolah kita mandi, Hitam! Aku sudah rindu berendam dalam sungai itu!” seru Cecep sambil menunjuk ke arah sungai yang suaranya dapat di dengar dari tempat mereka berada saat itu.Si Hitam kembali melompat-lompat girang. Cecep segera bangkit dan turun dari rebahan kayu itu lalu berjalan menuju sung
Ratih berjalan perlahan mendekati Salma tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis cantik itu.“Apa maksudmu?” tanya Ratih sedingin es.Salma menaikkan kedua tangannya lalu ia lipat di dadanya. Ia juga berjalan lebih mendekat kepada Ratih dan membalas tatapan tajam gadis itu.“Kamu mau tahu siapa yang membunuh Pak Warno sebenarnya?” tanyanya tanpa berkedip menatap Ratih.Pertanyaan Salma kepada Ratih sontak membuat Darma gelisah. Ia terlihat semakin salah tingkah. Ia bergegas mendekati Ratih dan merangkul kedua bahu calon istrinya itu dan membawa agak menjauh dari Salma.“Sudahlah Ratih, jangan diladeni perempuan sinting itu!” ucap Darna sambil menunjuk Salma yang masih melipat tangan di depan dada.Salma melengos lalu tersenyum menjijikkan.“Lepaskan Kang! Ratih mau tahu apa yang sebenarnya terjadi!” seru Ratih sambil mengibaskan rangkulan tangan Darna di kedua bahunya. Ia kembali berjalan mendekati
Darna dan Ratih terpana mendengar rekaman suara dari ponsel Abbas tersebut. Sadarlah mereka berdua bahwa mereka telah terjebak untuk ke sekian kalinya.“Bagaimana? Apakah kalian sudah mendengar dengan jelas?” ucap Salma yang kini telah memindahkan kedua tangannya ke balik bokongnya yang seksi. Ia berjalan mengitari Darna dan Ratih bagaikan seorang guru mengitari muridnya yang telah melakukan kesalahan.Ratih dan Darna berpandangan. Darna mengirim kode kepada Ratih lewat pandangan matanya agar Ratih mengikuti saja kemauan Salma. Ratih mengangguk walau hatinya menolak. Tapi demi keselamatan ibunya, ia harus mengikuti kemauan Salma dan Abbas. Ia benar-benar tidak tega jika harus melihat ibunya di penjara dalam waktu yang lama.“Tapi baju berdarah itu tidak ada bersama Ratih!" ucap Ratih lirih.“Apa maksudmu, Ratih? Jangan coba-coba bermain denganku!” ujar Salma sedikit menghardik. Matanya melotot.Tiga pasang mata yang ada
Sementara itu di dalam hutan.Cecep sudah siap mandi dan tampak segar. Di atas tungku sudah terlihat pula beberapa ekor ikan yang dibakar dan menyebarkan aroma yang membuat usus melilit meminta jatah. Cecep duduk di atas pohon kayu yang rebah dan secangkir kopi menemaninya.Janeta turun dari atas pondok dan bersiap menuju ke sungai. Ia memang sengaja pergi ke sungai agak terlambat karena menunggu Cecep kembali dari sungai itu. Memang Cecep membutuhkan waktu agak lama karena ia menangkap beberapa ekor ikan terlebih dahulu untuk sarapan pagi itu.Janeta langsung memeriksa pakaiannya yang semalam ia jemur. Syukurlah pakaian itu tidak terlalu tebal hingga beberapa jam saja terkena sinar matahari sudah kering.“Neng mau mandi?” Cecep menyapa.“Iya, Kang! Kita harus segera turun ke kota untuk mencari Fitri.” sahut Janeta.Cecep terlihat sedikit melongo.“Apa tidak sebaiknya kita tunggu besok saja Neng. Saya rasa polisi masih
