Aliran darah di dalam tubuh tiba-tiba terasa mendidih. Suara desahan Mas Dani dari dalam toilet kembali terdengar jelas apalagi saat aku menempelkan daun telinga pada pintu toilet.
"Aahh... Aahhh.." Suara itu terdengar menjijikan di telingaku karena jelas bukan suara rintihan seperti cerita Meysa. Tok tok tok. Gegas aku mengetuk pintu sambil mengatur napas yang tersengal ditenggorokan. Hening tak terdengar lagi suara menjijikan itu. "Mas, buka pintunya!" Panggilku sambil kembali mengetuk pintu. Beberapa menit tak ada jawaban hingga akhirnya pintu toilet terbuka. Tampak Mas Dani keluar dari toilet dengan wajah lusuh dan kening berkilap. "Mas, sedang apa kamu di dalam?" Tatapanku nanar penuh selidik. Namun Mas Dani hanya berjalan gontai sambil memijat pinggangnya. Aku melihat tak ada siapa pun di dalam toilet setelah Mas Dani keluar. Aku tak sempat memeriksa sudut yang lainnya sebab Mas Dani jatuh pingsan. "Mas!" Kuraih tubuh suamiku yang tampak lemah di atas lantai. "Ta-tari, aku lemas sekali." Dengan terbata-bata Mas Dani berusaha berbicara padaku. Ya Tuhan mafkan aku. Mengapa aku malah berpikir yang aneh-aneh mengenai suamiku. Padahal aku sendiri sudah tahu penyakit yang tengah diidap Mas Dani. Aku menyesali sikapku. "Santi!" Aku berteriak memanggil pembantu di rumahku guna membantuku membawa Mas Dani ke kamar. Beberapa detik kemudian Santi berlari mendekat padaku. "Iya, Bu," sahutnya. "Bantu saya membawa Mas Dani ke kamar," pintaku pada gadis berusia 20 tahun itu. "Ya ampun, Bapak. Bapak kenapa, Bu?" Santi memperlihatkan wajah cemas di depanku. "Bantu saya dulu, Santi. Kasihan Mas Dani," tegasku. Tak ada lagi pertanyaan dari gadis berkulit putih itu. Ketika ia menekuk lututnya untuk membantuku mengangkat tubuh Mas Dani, saat itu pula mataku terbelalak melihat area intim Santi yang tak memakai celana dalam. Apa dia sudah gila? Santi tak memakai apa pun sebagai penutup daerah sensitifnya. "Ayo, Bu." Santi membangunanku dari lamunan singkat. Dia sudah bersiap membantuku mengangkat tubuh Mas Dani. Meninggalkan rasa anehku pada Santi, aku dan pembantuku itu mengangkat tubuh Mas Dani menuju tempat tidur. "Santi, tolong buatkan susu untuk Mas Dani," titahku setelahnya. Gadis itu mengangguk lalu keluar untuk melaksanakan perintahku. Sementara Mas Dani masih terlihat lemas. Aku mengusap dahinya yang masih bekeringat. Apakah pups Mas Dani sangat susah sehingga dia nampak kelelahan. Setelah Mas Dani meneguk satu gelas susu yang dibuatkan oleh Santi, suamiku itu terlihat kembali segar. "Mas, apa yang terjadi dengan kamu? Aku mendengar desahan suaramu di toilet tadi," tanyaku tentu dengan hati-hati. "Kamu kan tahu penyakitku. Penyakit ginjal membuatku sulit buang air besar. Itu bukan suara desahan, Tari. Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku sakit, Tari," terang Mas Dani tampak meyakinkanku. Aku mengangguk kemudian meminta maaf. "Maaf ya, Mas. Maafkan aku yang tak selalu ada di sampingmu." Akhirnya menyesal. "Tidak apa-apa, Tari. Kamu harus segera ke kantor. Jangan sampai perusahaan kita terbengkalai. Semoga besok lusa keadaanku sudah pulih," terang Mas Dani Aku kembali menganguk penuh rasa penyesalan. Setelah memastikan Mas Dani kembali beristirahat, gegas aku keluar dari kamar. Langkahku menuju ruang belakang. Aku mencari Santi. Gadis itu tak terlihat, hanya ponselnya saja yang tergeletak di atas meja makan. Ting. Suara notipikasi pesan masuk pada ponsel Santi. Kulirik benda pipih itu. Sepintas aku bisa membaca pesan yang baru saja masuk dari layar depan. [Sayang, kita lanjutkan nanti saja. Aku lelah.] Apa! Sayang? Seketika aku mengerutkan kening. Apa Santi sudah memiliki kekasih? Ketika aku hendak meraih benda pipih berwarna emas