Aku pun kembali membeliak terkejut. Pipiku saat ini sudah basah oleh air mata yang kian mengalir deras. "Bawa saya menemui pelaku itu," pintaku. Napasku terasa kian sesak di dalam dada. Sungguh semakin lemas."Mba harus tenang terlebih dahulu. Tetap tenang." Reyno berusaha menenangkanku."Tapi saya ingin segera melihat pelaku itu, Rey." Aku memaksa."Pelakunya tak akan lari kemana-mana. Tenang saja dulu." Reyno masih menahanku. "Atur napas dahulu, Mba," lanjutnya.Aku yang masih menangis sendu, akhirnya menuruti perintah Reyno. Aku segera mengatur napas yang terasa sesak di dada.Berapa menit berlalu ketika air mata sudah kering dan napas kembali terasa lega. "Saya sudah siap. Bawa saya menemui orang itu," pintaku lagi pada Reyno."Baik, saya antar sekarang," kata Reyno kali ini mengiyakan.Tak kusangka bocah yang biasanya penuh dengan gurauan itu, kali ini terlihat serius dan dewasa. Dia menuntun langkahku menuju sebuah sel tahanan dimana di dalamnya terlihat wanita berseragam tahana
Satu hari berlalu setelah semuanya terbongkar di kantor polisi kemarin. Di bawah teriknya matahari, aku menekuk lutut di atas pusara Mesya. Mendoakan anakku yang kini sudah berada di sisi Tuhan. Selesai mengirimkan doa, aku pun menabur bunga di atas pusara Mesya.Tak terasa air mataku kembali menetes, tapi meski pun begitu aku segera menghapusnya agar tak sampai menetes ke tanah."Mey, maafkan Mama ya. Selama ini Mama memang belum menjadi orang tua yang baik buat kamu. Mama tak selalu ada di sisiku. Mama tak selalu mendekapmu di sepanjang waktu. Mama sudah mengabaikanku. Maafkan Mama, Mey." Ketika mengucapkan kalimat itu, aku sedang susah payah membendung kepedihan yang akan kembali tumpah. Aku berusaha untuk tak kembali meneteskan air mata. Sekuat tenaga aku menegal semua duka dan lara."Kamu yang tenang ya, Mey. Mama akan kuat menghadapi semua ini. Terima kasih karena kamu sudah menjadi anak yang baik selama ini. Kamu anak yang penurut, Mey. Kamu tak pernah membantah perintah Mama.
"Assalamualaikum!" Suara bariton membuatku dan Reyno serentak menoleh bersamaan.Kulihat Bastian sudah berdiri di sana. Mengucapkan salam seraya mengukir senyum. Dia berdiri di ambang pintu yang memang terbuka lebar."Waalaikumsalam," balasku dengan isi dadaku yang masih berdebar resah."Ada tamu ya." Bastian melirik sinis ke arah Reyno."Iya, Bas. Masuk saja." Aku pun mempersilahkan Bastian masuk. Dia masuk lalu duduk di sebelah Reyno."Tari, aku mau bicara penting dengan kamu," kata Bastian dengan langsung."Bicara saja, saya siap mendengarkan." Reyno menimpali seraya menaikkan sebelah kaki kiri ke paha kanannya. Terlihat berani dan acuh pada Bastian."Saya tidak punya urusan dengan kamu ya! Harusnya kamu keluar dari rumah ini, saya mau bicara sama Tari," tukas Bastian terlihat geram pada Reyno."Lah maaf, Om. Anda ini siapa, berani-beraninya mengusir saya." Reyno membalas ucapan Bastian."Eh kamu siapa sih? Gak sopan kamu ya." Bastian terlihat semakin geram pada Reyno."Tari, suru
Hari ini tepat hampir satu bulan setelah penangkapan Gina. Gina telah melewati beberapa proses sidang, dan aku selalu hadir mengikuti proses jalannya persidangan.Seperti hari ini, untuk yang kesekian kalinya aku duduk di kursi yang rasanya terasa panas ketika menghadiri sidang keputusan atas perkara kematian Meysa.Isi dadaku berdebar resah. Menunggu keputusan yang sudah dinantikan dari jauh-jauh hari. Di samping kananku, turut duduk menemaniku yakni Bu Yunita dan Bastian. Sementara di samping kiriku, Reyno yang selalu memaksa ingin menemaniku. Aku sudah beberapa kali menghindari Reyno, tapi pria berambut gondrong itu tak bisa kuhindari. Dia terus saja menagih janji, namun aku beralasan tak mau membahas masalah itu dahulu sebelum masalah Gina selesai. Beruntung Reyno mau paham. Aku akan memikirkan hal itu nanti saja setelah semuanya selesai.Hingga tiba pada waktu yang sudah ditunggu-tunggu sedari tadi. Hakim pun membacakan hasil keputusannya. Gina ditetapkan bersalah dengan semua