Sementara itu Ratih dan Darna sedang melaju cukup kencang dengan sepeda motor dari desa menuju arah Jakarta. Cuaca yang sedikit panas tidak dihiraukan mereka berdua. Pikiran mereka hanya fokus untuk mencari Fitri dan menemukan baju berdarah yang diinginkan Salma. Mereka berharap urusan dengan Salma cepat selesai dan mereka bisa menjalani hidup dengan normal kembali.Ratih memeluk pinggang Darna dengan erat. Berbagai pikiran dan perasaan bercampur aduk di dalam pikirannya. Ia teringat pesan Janeta kepadanya ketika akan dibawa oleh polisi.“Ratih, cari Fitri dan temukan baju berdarah itu untuk Kakak!”Hari ini memang ia akan pergi mencari Fitri untuk mendapatkan apa yang diminta oleh Janeta. Namun sayangnya, Ratih sudah tidak lagi berbuat untuk Janeta. Ia melakukan itu untuk Salma. Yah, untuk Salma. Karena Salma sudah berhasil menjadikan mereka sekeluarga menjadi robot permainannya.“Kak Janeta, maafkan Ratih, Kak! Ratih tidak punya pilihan
Sekitar jam tujuh pagi Janeta dan Cecep sampai di tempat kontrakan Fitri yang lama. Rumah itu kini ternyata sudah berganti penghuni baru.“Maaf, Mbak mau cari siapa?” tanya seorang ibu muda yang pastinya adalah penghuni baru rumah petak itu.“Saya mencari Fitri, Bu. Saya tahu dia sudah pindah dari sini. Tapi... Kira-kira ada nggak yang tahu Fitri pindah kemana?” tanya Janeta berharap mendapat petunjuk.“Oh, maaf saya tidak tahu Fitri pindah kemana, Mbak. Cuma saya tahu tempat Fitri biasanya berjualan.” sahut ibu muda itu.Jawaban ibu muda itu tentu saja membuat Janeta senang dan memiliki secercah harapan. Ia bergegas meminta keterangan lebih jelas tentang keberadaan Fitri. Sementara Cecep dan si Hitam menunggu saja di atas sepeda motor.Setelah mendapatkan informasi yang cukup, Janeta meninggalkan rumah petak bekas tempat tinggal Fitri dan Lina ibunya pernah tinggal tersebut lalu bergegas mendekati Cecep yang setia m
Hari ini itu ketika pagi juga mulai menyapa di desa tempat tinggal Bu Asih, ibu paruh baya itu terlihat duduk melamun di atas tikar di ruang gubuknya yang tidak begitu luas. Di depannya ada secangkir teh manis yang masih mengepul asapnya.Mata Bu Asih terlihat sembab dan sedikit bengkak. Semalaman suntuk ia tidak bisa memicingkan matanya memikirkan kepergian Ratih dan Darna siang kemarin. Bu Asih yakin kalau kepergian mereka adalah untuk mencari Fitri guna memenuhi perintah Salma. Bu Asih yakin kalau Salma telah melakukan kejahatan yang sangat besar hingga ia melakukan apa saja untuk menyembunyikan kejahatannya itu dari polisi.Lalu pikiran Bu Asih kini tertuju kepada Janeta. Ia menghela nafas yang sangat berat.“Tak seharus si Neng yang menjadi korban dari semua ini. Si Neng sangat baik dan menyayangiku saat Ratih tidak berada di rumah. Ratih juga sangat menyayangi si Neng kayaknya ia mempunyai seorang Kakak.” gumam hati Bu Asih sedih. Ia menyeruput teh m
“Kak Ratih mau mengembalikan baju itu kepada Kak Salma?” Fitri bertanya kepada Ratih dengan mata terbelalak.“Iya Fit!” jawab Ratih cepat-cepat menganggukkan kepalanya.“Ta..tapi mengapa Kak? Kalau memang benar baju itu adalah bukti kejahatan Kak Salma, mengapa Kak Ratih ingin mengembalikan kepadanya? Ia pasti akan membuang atau membakarnya, Kak!” ujar Fitri tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ratih.Ratih nampak salah tingkah menghadapi Fitri yang ternyata cukup pintar. Fitri bukanlah seperti anak ingusan lain yang sebaya dengannya.“Tapi apa benar baju itu sudah dibuang Ibu kamu, Fitri?” setelah tercenung sesaat Ratih kembali bertanya.“Yaah..!” ujar Fitri masih belum mengerti apa alasan Ratih begitu gigih untuk membantu Salma mendapatkan barang yang sangat penting itu.“Apakah Kak Ratih telah berpihak kepada Kak Salma sekarang? Apakah mereka berteman?” Hati Fitri bertanya-ta
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d