Semenjak Tito tau jika Syifa juga memiliki perasaan yang sama, pria itu kini jauh lebih perhatian dengan Syifa, sekarang Tito lebih rajin antar jemput. Meskipun sebelum juga melakukan hal yang sama, tapi kali ini, ia tidak pernah absen sesibuk apapun Tito. Dia akan meluangkan waktunya untuk gadis itu. Padahal Syifa tidak pernah meminta untuk di antar jemput, gadis itu paham dan tau bagaimana sibuknya Tito. Belum lagi jika masalah Kakaknya tentang mantan suami dari Kakak iparnya itu datang, Tito ikut sibuk membantu. Ketampanan yang Tito miliki cukup membuat anak gadis di kampus Syifa menjerit histeris, bagaimana tidak. Dengan mobil mewah setelan jas, atau kadang kemeja yang di gulung sampai siku, sudah mampu membuat terpesona. Hal itu cukup mengganggu dan membuatnya kesal, alasan itu juga Syifa menyuruh Tito tetap di dalam mobil. Tapi sayangnya Tito tidak mengindahkan permintaan gadis itu, ia tetap keluar dengan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. Kekesalan Syifa kia
Perlakuan Tito terhadap Syifa semakin hari, semakin manis. Contohnya hari ini, ketika keduanya sedang berada di restoran usai dari kampus Syifa. Tito begitu perhatian, mulai menyuapi daging yang pria itu potongkan untuk Syifa, atau di saat ujung bibir gadis itu terdapat saos, maka dengan lembut ujung jari jempol pria itu mengusap sudut bibirnya lalu memasukkan ke dalam mulutnya sendiri. Bagaimana tidak menjerit dalam hati, Syifa begitu tersentuh dan senang semua yang di lakukan Tito untuk dirinya sangat membuatnya bahagia. "Mas," panggil Syifa di sela mereka menikmati makan siangnya. "Iya?""Boleh aku tanya sesuatu?""Boleh, tanya soal apa?"Syifa berdeham sejenak mengatur kata yang pas. "Kenapa Mas bisa suka sama aku sampai sayang, lebih dari seorang adik?" mengulas senyum Tito menaruh sendoknya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Mas juga nggak tau, perasaan itu muncul gitu aja sejak pertama kali kita ketemu beberapa tahun yang lalu." aku pria itu, memandang Syifa teduh. Syifa y
Semenjak Bu Hasniah benar benar pulang kampung, Dafa merasa tidak tenang saat pergi ke resto meninggalkan istrinya di rumah. Meskipun sudah ada Mbo Darmi, tetap saja rasa khawatir jika Rama datang terus menghantuinya. Paling lama Dafa bertahan di resto hanya dua puluh menit, bahkan pernah hanya sampai lima menit, banyak karyawannya yang bertanya-tanya, kenapa bosnya itu tak pernah bisa satu hari full jika datang. Ingin bertanya tapi sadar diri, tidak boleh ikut campur urusan orang, apalagi ini adalah bos mereka, yang ada nanti menimbulkan masalah dan mereka bisa di pecat. Sudah bersyukur Dafa tidak pernah marah atau protes jika mereka melakukan kesalahan dalam bekerja, Dafa type kalem namun tegas jika bersama anak buahnya. "Assalamu'alaikum," salam Tito yang masuk begitu saja kerumah Dafa. "Wa'alaikumsalam, eh den Tito," jawab Mbo Darmi yang sibuk di dapur membuat sarapan. Tito jika berada di rumah Dafa sudah seperti berada di rumah sendiri, seperti saat ini pria itu mengambil
Dengan langkah besarnya Tito datang ke resto milik Dafa, tanpa mengetuk pria itu langsung masuk keruangan Dafa. "Astagfirullah_ Tito. Masuk salam dulu bisa kan." semprot Dafa yang kesal karena sahabatnya itu masuk begitu saja. "Nggak ada waktu buat basa-basi.""Astagfirullah, salam itu kewajiban woy, harus di lakukan." Menghela napas sejenak Tito berusaha sabar. "Bukan gitu maksud gue Dafa, ini ada yang lagi urgent. Lo ngerti nggak sih!" kini Tito yang marah marah. "Apaan?"Tito memberikan ponselnya pada Dafa, yang langsung di baca oleh pria itu. "Brengsek!" makian pun keluar dari mulut Dafa usai membaca pesan bernada ancaman. "Rama semakin di biarin semakin menjadi. Berani-beraninya dia ngancem adik gue!" desis Dafa marah. "Gue sudah nyuruh Ian untuk lacak nomer ini, setelah menemukan orangnya kita temui dia dan tanya keberadaan si brengsek Rama itu. Yang jelas saat ini, lo semakin waspada dan lindungi istri lo." ujar Tito panjang lebar. Dafa berdiri dari kursi. "Gue mau pulan
