Dafa sengaja mengajak Aya hanya mengelilingi desa tempat dia dilahirkan dan di besarkan, pria itu menunjukkan tempat-tempat di mana ia bermain, sewaktu pulang sekolah, bahkan ia juga menunjukkan sekolah SD, SMP, sampai SMAnya dulu.
Aya begitu senang mengetahui kehidupan masa kecil suaminya, namun saat Dafa menanyakan kehidupannya di saat ia masih kecil.
Aya terdiam, apa yang harus di ceritakan dari kisah menyedihkannya, dari dia kecil. Sudah banyak kejadian yang merubah kehidupannya hingga tumbuh besar seperti ini.
Mulai dari kecelakaan yang membuatnya tak bisa bicara lagi, beradaptasi dengan orang-orang yang selalu memandangnya aneh, dan ketika remaja di saat dirinya sudah menerima takdir yang tuhan berikan, ia harus menderita lagi ketika kedua orang tuanya di ambil dari sisinya.
Menyadari kesalahannya, Dafa menghibur dan berulang kali meminta maaf, sungguh dia tidak bermaksud mengingat masa lalu istrinya.
Dia hanya ingin sedikit lebih tau tentang
Masuk kedalam apartemen Dafa, Aya masih diam berdiri di belakang pintu, perempuan itu memperhatikan ruangan yang hampir sama dari apartemen suaminya dulu.Bedanya hanya letak dan perabotan yang berbeda, di sini juga ada dua kamar. Namun di apartemen Dafa kamar tamu di gunakan ruangan sholat oleh pria tersebut."Kenapa? Kurang nyaman ya?" tanya Dafa kala melihat istrinya hanya diam di dekat pintu.Aya menggeleng menghampiri Dafa. "Nggak apa-apa Mas, masih nggak percaya aja. Dulu kita bersebelahan, nggak taunya sekarang aku justru tinggal di sini." kata Aya berbahasa isyarat.Dafa menghela napas, mengangguk membenarkan ucapan Aya, ia merangkul pundak Aya memandang isi apartemennya."Kamu benar sayang, dulu kalau mau ngobrol sama kamu, aku harus keluar menuju balkon itu." tunjuk Dafa pada pintu kaca menuju balkon."Yuk Ah, istirahat. Pasti kamu capek kan?" Aya mengangguk tangannya menggeret koper mengikuti Dafa yang pergi lebih dulu ke kamar me
Aya yang sedang mencuci piring, terkejut saat Dafa memeluknya dari belakang. Namun bukan pelukan biasa seperti pria itu lakukan, napas Dafa pun memburu.Penasaran ada apa pada suaminya, Aya mencuci tangannya dan berbalik badan, mengerutkan kening. Seolah bertanya ada apa, Dafa memandang Aya, menangkup wajah istrinya.Aya merasa ada sesuatu yang terjadi pada suaminya, ada tatapan cemas dan ketakutan di perlihatkan oleh Dafa.Dafa memeluk Aya erat, seolah takut jika Aya akan pergi, pria itu menghirup aroma tubuh sang istri agar perasaannya jauh lebih baik.Aya sendiri membiarkan Dafa melakukan apa yang pria itu lakukan. Dia tidak ingin bertanya ataupun menolak atas perlakukan Dafa, dia sangat yakin jika ada sesuatu yang terjadi.Dafa sendiri memang merasa gelisah dan takut, ia gelisah karena melihat kondisi Rama yang memperhatikan. Dia takut Aya yang melihatnya akan merasa kasian dan kembali pada mantan suaminya itu.Meskipun Aya sudah seutuhn
Pagi-pagi sekali Aya sudah bangun, setelah sholat subuh bersama Dafa. Perempuan itu tak tidur kembali, ia lebih memilih membersihkan apartemen suaminya.Mungkin karena Dafa tinggal sendiri dan dia juga seorang pria makanya. Apartemen tersebut sedikit tidak terurus, ada debu di bagian-bagian barang.Seperti rak buku, meja televisi, Dan juga guci-gucinya. Dafa sebenarnya tidak ingin Aya mengerjakannya, tapi karena paksaan dan ke keras kepalaan sang istri akhirnya Dafa mengizinkannya, namun dengan syarat jangan terlalu lelah.Jika sudah capek Aya harus segera menghentikan aktivitasnya, biarkan nanti dia menyewa cleaning service.Pukul setengah tujuh Aya baru saja selesai membuat sarapan, sementara Dafa masih berada di kamar sedang bersiap-siap karena akan pergi ke Cafenya.Sudah hampir dua minggu dia tidak mengunjungi tempat usahanya itu, apalagi sebentar lagi dia harus pergi ke luar negeri.Dia ingin sebelum pergi, Cafenya ada yang mengurus ag
Sore hari langit terlihat begitu cerah, secerah hati seorang pria yang sepanjang hari ini tak melunturkan senyumannya dari wajah tampannya, siapa lagi kalau pria itu bukan Dafa. Pria tersebut terlihat begitu bahagia, bahkan dia kerap kali mendapatkan ejekan dari para karyawannya, namun biasanya Dafa akan marah jika ada anak buahnya yang suka menggodanya. Lain kali ini, dia tampak salah tingkah dan terlihat semburat merah di pipinya. Sungguh seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, tapi dia tak peduli karena memang saat ini Dafa sangat bahagia dan sedang di mabuk cinta.Dafa yang saat ini sedang berada di jalan menuju rumah, namun dia berniat untuk mampir membelikan hadiah kecil untuk istrinya.Dafa memarkirkan kendaraannya lalu menaruh helm di atas tangki motor, lalu masuk kedalam sebuah toko."Selamat datang di toko kami, ada yang bisa kami bantu." sambut seseorang di depan toko tersebut.Dafa hanya mengangguk sekali dan berjalan mengelilingi toko itu
Dafa bisa bernapas lega, sebab hingga saat ini dia berhasil membuat Aya dan Rama tidak bertemu, dan saat ini ia bersama Aya sudah berada di bandara untuk pergi ke negara inggris.Nanti setelah dari luar negeri pun dia berharap tidak akan bertemu, karena setelah dari Inggris Dafa mengajak Aya tinggal di rumah yang sudah di persiapkan oleh Tito seperti yang dia harapankan.Meskipun tidak terlalu besar dan mewah, paling tidak dia sudah berhasil membeli tempat tinggal dari hasil kerja kerasnya.Dafa menoleh memandang Aya yang hanya diam meremas tangannya, pria itu meraih tangan Aya lalu ia genggam memberi senyum terbaik untuk istrinya."Mas, perjalanan kita ke sana berapa lama?" tanya Aya menggerakkan satu tangannya."Sekitar lima belas atau enam belas jam," jawabnya, Aya tampak mendelik tidak menyangka selama itu.Dia tertunduk memandang kosong kearah lantai, selama itukah ia berada di atas awan. Selama itu pula rasa takutnya akan datang.
Tiba di Apartemen yang di sewa Tito, Ayana terpana dengan bentuk interiornya, Apartemen tersebut lebih besar dan lengkap di bandingkan apartemen milik Dafa yang ada di Jakarta."Kenapa?" tanya Dafa kala melihat sang istri diam di dekat pintu."Oh.. Tidak Mas, aku hanya kaget kenapa apartemennya mewah dan besar sekali?" Dafa mengulum senyum merangkul Aya dan di ajak duduk di sofa."Pemilik apartemen ini kebetulan teman dekatnya Tito, aku juga beberapa kali ketemu. Dia ngasih harga cukup murah, lagian semua sudah di tanggung karena aku datang kesini juga mewakili negara kita," jelas Dafa yang di angguki mengerti oleh Aya."Kira-kira Mas nanti akan membuat masakan apa?"Pria itu menaikkan bahunya. "Belum tau, soalnya tunggu instruksi dari mereka," Dafa merebahkan kepalanya di pundak Aya."Aku lelah, aku tidur sebentar ya?" Aya mengangguk membiarkan Dafa tertidur di pundaknya.Perempuan itu memperhatikan wajah damai Dafa yang sudah terlel
Sudah hampir dua minggu mereka tinggal di kota Inggris, dan dua minggu pula Aya selalu sendiri di apartemen, kadang ia berpikir. Jika tau dirinya sendiri di sini, lebih baik dia tetap tunggal di Jakartalelahnya, mengurus cafe atau restoran. Sungguh ia merasa kesepian dan bosan, Dafa selalu pulang larut malam, tidak sempat mengobrol ataupun membahas pekerjaan, ingin bertanya di pagi harinya. Aya tidak tega, sepertinya memang suaminya itu sedang sibuk. Terlihat dari raut wajah lelahnya. Tapi sampai kapan akan seperti ini, jika terus terusan seperti ini. Dia tidak betah. Malam ini Aya bertekad untuk menunggu suaminya untuk pulang, ia tak boleh ketiduran lagi. Dia sering sekali tertidur ketika menunggu Dafa pulang.Ayana berusaha terjaga ketika jam menujukan pukul sebelas malam, belum ada tanda tanda terdengar smartloockdoor nya berbunyi. Hampir saja Aya ketiduran, namun urung ketika mendengar pintu terbuka. Muncul Dafa yang terlihat melepas sepatunya. "Lho Aya, Kamu belum tidur? "
Hari ini Dafa moodnya sedang bagus, sepanjang perjalanan menuju tempat pelatihan. Ia terus tersenyum, menyapa orang orang yang ada di sana. Hari ini dia yakin tidak akan gagal lagi, dia sudah banyak belajar masak masakan Indonesia dari Aya, Dafa bertekad untuk menyajikan makanan yang luar biasa. Dia juga tidak ingin mengecewakan Ayana, wanita itu sudah membantunya banyak, ada rasa sesal dari dirinya tak bercerita dengan Aya dari awal. Mungkin jika bercerita dengan istrinya, dia takkan akan kesulitan dan mendapatkan teguran terus menerus dari sang kepala Chef. "Selamat pagi," sapanya penuh riang. "Pagi," serempak orang orang yang di sana menjawab, namun dengan wajah bingung dan saling pandang."Kenapa dia? mukanya cerita gitu, kemarin masih di tekuk. Apalagi habis kena omelan Kepala Chef." bisik salah satu dari mereka. "Nggak tau, habis menang lotre kali," jawab asal lawan bicaranya lalu terkikik geli. "Ciee,, semangat banget, padahal kemarin dapet ceramah panjang dari kepala Ch
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m