Pagi itu di desa tempat Ratih dan ibunya tinggal.
Matahari bersinar cukup cerah. Bu Asih terlihat bersiap turun ke sawah, Ratih memilih membersihkan dan merapikan gubuk mereka. Sejak dirinya pergi hampir 4 bulan meninggalkan ibunya, gubuk itu sudah terlihat sangat berantakan.
Namun baru saja dirinya akan memulai pekerjaan yang sudah ia rencanakan, tiba-tiba ia mendengar ibunya tengah berbincang dengan seseorang.“Ratih ada di dalam.” Begitulah ucapan Bu Asih yang sampai ke telinga Ratih.“Ibu ngomong sama siapa?” gumam Ratih penasaran lalu menyusul ke bagian depan rumah kecil milik mereka itu.“Oh Kang Darna?” gumam Ratih dengan wajah agak memerah.“Bagaimana keadaan kamu Ratih?” tanya pemuda yang ternyata bernama Darna itu langsung memandang ke arahnya.“Sehat Kang.” sahut Ratih lalu duduk sebuah bangku panjang yang ada di depan gubuknya. Bangku panjang tersebut berada di bawah pohon ja“Hari ini Neng gelis.. eh Neng Janeta nggak datang ke sini. Aduuh... Hatiku kok rasa gimanaaa gitu ya Allah... Dunia rasanya sepi tanpa penghuni..” Cecep mendesah resah. Berkali-kali ia memperbaiki posisi duduknya namun tak beranjak dari pelataran rumahnya itu.Dipandanginya langit yang berhiaskan bintang dan rembulan yang bersinar terang. Rindu dendam makin menyiksa hati.Bu Wati berkali-kali mengintip putranya dari ambang pintu yang terbuka. Beberapa kali pula ia menghela nafasnya.“Anakku benar-benar sedang jatuh cinta.” bisik hati Bu Wati tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat Cecep seperti itu sejak kekasihnya pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Hati Cecep seperti terkunci dan kunci agaknya sudah berkarat dan mustahil untuk dibuka.Tapi akhir-akhir ini Cecep berubah seratus delapan puluh derajat. Ia jadi sering melamun dan terkadang senyum-senyum sendiri.Tak lama kemudian terdengar suara sepeda motor mendekat. Suara itu sema
Sementara itu Fitri di rumah kontrakannya yang baru.Fitri terlihat melamun di atas kasur busa tipis yang terbentang di kamarnya. Kamar yang tidak begitu luas itu adalah satu-satunya tempat untuk fitri dan ibunya serta Hasan adiknya beristirahat.Sedangkan Lina terlihat sibuk di dapur. Ia mempersiapkan kue-kue dan makanan yang akan dijajakan Fitri dan Hasan besok di terminal bus antar kota yang tidak begitu jauh dari rumah kontrakannya itu.“Fitrii...! Sini bantuin Ibu. Dari tadi kok melamun terus.” Lina berteriak dari dapur. Suaranya cukup keras sampai ke kamar tempat Fitri duduk sambil menopang dagu dengan wajah kusut.“Ya Bu!” sahut Fitri bermalasan menuju dapur.Lina mengangkat wajahnya memandang putrinya itu. Ia harus menengadah karena ia duduk di atas bangku kecil yang rendah sedangkan Fitri berdiri. Tangan Lina sibuk meramu adonan kue di dalam sebuah baskom plastik.“Ada Fit? Ibu perhatiin sejak pagi tadi kamu murung
Tengah malam dini hari.Suara dengkur Fitri dan Hasan terdengar halus. Dada mereka naik turun mengikuti irama nafas yang keluar dari mulut dan hidung mereka.Lina tersentak bangun ketika ia bermimpi dengan Nyonya Lusy. Dalam mimpi ia melihat Nyonya Lusy bersimbah darah lalu seseorang yang telah memberikan beberapa lubang tikaman di tubuhnya terlihat berlari menjauh. Di sebuah tempat yang agak gelap, sosok yang tidak diketahui gendernya itu terlihat melepaskan pakaiannya yang berlumur darah lalu memasukkan ke dalam kantong kresek berwarna biru.“Ooh, mengapa aku seperti melihat pembunuhan Nyonya Lusy? Dan kantong kresek berwarna biru serta baju di dalamnyaa...Lina mengucek-ngucek kedua matanya hingga pandangannya menjadi jernih. Lampu bertenaga 5 watt yang menerangi kamar itu, cukup bagi Lina untuk melihat dengan jelas ke dua anaknya yang tertidur lelap.Fitri berada di samping kanannya dan Hasan di samping kirinya. Semenjak suami Lina meninggal dunia,