Masih di ruangan kantor. Aku dan Reyno masih duduk di tempat yang sama. Kali ini Reyno tak menampilkan wajah bergurau. Padahal biasanya dia selalu bercanda."Rey, kita sama-sama tahu kalau kesepakatan kita hanya sebuah ucapan saja. Tak ada bukti apa-apa, termasuk hitam di atas putih. Kamu tidak bisa memaksa saya. Saya tak ada niat menikah dalam waktu dekat." Aku kembali memulai percakapan .Namun seketika sebelah sudut bibir Reyno nampak ditarik ke samping. "Jadi Mba Tari akan tetap menghindari saya? Akan tetap mengingkari janji?" "Nggak. Bukan seperti itu maksud saya," elakku. Aku memang bingung harus membuat alasan apa.Reyno pun nampak langsung merogoh saku celananya. Dia langsung mengambil ponselnya kemudian menyodorkan layar benda pipih itu kehadapanku. Segera, Reyno memutar rekaman audio suaraku, ketika aku mengucapkan janji dan kesepakatan bersamanya tempo lalu.Deru napas langsung terasa lemas. Rupanya tanpa sepengetahuanku, Reyno memiliki bukti rekaman percakapan kami berdua
Melihat Bastian menatap tajam wajah Reyno bagaikan singa yang hendak menerkam mangsa, seketika aku langsung berdiri di tengah-tengah keduanya. Menghalangi mereka berbuat sesuatu yang berlebihan."Stop!"Kedua tanganku berada diantara Bastian dan Reyno."Kalian tidak pantas beradu mulut di sini. Gak ada masalah yang mesti kalian ributkan sekarang," tegasku pada keduanya."Tapi Om ini tidak sopan, Mba." Reyno bersi kukuh."Heh, Bocah! Tutup mulut kamu ya! Masih berani panggil saya Om!" sentak Bastian segera."Sudah, cukup!" Aku sampai mengeraskan volume suara, guna menghentikan pertikaian mereka.Pandanganku teralih pada Reyno yang nampaknya tak bisa mengendalikan emosinya. "Rey, jika kamu menganggap Bastian lebih dewasa dari kamu, tolong hargai dia. Kamu mengalah dan pulang ya. Nanti kita akan bicara lagi di lain kesempatan," pintaku padanya."Tari, kamu gak perlu membela dia." Suara Bastian terdengar geram."Terima saja, Om. Saya memang pantas dibela oleh Mba Tari. Calon istri yang ba
Beberapa hari berlalu setelah adu mulut antara Bastian dan Reyno di ruanganku.Aku tak lagi melihat Bastian. Sahabatku itu tak pernah terlihat lagi datang ke ruanganku. Entah kenapa aku merasa ada yang berbeda ketika Bastian tak menemuiku.Aku berinisiatif menelepon Bastian duluan. Kusingkirkan rasa malu. Kutekan kontak bernama Bastian kemudian segera kutekan tombol berwarna hijau pada layar ponselku.Suara panggilan terhubung langsung kudengar ketika benda pipih milikku kutempelkan pada telinga. Namun, sambungan telepon dariku tak kunjung dijawab oleh Bastian.Isi dadaku dibuat resah. Apa Bastian benar-benar marah? Lalu, apa salahku?Tak gentar. Aku terus berusaha menelepon Bastian. Hingga pada percobaan ke lima kalinya, sambungan telepon dariku akhirnya dijawab oleh Bastian."Hallo!" sapa Bastian begitu singkat dari seberang sana.Aku menyeringai. Menghela napas lega setelah mendengar suara Bastian dari balik telepon."Hallo, Bas. Kenapa sulit sekali menghubungi kamu? Apa kamu benar
Aku mengakhiri sambungan telepon. Isi dadaku terasa panas bagai terbakar api yang menyala-nyala.Mengapa Tari terus saja memikirkan bocah tengil itu? Apalagi dia sampai membahas masalah pernikahan. Apa maksud keterangannya tadi? Tak bisa kubiarkan. Aku harus segera menemui bocah tengil itu. Namun terlebih dahulu aku menelepon seseorang yang biasa kumintai bantuan."Hallo, Pak Bastian. Ada yang bisa saya bantu?" Seseorang menyapaku dari balik telepon."Saya minta kamu mencari keberadaan Reyno saat ini. Saya akan menemui bocah itu sekarang," titahku pada pria suruhanku."Baik, Pak. Agar lebih tepat, saya minta gambar pria yang Pak Bastian maksud.""Baik saya akan kirim kebetulan saya mengetahui akun sosial medianya. Saya akan kirim poto Reyno padamu." Aku dengan yakin."Baik, Pak," balas pria suruhanku itu.Gegas kuturunkan ponsel pintarku dari telinga. Aku langsung mencari gambar wajah Reyno pada akun sosial medianya. Setelah berhasil kudapatkan, langsung kukirim pada orang suruhanku.
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria