Share

Bab 21 Raja Bohong

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Langkahku perlahan mendekat ke ruangan meeting, namun bersamaan dengan itu Ibu HRD lewat di depanku. Aku mengakhiri rasa penasaran, memutar balik langkah, kembali ke ruanganku.

Hari pertama kerja memang cukup menyibukan, ketika pukul tiga sore, aku sudah mengakhiri pekerjaan dan bersiap akan segera pulang.

Aku segera menaiki ojeg online menuju sekolahan Meysa. Aku harus menjemput putriku. Setelah memakan waktu beberapa menit, aku sudah sampai di dekat gerbang sekolah yang sudah sepi. Gegas kubertanya pada Satpam sekolah.

"Pak, apa Meysa masih ada di sekolah?" tanyaku pada Satpam sekolahan.

"Sudah dari setengah jam yang lalu, Bu." Satpam menjawab pertanyaanku dengan ramah.

Aku menepuk kening. "Ya Tuhan, aku terlambat. Langkah kaki terasa lesu setelah menyadari keterlambatanku.

Gegas aku menelepon Meysa. Kebetulan putriku telah kuberikan ponsel untuk komunikasi.

"Hallo, Mey. Kamu di mana?" Aku segera bertanya saat sambungan telepon terhubung dengan nomor Meysa.

"Iya, Ma. Maafkan aku. Ak
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
syukurlah sakit parah ancur lacur santi jdi kere jgn langsung mati siksa dulu sampi habis semua hartanya jdi kere baru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 22 Akan Kurebut Kembali

    Laura langsung berlalu setelah menjawab pertanyaanku. Ya sudah, aku sudah tahu kalau mantan suamiku memang pandai berakting. Biarlah dia dengan drama kebohongannya, berpura-pura sakit demi mendapat iba. Sementara aku, akan memulai lembaran baru dengan penuh perjuangan sebab semua kembali ke nol.Hari-hari selalu berjalan seperti biasanya. Pergi ke kantor dan antat emput Meysa di sekolah. Hingga di bulan ke 10 setelah perceraian, aku berhasil memiliki rumah yang harus kucicil selama lima belas tahun. Aku pindah ke rumah baru sebab tak mau berlama-lama menyusahkan Gina, meski pun mungkin sahabatku itu tak pernah merasa disusahkan.Sempat sulit melupakan kenangan pahit, tapi setelah sepuluh bulan berlalu, aku mulai menata diri melupakan semua kisah pilu pengkhianatan mantan suami dengan mantan pembantu."Selamat ya, Tar. Semoga betah di rumah baru ini." Gina terlihat turut bahagia atas rumah baruku."Iya, Tar. Aku juga turut senang." Bastian menimpali."Kalian sahabat baikku."Tak bisa m

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 23 Tiba-tiba

    Gegas kumengikuti langkah beberapa petugas medis yang masuk ke ruangan Dani. Di ruangan itu, Dani tengah dilakukan pertolongan. Napasnya terlihat seperti sesak. Dani seperti kesulitan bernapas.Sementara Santi yang duduk di samping Dani terlihat menangis sambil menggenggam pergelangan tangan Dani. Wanita itu memang sudah tak malu-malu sebab dia telah menjadi istri DaniCukup lama petugas medis melakukan bantuan pernapasan pada Dani. Aku turut sendu melihat keadaan mantan suamiku yang kesakitan. Tapi rasa sakit di dalam hatiku, melebihi sakit yang kini Dani rasakan."Ma, kasian sekali Papa." Meysa memeluk tubuhku tampak sendu dengan keadaan papanya. Aku hanya bergeming menyaksikan kesakitan Dani saat ini. Aku tak bisa berkomentar, bahkan sekedar memberi semangat pun terasa berat kusampaikan."Tenang, Mey. Papa kamu akan baik-baik saja." Hanya mampu menenangkan perasaan Mesya yang kini berada dalam dekapanku.Puluhan menit telah berlalu, suara isak tangis yang keluar dari mulut Santi se

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 24 Hari Yang Menyebalkan

    "Apa!" Bastian menoleh padaku. "Benarkah itu, Tar?""Ya enggak, Bas. Mana mungkin!" bantahku dengan tegas."Bohong!" Wanita di depanku masih bersi kukuh dengan tuduhannya. Ia langsung memainkan layar ponselnya. "Lihat ini!" Disodorkannya layar ponsel ke hadapanku dan Bastian.Pada layar ponsel wanita itu, diputarnya rekaman video semalam ketika pria tetanggaku datang dan memberikan hadiah padaku."Ini bisa saya jelaskan," bantahku segera."Jelaskan sekarang! Untuk apa suami saya datang ke sini malam-malam?! Barang apa yang suami saya berikan semalam?!" Wanita di depanku itu nampak semakin terbakar emosi."Saya tidak tahu tujuan suami Anda!" Aku segera mengambil barang berupa tas branded pemberian tetanggaku semalam. "Suami Anda memberikan barang ini dengan dalih salam perkenalan tetangga. Ambil barang ini kembali, karena saya tidak butuh. Satu hal lagi, jangan main tampar sembarangan ya, karena saya tidak terima ini. Silahkan pergi dari rumah saya sebelum saya berubah pikiran." Aku se

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 25 Ibu Presdir Yang Menyeramkan

    Ketiga wanita itu telah berlalu dari ruanganku. Lututku bergetar lemas. Resah rasanya dengan keputusan penguasa di kantor ini.Aku mengusap kening yang tiba-tiba berkeringat, padahal di ruanganku terdapat mesin pendingin."Mba Tari, kenapa? Kok melamun di ambang pintu begini?" Salah seorang karyawan yang kebetulan lewat di depanku bertanya sekedar menyapa."Tiba-tiba saja Ibu Presdir beserta asisten dan sekertarisnya mendatangi ruangan saya. Beliau marah ketika mendapati saya bermain ponsel saat jam kerja. Saya khilaf, saya memang salah," sesalku seiring hembusan napas yang lesu dari dalam dada."Setiap ruangan di kantor ini memiliki kamera pemantau, Mba. Apa pun yang tengah kita lakukan selalu dipantau CCTV. Jadi, saya tak heran ketika terjadi blusukan seperti itu," balas wanita itu. Dia kemudian mengusap bahuku. "Saya do'akan semoga Mba Tari bernasib baik hari ini."Wanita itu kembali pergi. Mungkin karena jam kerja membuatnya tak bisa berlama-lama bicara denganku.Aku kembali resah

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 26 Ada Yang Aneh

    Bastian langsung berdiri. wajahnya masih dalam keadaan tercengang."Bas..." Setengah berbisik aku memanggil Bastian yang masih membatu dalam keterkejutan.Sementara dengan raut wajah Bu Yunita, tatapannya begitu tajam ke arahku dan Bastian. "Ikut sekarang!" Pergelangan tangan Bastian ditarik wanita itu."Aku jelaskan nanti ya," desis Bastian padaku sebelum langkahnya menjauhiku bersama Bu Yunita.Aku tercengang sendirian. Ada apa dengan Bastian? Dia tak terlihat ketakutan, tapi kedatangan Bu Yunita seakan membungkam mulutnya.Aku kembali terduduk lesu menatap sisa-sisa makanan di atas meja. Jam makan siang hampir usai, aku melambaikan tangan memanggil pelayan restaurant kemudian meminta catatan pembayarannya.Total yang harus dibayar bernilai satu juta membuat bola mataku terbelalak. Harusnya aku tak heran, sebab harga itu memang sudah biasa. Namun di dalam dompet hanya tersisa lima lembar uang kertas berwarna merah, masih kurang lima lembar lagi Aku menelan saliva resah. 'Bagaimana

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 27 Bertamu Ke Rumah Mantan

    Aku dan Meysa mematung tercengang dari balik pintu dapur rumah Dani. Aku menarik pelan pergelangan tangan Meysa untuk kembali ke teras depan."Mey, apa kamu yakin ingin tetap bertemu Papa? Sepertinya waktunya kurang pas," tanyaku pada Meysa untuk sekedar memastikan. Aku hanya ragu untuk bertamu malam ini."Kita sudah sampai, Ma. Sayang sekali kalau tak jadi jenguk Papa. Aku tetap ingin bertemu dengan Papa," rengek Mesya layaknya anak kecil pada umumnya.Aku memperbaiki napas kemudian menganggukan kepala. Mana bisa menolak permintaan Meysa. Gegas kutekan bell yang menempel di dinding dekat pintu sebanyak tiga kali, setelah itu menunggu sang pemilik rumah keluar."Mau ngapain ke sini malam-malam?" Santi langsung menyambut kedatangan kami dengan pertanyaan ketika pintu telah dibuka, bola matanya menatap nyalang wajahku dan Meysa secara bergantian.Aku menelaah pakaian Santi berbanding jauh dari sebelumnya, ia memakai daster kumel dan rambut yang digelung ke belakang."Aku mau ketemu deng

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 28 Kejutan Dari Bastian

    Aku segera berlari menuju ruang makan. Aku harus memastikan keadaan putriku. Ternyata mereka telah berpindah ke ruang keluarga. Di atas lantai ruang keluarga, nampak pecahan beling berserakan. Wajah Dani nampak marah. Pun dengan Santi.Segera kuraih pergelangan tangan Meysa, kutarik pelan dia kepangkuanku. Kutelaah seluruh tubuh putriku guna memastikan dia baik-baik saja."Kamu tidak kenapa-kenapa 'kan?" tanyaku pada Meysa.Bibir Meysa bergetar. "Aku baik-baik saja, Ma," jawabnya seraya melirik cemas pada papanya.Kupeluk Meysa kemudian pamit pada Dani dan Santi. "Kami permisi pulang."Tak ada jawaban apa pun dari mereka berdua. Aku tak perduli dengan masalah mereka yang menyebabkan pecahan beling berserakan di atas lantai.Langkah kaki ini telah sampai di depan rumah. Pesanan taksi online pun tiba pada waktunya. Aku dan Meysa segera masuk. Kami harus segera pulang. "Jalan, Pak."Setelah di dalam taksi online. "Mey, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu ketakutan?" Aku mengusap kedua

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 29 Kupikir Hanya Karyawan, Ternyata...

    Tanpa sadar aku telah memeluk Bastian karena terharu. "Maaf, Bas." Aku tersipu malu dan segera melepaskan pelukan."Tidak apa-apa, Tar. Aku merasa sangat bahagia saat kamu bahagia. Satu hal yang harus kamu tahu, kita adalah sahabat. Seorang sahabat akan selalu saling membantu, saling melindungi tanpa saling berhutang," kata Bastian terdengar lembut di telinga."Kamu sahabat baikku, Bas." Aliran napas di dalam dada, kini terasa lancar. "Katakan padaku, Bas. Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini? Saham di perushaaan ini bukan seharga tahu bulat. Semudah itukah kamu membelinya?" Aku melayangkan tatapan nanar, penuh tanda tanya pada Bastian.Sejenak Bastian membisu, hingga akhirnya dia kembali bersuara. "Bu Yunita yang mendanai," jawabnya."Apa! Bu Yunita?" Aku merasa aneh. "Apa iya Bu Yunita yang tegas itu bisa dengan mudah percaya padamu, Bas," imbuhku ragu."Sangat mudah, Tar." Bastian dengan entengnya."Kamu bergurau, Bas." Aku kembali ke tempat dudukku."Bu Yunita selalu percaya pad

Latest chapter

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 111 Menjelang Pernikahan

    "Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 110 Surat Dari Bastian

    "Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 109 Kesedihanku

    Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria

DMCA.com Protection Status