Menjelang siang di ruang kerja Tuan Morat.“Aku tidak menyangka hidupmu akan berakhir dengan setragis ini, sayang. Ooh, dulunya aku berharap, kamu akan lebih bahagia hidup tanpa aku. Hidupmu akan lebih sempurna dan mendapatkan cinta yang seutuhnya. Tapiii....Tubuh Tuan Morat sedikit membungkuk ke depan. Ia tumpukan sikunya di atas meja dan tangannya itu menopang wajahnya yang menoleh agak ke samping kiri. Sementara itu sebelah tangannya lagi tetap memegang selembar foto. Nanar matanya menatap seraut wajah disana.Tuan Morat yang biasa terlihat berwibawa dan cool, tapi di dalam kesendiriannya ternyata ia juga manusia biasa yang tidak luput dari duka.Dua rongga mata Tuan Morat membasah. Netranya mengaca lalu membentuk anak sungai kecil yang kini mulai menuruni wajah tuanya.“Percayalah sayang... aku pasti akan menuntut orang yang menyakitimu dengan seberat-beratnya. Agar kamu tenang di alam sana dan menungguku agar kita kembali bersama.” Wa
Tuan Fidel sudah menunggu dari tadi, Bu!” Disti melapor ketika Janeta baru saja memasuki kantornya. Gadis itu baru saja diterima sebagai karyawati yang bertugas menerima tamu perusahaan.“Oh ya. Dimana dia?” tanya Janeta tanpa memperlambat jalannya yang memang terbiasa cepat. Disti agak setengah berlari mengikuti langkah wanita bertubuh tinggi itu. Suara tumit sepatu Disti berirama teratur menaiki anak tangga.“Di ruang tunggu, Bu!” jawab Disti berusaha membarengi langkah Janeta.“Hm..” gumam Janeta singkat saja. Ia sudah berada di lantai atas dan siap masuk ke ruangannya. Disti berhenti di depan pintu agak takut melihat sikap dingin bos-nya itu. Ia nampak bingung apakah harus mempersilahkan Tuan Fidel masuk ke ruang Janeta atau tidak. Sebagai karyawati baru, Disti belum memahami sifat atasannya.“Si Bos gayanya santai tapi orangnya cuek banget.” Disti membathin dalam hati. Ia menggigit ujung kukunya sem
“Desas-desus itu sudah berkembang sangat santer, Ndan!” seorang polisi berpangkat Briptu melapor kepada seniornya yang berpangkat lebih tinggi.“Hm..!” Sang senior bergumam sambil berbarengan langkah dengan yuniornya itu.“Siapkan tim untuk melakukan penyelidikan ulang! Kesimpulan korban bunuh diri baru kesimpulan awal yang berdasarkan hasil otopsi Dokter dimana tidak ditemukannya tindak kekerasan ditubuh korban.”“Siap Ndan!”“Dan jika memang ada temuan baru yang mengacu pada kejanggalan kasus ini, maka kita harus meresponnya sesegera mungkin!”“Siap Ndan!”Setelah menerima beberapa arahan lalu anggota polisi yang lebih yunior memberi hormat kepada seniornya itu. Lalu ia bersama beberapa orang anggota lainnya mulai merangkak untuk mencari informasi seputar kematian Pak Warno yang terjadi di daerah hukum tempat mereka bertugas.“Ada apa kok banyak polisi datan
“Selamat! Katanya kalian akan menikah.” ucap Janeta dibarengi senyumnya.“Terima kasih, Kak!” sahut Darna juga tersenyum.Mereka berdua lalu saling melepaskan jabatan tangan.“Aku turut senang karena Ratih telah menemukan jodohnya. Apalagi orang sekampung sendiri, tentu kalian sudah mengenal satu sama lainnya.” ucap Janeta.Darna kemudian duduk disini kanan Ratih. Kini Ratih berada di antara Janeta dan Darna.“Makasih Kak. Ratih juga doain agar Kak Janeta juga berjodoh dengan Kang Cecep. Orangnya sama baiknya.” sahut Ratih.Ucapan Ratih membuat Darna sedikit tercengang. Tapi itu hanya beberapa saat, lalu kemudian dia senyum-senyum sendiri. Sedangkan Janeta hanya tersenyum simpul. Malu juga diledekin oleh Ratih.“Kang Darna kok senyum-senyum sih?”“Enggak Ratih, Kang Darna cuma ingat beberapa hari yang lalu saat Kang Darna datang minta persetujuan pada Kang Cecep. Kang Cecep teng
Sesampai di kantor polisi, Janeta langsung diamankan ke dalam sel tahanan. Hanya dirinya sendiri saja di sana. Itu menunjukkan bahwa tingkat kejahatan di wilayah itu sangatlah rendah. Warga kampung sana sangat takut melanggar hukum. Dan kematian Pak Warno yang terdengar ganjil adalah kasus yang belum pernah terjadi di desa itu. Oleh karena itu lah mungkin yang menyebabkan banyak pihak sedikit lalai dan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa kematian Pak Warno hanya kecelakaan saja atau paling tinggi bunuh diri. Karena memang tidak ada bukti kekerasan yang ditemukan di tubuh korban selain edema paru-paru yang disebabkan oleh banyaknya cairan yang memenuhi organ vital pernafasan tersebut. Kondisi itu mengakibatkan epiglotis menutup saluran pernafasan dan menyebabkan kematian. Hanya itulah yang disimpulkan sebagai penyebab kematian Pak Warno.Treeeng ..Pintu tahanan dibuka setelah sekitar dua jam lebih Janeta berada di sana. Dua orang petugas menggiring Janeta menuju
“Bu Asiiih....!”Janeta berlari ke jeruji besi yang mengurung Bu Asih. Bu Asih tengah duduk di lantai ruang tahanan.“Mengapa mesti Bu Asih yang menggantikan saya di sini, Bu?”Bu Asih berdiri di dari tempat ia duduk lalu berjalan mendekati Janeta yang berdiri di luar ruang tahanan. Tangan Janeta mencengkram erat besi-besi yang mengurung Bu Asih seakan ingin ia patahkan untuk membebaskan wanita itu.Ratih dan Cecep serta Bu Wati hanya terpaku membisu. Mereka berbaris berjejer di belakang Janeta. Mata mereka sembab dan kini pun masih basah. "Memang Ibu yang seharusnya berada di sini Neng. Ibu yang telah membunuh Pak Warno, bukan Neng." jawab Bu Asih tersenyum sambil menggenggam tangan Janeta yang ia julurkan di antara besi bulat berwarna hitam.“Taa..tapi mengapa Buu? Mengapa Ibu harus melakukan semua ini?”Bu Asih menghela nafas panjang. Ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Janeta. Kedua pandangan matanya ia tumbukkan ke lantai ruang tahanan.
“Jaa...jadi Ratih sudah menyerahkan pakaianku itu kepada polisi?” gumam Abbas geram.“Ibunya akan masuk penjara, karena Bu Asihlah yang mendorong Pak Warno masuk ke dalam sumur. Aku hanya bertugas mengamankan anjingnya saja.” Sambung Abbas kembali bergumam. Tanpa sadar ia telah membuka semua rahasia pembunuhan Pak Warno.“Apaaa...? Bi Asih yang membunuh Pak Warno?” Kali ini justru Cecep yang terkejut. Ia mendekati Abbas lalu mengguncang bahu anak muda itu tanpa memperdulikan sepotong kayu yang masih dipegang oleh Abbas. Cecep seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Abbas.Wira hanya terpana mendengar cerita Abbas. Ia tidak cukup mengerti dengan percakapan Cecep dan Abbas. Sementara itu Bik Imah yang juga sudah berada di sana hanya menunduk resah. Sekali-kali ia melirik ke arah Cecep.“Siapa sebenarnya laki-laki ini?” tanya Bik Imah dalam hati.“Bi Asih? Apa kamu mengenal perempuan ya
Batu yang cukup besar tempat Abbas dan Wira duduk berjuntai dipayungi sebatang pohon besar yang cukup rindang. Daun-daun pohon itu melindungi keduanya dari sengatan matahari yang sudah mulai naik.Namun tanpa disadari mereka berdua, ada sesosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar itu. Ia tengah mendengarkan percakapan Abbas dan Wira.“Lalu apa yang kamu dapatkan dari kebodohanmu ini, Abbas? Apakah ini membuatmu kaya raya?” Agak sedikit kesal Wira bertanya kepada Abbas.Kembali Abbas menunduk. Dan kali ini malah semakin dalam. Lalu ia menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan berulang kali.“Yang Abbas dapatkan malah pengkhianatan. Abbas ternyata hanya diperalat oleh mereka.” Kali ini intonasi suara Abbas cukup keras. Tangannya terkepal.“Sudah kuduga!” jawab Wira lesu.“Paman!”“Ya..” Wira menyahuti keponakannya.“Ternyata Salma adalah selingkuhan Tuan Fidel.”“Tu.. Tuan Fidel siapa?” terbelalak mata Wira bertanya kepada Abbas.“Tuan
Kedua lelaki itu dipersilahkan Janeta untuk membersihkan badannya. Nampaknya mereka berdua memang membawa pakaian ganti hingga Janeta tidak perlu repot-repot memikirkan masalah itu.Janeta menyiapkan beberapa hidangan di meja makan. Dirinya yakin kedua orang tamunya itu tidak makan dengan teratur beberapa hari ini.“Maaf kedatangan kami telah membuat Neng sibuk.” ucap lelaki berpeci yang kini telah merubah panggilannya terhadap Janeta. Mungkin dia sudah mulai merasa akrab. Sedangkan Gunawan terlihat hanya terdiam di atas kursi rodanya. Pasti pikiran lelaki paruh baya itu masih tertuju kepada Salma putrinya yang kini sedang menjalani proses hukum di kantor polisi. Janeta dapat memahami kegundahan hati Gunawan. Mereka bertiga kini sudah berhadapan di meja makan milik Janeta. Janeta melemparkan senyuman kepada kedua lelaki itu.“Silahkan dinikmati hidangan seadanya, Pak!” ucap Janeta. Di atas meja sudah tertata rapi semangkuk besar nasi, telur dadar dan tumis bayam serta samba
“Tolong Pak! Jangan bawa Anak saya. Jika Anak saya di penjara, siapa yang akan merawat dan memberi saya makan, Pak!” seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda terus memohon kepada polisi yang akan membawa Salma ke kantor polisi. Sedangkan seorang gadis juga duduk di atas kursi roda karena sebelah kakinya sudah di amputasi. Ia menunduk dan menangis dan mencoba menggapai bahu Gunawan yang tak lain adalah ayah kandungnya.Selama ini Salma memang di paksa mencari uang oleh ibu tirinya yang serakah. Sedangkan ayahnya cacat karena kecelakaan di tempat kerja. Mau tak mau Salma harus mencari uang sebanyak mungkin bagai mana pun caranya. Kalau tidak, ibu tirinya tidak akan mau mengurusi ayahnya dan juga mengancam akan membuang adik-adiknya. Walau pun berbeda ibu, Salma sangat menyayangi kedua adiknya buah perkawinan ayahnya dan ibu tirinya tersebut.Salma kini hanya bisa termenung. Ia menyadari bahwa mungkin saja hidupnya akan berakhir di penjara karena kejahatan y
“Syukurlah Anda sudah sehat kembali, Nyonya!”“Terima kasih Tuan Morat. Anda sudah banyak membantu saya.” jawab Nyonya Shania tersenyum kepada Tuan Morat yang satu-satunya orang yang diberi izin untuk menemuinya. Hal itu karena Tuan Morat merupakan kuasa hukum Nyonya Shania. Jadi ia sangat mempunyai kepentingan untuk bertemu dengan kliennya guna menanyakan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Nyonya Shania.“Sebenarnya apa yang terjadi, Nyonya? Sudah bisakah Nyonya mengingat semua kejadian sebelum Nyonya jatuh pingsan karena meminum racun yang mematikan itu?” Tuan Morat mulai mengorek keterangan dari Nyonya Shania sambil menyalakan rekaman di ponselnya.“Pagi itu saya bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Saya menunggu kehadiran Janeta yang datang sudah terlambat.”“Sekitar jam berapa itu, Nyonya?” tanya Tuan Morat.“Sekitar jam 8.30 pagi.” jawab Shania sambil mengingat-ingat kejadia
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d