"Maaf ya, Mas nggak langsung ngater kamu pulang. Tunggu kamu tenang dulu baru nanti Mas anter, takutnya Dafa mikir yang Nggak-nggak sama Mas,""Ya Mas, nggak apa-apa kok aku ngerti," jawab Syifa yang menyusul Tito duduk di sofa. Tito memang sengaja mengajak Syifa ke kantornya terlebih dahulu sebelum mengantar gadis itu pulang. Dia tak ingin, Dafa berpikir negatif karena Syifa masih terlihat syok akibat kejadian tadi. "Kamu mau pesan apa? Minum atau makan? biar Mas pesan kan OB, Mas mau ada kerjaan soalnya.""Nggak usah, eh. Minum deh terserah," Tito terkekeh pelan mengusap kepala Syifa. "Oke, kalau gitu Mas kesitu dulu ya, kamu nggak usah takut. Mas nggak akan macam-macam. Kamu istirahat aja dulu di sini." pesan Tito sebelum akhirnya pria itu beranjak dan kini sudah duduk di kursi kebesarannya. Sebelum mengerjakan pekerjaannya, Tito menelpon OB untuk membelikan minuman dan beberapa cemilan. Dalam sekejap pria berkemeja biru dongker tersebut sudah sibuk. Syifa yang duduk anteng m
Derap suara langkah kaki menggema di koridor rumah sakit, dan orang itu adalah Tito bersama Syifa, keduanya kaget saat mendapat kabar dari Mbo Darmi kalau Ayana masuk ke rumah sakit. "Mas Dafa!" panggil Syifa saat tiba di hadapan Kakaknya itu. Hati Syifa mencelos melihat bagaimana rapuhnya sang Kakak, mata sebab oleh air mata, ada tatapan khawatir dan ketakutan yang gadis itu tangkap dari sorot mata Dafa. Tak pernah Syifa melihat kakaknya serapuh ini, tapi ia pernah mendengar dari Ibu Hasniah kalau dulu Dafa sangat terpuruk dan begitu rapuh ketika mereka kehilangan ibu kandungnya, bisa ia bayangkan bagaimana dulu Dafa. "Sebenarnya apa yang terjadi Daf?" tanya Tito mewakili Syifa yang juga ingin bertanya dengan hal yang sama. Dafa tak hanya menggeleng pelan, bibirnya bergetar. "Gue nggak tau, gue lihat Aya sudah jatuh di teras depan," jawab Dafa akhirnya meskipun pelan dan serak. "Mas sabar ya, kita berdoa aja semoga Mba Aya sama bayinya nggak kenapa-napa," ucap Syifa yang ikut d
Berhenti di tempat gelap dan sepi, Tito memikirkan mobilnya di dekat salah satu gang kecil, pria itu keluar dan tidak lama Dafa ikut turun dan menghampiri sahabatnya itu. "Lo yakin Rama di sini?""Yang Ian bilang sih di sini," jawab Tito sambil mengedarkan pandangannya melihat area tempat tinggal yang masih di domisili hutan dan perkebunan. "Kayaknya di sana," tunjuk pria itu ke satu rumah di salah satu gang kecil tadi. Tanpa banyak kata, Dafa melebarkan langkah kakinya ke tempat yang di tunjuk Tito, tiba di sana ada suara seseorang sedang mengobrol. Dafa memberi kode ke Tito untuk berhenti dan mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan, Bersandar di dinding keduanya mulai menguping. "Udahlah Bos, paling perempuan itu nggak apa-apa, jangan terlalu khawatir.""Iya Bos, bukannya ini bagus ya? Kalau perempuan itu kegugurankan yang untuk Bos juga.""Gue lagi mikir keadaan Aya, persetan dengan bayi itu. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Ayana gimana?" Rama panik dan khawatir pada
"Selamat pagi," sapa dokter yang masuk kekamar Aya bersama suster di belakangnya. "Pagi Dok," balas Dafa menggeser posisinya, memberi ruang pada dokter tersebut untuk memeriksa keadaan istrinya. "Bagaimana dok?" tanya Dafa setelah dokter itu selesai memeriksa. Ada senyum yang terlihat dari sudut bibir sang dokter. "Alhamdulillah, kondisinya sudah stabil dan semakin membaik, tapi tetap kita masih harus menunggu sampai Bu Aya siuman. Agar tau apa yang di rasakan oleh istri anda.""Alhamdulillah," gumam Dafa meraup wajahnya, ada rasa lega meskipun harus menunggu lagi. "Baiklah, kalau gitu saya permisi dulu, masih ada pasien lain yang harus saya periksa.""Iya Dok, terima kasih." dokter itu mengulas senyum dan mulai keluar dari ruangan itu. Dafa membungkuk, memberikan kecupan di kening Aya lama, memandangi wajah damai istrinya yang sangat cantik. "Cepat bangun sayang, aku kangen." gumam Dafa di sisi kanan perempuan itu, ia mengusap pipinya dengan lembut sangat berharap Aya segera me
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m