itu, di waktu yang bersamaan Santi datang kemudian mengambil ponselnya dengan cepat. "Ibu, kok lancang sih!" Gadis itu memasang wajah tak suka padaku. "Maaf, Santi. Bukan saya lancang. Baru saja ponselmu berbunyi. Khawatir ada yang penting kan," elakku seraya memiringkan rambut. "Tapi saya tidak suka kalau Ibu membuka ponsel saya. Ini privasi, Bu." Seketika aku kaget saat Santi mulai berani padaku. Apa karena selama ini aku terlalu lembut padanya hingga dia berani menegurku. Tapi ya sudah, aku sadar memang salah. "Saya minta maaf. Saya mencari kamu. Tolong titip Mas Dani, beliau harus minum obat tepat waktu. Hari ini saya ada meeting dan kemungkinan pulang pukul delapan malam," terangku. "Baguslah." Santi melebarkan senyum. "Apa! Kok bagus?" Aku tercengang dengan ekpresi dan jawaban Santi. "Maaf, Bu. Saya salah ucap. Maksud saya siap, Bu," ralatnya. Gadis itu menampilkan gelagat aneh. Aku tak bisa bicara panjang lebar sebab harus segera ke kantor. Bahkan mengenai Santi yang tak memakai celana dalam pun belum bisa aku bahas hari ini. Pekerjaan di kantor hari ini cukup banyak. Perusahaan ini pemberian almarhum papaku. Kemudian aku dan Mas Dani mengembangkannya. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding ruangan telah menunjukan pukul dua siang. Aku bahkan belum sempat makan hingga isi perut terdengar berbunyi. "Tari, makanlah." Seorang pria menyodorkan satu box yang berisi makan siang di atas meja kerjaku. Pria itu bernama Bastian—rekanku. "Kok kamu bisa masuk ke ruanganku?" Aku malah bertanya. "Pintunya terbuka, Tari. Aku sudah mengetuk pintu tapi kamu tampak asik melamun. Aku rasa kamu belum makan. Makanlah. Jangan sampai sakit," terang Bastian nampak perhatian. Bastian sahabatku dan Mas Dani. Kami dekat karena rekan kerja dan juga sahabat tak lebih dari itu. "Aku lupa dengan makanan. Mas Dani sakit, pikiranku hanya tertuju pada rumah," balasku lesu seraya memijat pelipis. "Apa! Sakit?" Bastian nampak terkejut. Ia nampak tak percaya dengan ucapanku. Kemudian aku menganggukan kepala guna menegaskan ucapanku. "Kok sakit sih. Mana mungkin," bantah Bastian. Ia menarik kursi yang berseberangan denganku kemudian duduk di sana. "Kamu gak percaya?" Aku memutar bola mata kesal. Bisa-bisanya dia tak percaya padaku. "Minggu kemarin aku dan Dani cek kesehatan bersama. Kami berdua sehat. Tak ada tanda-tanda penyakit dalam tubuh kami. Kamu lihat kan wajah Dani makin hari malah makin fresh." Dani menjelaskan dengan yakin. "Masa sih." Tentu aku tak yakin dengan keterangan Bastian. "Kalau kamu tak percaya, hasil cek kesehatan Dani bahkan ada di meja kerjaku." Bastian beranjak dari tempat duduknya. Dia segera mengambil berkas hasil cek kesehatan Mas Dani. Benar yang Bastian katakan. Dalam keterangan pada berkas di tanganku, ginjal Mas Dani dinyatakan sehat, lalu bagaimana dengan hasil pemeriksaan kemarin? "Aku harus menyelidiki sesuatu." Aliran darah di tubuh kembali terasa panas. "Bolehkah aku membantu?" Bastian menyodorkan diri. "Tidak, Bastian. Ini masalah pribadiku." Aku menolaknya. "Tapi aku tahu sesuatu tentang suamimu," tekan Bastian. Seketika aku tercengang. Apa yang Bastian ketahui?"Tahu apa kamu tentang suamiku?" tanyaku penasaran.Bastian tampak menurunkan tatapan ketika aku melayangkan tatapan nanar kepadanya."Sebenarnya aku tak ingin mengatakan hal ini sebab aku tak memiliki bukti," jawab Bastian terdengar berhati-hati."Katakan dengan jelas, Bas. Tolong jangan buat aku penasaran," tekanku.Bastian terlihat membatu dalam beberapa detik. Ia seperti tengah mencerna kalimat yang hendak diucapkan."Aku pernah melihat Dani bersama wanita lain," celetuk Bastian.Aku terkejut sampai mata membola sempurna. "Apa! Tidak mungkin, Bas!" bantahku. Jelas aku membantah sebab Mas Dani tak pernah bepergian tanpa sepengetahuanku. Suamiku bahkan selalu meminta izin kepadaku."Sungguh, Tari. Aku tidak berbohong. Aku memang tak memiliki bukti, tapi aku melihat dengan jelas ketika Dani bersama wanita tak kukenal masuk ke dalam hotel," jelas Bastian terdengar berusaha meyakinkanku."Kapan?" Dalam suasana hati berdebar panas, aku memastikan."Beberapa minggu yang lalu. Saat jam ma
Mas Dani nampak mengerutkan dahinya. Namun raut wajahnya seketika berubah setelah membaca berkas yang kuberikan tadi."Dari mana kamu mendapatkan ini, Tari?" Tanpa terlihat gugup Mas Dani bertanya lagi padaku."Tak perlu tanya dari mana aku mendapatkan bukti kesehatan itu. Aku ingin penjelasan dari kamu, Mas. Apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?" tegasku.Namun bukannya menjawab, kulihat bola mata Mas Dani nampak berkaca-kaca. Dia membatu dalam beberapa detik sambil mengedip-ngedipkan kelopak matanya seolah tengah menahan air mata."Kenapa diam, Mas? Tolong jelaskan! Itu adalah hasil pemeriksaan kesehatan satu minggu lalu. Tertera dengan jelas mengenai kondisi ginjalmu yang sehat, tapi kenapa kemarin kamu—""Cukup, Tari!" sentak Mas Dani memotong kalimatku. Ini adalah kali pertama dia membentakku."Hasil pemeriksaan ini palsu. Aku sengaja memalsukan karena urusan pekerjaan. Kamu pikir, investor mana yang sudi bekerja sama dengan manusia penyakitan seperti aku hah?!" terangnya."Ap
Selama ini dua ruangan itu memang berhasil terhindar dari pantauan CCTV. Aku memasang hari ini demi mendapatkan fakta. Aku harap cerita Meysa hanya keliru dan Mas Dani masih tetap setia padaku.Dua orang pria itu memang mengerjakan tugas dengan baik, mereka keluar dari rumah sepuluh menit lebih awal sebelum kepulangan Santi."Ibu, ini belanjaannya." Suara Santi mengagetkanku. Ia menyerahkan paper bag yang berisi belanjaan yang aku pinta."Terima kasih," ucapku basa-basi."Memangnya Ibu Tari mau kemana?" tanyanya. Santi nampak duduk di dekat Meysa. Dia mengusap lembut rambut purtiku."Ke Bali," jawabku singkat.Raut wajah Santi terkejut. "Berapa lama, Bu?""Dua hari," jawabku lagi, masih singkat. Perasaanku tiba-tiba berubah dingin pada Santi, padahal gadis itu belum tentu bersalah. Ya Tuhan, maafkan aku. Setelah semuanya terbukti, aku akan meminta maaf pada Santi atas sikapku ini."Wah liburan ya, Bu. Saya sendirian dong di rumah." Wajah Santi nampak sendu."Kamu tidak sendiri. Mas D
"Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"Aku membeliak terkejut. Santi sudah berdiri di ambang pintu. Napas yang sempat memburu panas tiba-tiba seperti tersengal ditenggorokan. Belum sempat aku mencerna penemuan mengejutkan ini, tapi Santi malah kembali dan kini tampak menatapku nyalang."Saya, saya—" Aku sempat kebingungan harus membuat alasan apa."Lancang sekali, Bu Tari!" Secepat kilat, Santi merebut kotak perhiasan dari tanganku. Tapi tunggu, perhiasan itu milikku, berani sekali dia merebutnya. Aku tak bergeming dan langsung merebut kembali kotak perhiasan itu."Ini milik saya!" tegasku."Bu Tari, apa-apaan sih. Ini milik saya kok." Santi tak mau memberikan. Gadis itu bersi keras mempertahankan kotak perhiasanku."Santi! Kalau memaksa, saya akan lapor polisi," ancamku hingga akhirnya reflek Santi melepaskan genggamannya.Kedua bibir Santi nampak mengerut. Pembantuku itu seperti tengah menahan amarah. Tentu ia tak akan berani melawanku."Ini perhiasan saya, Santi. Saya memiliki sura
Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!""Baik, Bu."Gegas aku menurunkan benda pipih itu dari telingaku. Berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah menanti jawaban dari orang yang aku suruh."Mama lagi ngapain?" Meysa yang baru saja kembali usai dari rumah tetangga nampak menatapku aneh. Bagaimana tidak, Meysa melihatku berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan sambil memainkan jemari pada layar ponsel. "Ah tidak apa-apa. Mey, makan siang dulu sana. Tadi Mama sudah masak." Aku mengalihkan perhatian.Putriku mengangguk. Dia tak lagi bertanya dan langsung melaksanakan perintahku. Namun tak lama setelah Meysa berlalu, putri kecilku itu terdengar berteriak memanggil Santi."Mba Santi!" "Mba...!""Mba Santi, dimana?"Sepertinya Meysa tengah mencari Santi. Aku bergegas menghampirinya di ruang makan."Ada apa, Mey? Mama suruh kamu makan, kok malah panggil Mba Santi sih," sahutku.Meysa terlihat kebingungan di dekat
"Share location, Yudi. Saya akan segera ke sana sekarang juga!"Aku kembali menurunkan benda pipih dari telinga. Tanpa ada firasat apa-apa sebelumnya, entah kenapa hari ini terasa sangat memilukan hati."Tenang, Tari. Tenangkan hatimu." Gina mengusap punggungku. Dia pasti memahami perasaanku saat ini."Aku sudah berusaha tenang, Gin. Tapi sulit. Suamiku pergi bersama Santi. Apa aku benar-benar akan kehilangan Mas Dani setelah ini?" Air mata kembali merembes sebagai tanda bahwa rasa sakit di dalam hati tak bisa ditahan.Gina yang masih mengusap punggungku tampak turut sendu. "Semua akan baik-baik saja. Wanita seperti Santi tidak pantas merebut suamimu. Wanita murahan itu tidak pantas menghancurkan pernikahan kalian," tuturnya.Aku tak bisa berucap lagi sampai akhirnya Yudi mengirimkan lokasi keberadaan Mas Dani saat ini."Aku harus ke Bogor sekarang juga, Gin." Gegas kuberanjak dari tempat duduk."Tidak bisakah menunggu besok saja, Tari. Ini sudah sore. Jam berapa kita akan sampai di
Tatapan Mas Dani nampak terbelalak. Mungkin dia terkejut mendengar kalimat yang baru saja aku ucapkan."Bicara apa kamu, Tar. Aku sangat mencintai kamu. Tolong jangan bicara yang aneh- aneh. Santi bukan levelku." Mas Dani masih berkilah. Ia tak sadar dengan Santi yang tercengang dengan ucapannya.Bibir gadis bermuka dua itu terlihat mengerut sambil bergerak seakan ingin bicara sesuatu."Cukuplah, Dani. Jangan mengelak terus. Kamu sudah ketahuan berselingkuh masih saja membela diri." Gina menimpali. Sahabatku itu mungkin sudah geram."Jangan ikut campur kamu, Gina!" sentak Mas Dani. Jari telunjuknya melurus ke wajah Gina, namun aku segera menepisnya."Sudah, Mas. Kamu gak tahu malu ya," geramku pada Mas Dani."Tapi, Tar. Aku bersumpah hanya kamu yang aku cinta. Aku gak mungkin berselingkuh dengan Santi." Dengan memasang wajah memelas, Mas Dani masih saja tak mau mengaku. "Sayangnya aku sudah tak percaya dengan cintamu, Mas!" sergahku. Dada yang sudah terasa panas sedari tadi mulai tak
"Mama, kenapa?" Meysa meraih kepalaku. Aku mendengar dengan jelas, namun tak berapa lama aku tak mendengar apa-apa. Pandangan gelap gulita bagai tengah berada dalam mimpi.***"Mama!" Suara Meysa kembali terdengar. Suara putriku seakan terbawa oleh semilir angin. Sebelah tangan terasa diusap dengan lembut.Perlahan, aku berusaha membuka kelopak mata sedikit demi sedikit. Aku melihat langit-langit kamar dengan pandangan yang masih saja memudar Tunggu, dimana ini? Ini bukan langit-langit kamarku. Aku mengedip-ngedipkan mata guna memperbaiki pandangan."Akhirnya Mama bangun." Suara Meysa kembali terdengar riang. Kualihkan pandangan ke sumber suara."Mey," desisku seraya mengukir senyum. Bahagia rasanya dapat melihat putriku kembali."Mama." Meysa memeluk cukup erat. "Mama jangan sakit lagi, aku gak kau kehilangan Mama," sambungnya."Ini dimana, Mey?" Suara pelanku bertanya pada Meysa.Putri kecilku itu melonggarkan pelukan. "Kita ada di rumah sakit. Mama pingsan. Untung ada Papa yang m
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria