Beranda / Pernikahan / Desahan di Kamar Adikku / Bab 7 Dua - duanya keceplosan

Share

Bab 7 Dua - duanya keceplosan

Penulis: Afi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar.

"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya.

"Hah?!"

Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface.

"Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas."

"Terong? Kamu ngidam makan terong?"

"Tahu, ah!" Ayu total merajuk.

Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya ia meminta Amar untuk mengantarnya sampai depan gedung fakultas, maka, kali ini ia hanya ingin diantar sampai pinggir jalan saja. Ayu mengaku malu jika diantar pacarnya menggunakan sepeda motor matic dan berhelm fullface pula.

Ya, setahu teman-teman Ayu, Amar adalag pacarnya. Usia Amar baru dua puluh sembilan tahun, sedangkan Ayu baru dua puluh satu tahun. Jarak usia delapan tahun tentu tidak terlalu jauh sehingga teman-temannya pun tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Mereka bahkan memuji Ayu pintar mencari pasangan. Tampang Amar memang bisa dibulang cukup tampan. Dengan postur tubuh tinggi dan wajah 'laki banget'. Brewok tipis-tipis karena sering dicukur itu menambah kesan sexy pada lelaki beristri itu. Ditambah, Amar selalu mengantar Ayu ke kampus dengan mobil bagus yang tentu sebenarnya adalah milik Salma.

Amar memang nyaris setiap hari mengantar Ayu ke kampus, tentu tanpa sepengetahuan Salma. Hari ini saja Ayu berani meminta Amar mengantarnya secara langsung di hadapan Salma. Karena kepalang tanggung, sudah ketahuan, untuk apa sembunyi-sembunyi, begitu pikir Ayu.

"Eh, Yu, kenapa itu muka ditekuk? Gak dikasih jatah, ya, sama pacar, lo?" ejek Sany, salah satu teman dekat Ayu.

Kini, Ayu sudah berkumpul dengan teman-teman kuliahnya di kantin. Jam kuliah baru dimulai dua puluh menit lagi, jadi mereka masih ada waktu untuk bersantai. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi tampak ada yang tengah sarapan.

"Enak aja, semalem aja baru dikasih, kok. Makanya sekarang badan gue pegel-pegel."

Jawaban Ayu sontak membuat ketiga temannya itu melongo. Ayu yang sadar jika dirinya salah bicara pun langsung meralat kata-katanya.

"Maksud gue, semalem gue baru aja ditransfer sama pacar gue dan langsung gue pake buat shopping, keliling mall sama makan-makan. Jadi sekarang badan gue rasanya pegel-pegel," kilah Ayu tak ingin teman-temannya curiga jika dia salah tangkap.

Ya, salah tangkap. Jatah yang Sany maksud adalah uang saku karena Ayu kerap kali pamer setelah Amar memberinya jatah uang jajan seperti biasanya. Sedangkan, Ayu mengira jika yang dimaksud jatah itu adalah jatah ranjang.

Sany, Rika dan Kiki pun hanya membeo. Ayu hanya tersenyum canggung. Meski mereka bertiga sudah lama menjadi teman dekatnya, ia tentu tak akan seterbuka itu untuk mengatakan jika hubungannya bersama dengan Amar sudah berjalan terlalu jauh sampai-sampai ia sudah hamil dua bulan.

Kini Ayu hanya pura-pura bersikap biasa di depan teman-temannya. Tak ingin jika ia kembali keceplosan jadi Ayu berusaha agar teman-temannya tak bertanya banyak hal tentang sang pacar.

Pun sama halnya dengan Ayu, Amar terlihat tak begitu bersemangat di kantor. Apalagi alasannya jika bukan karena hari ini Salma sudah mulai berubah sikap terhadapnya. Dari mulai tak lagi dibangunkan, tidak disiapkan pakaian dan sarapan hingga tak lagi diijinkan untuk menggunakan mobil istrinya itu. Padahal, semua orang kantor tentu mengira mobil itu adalah hasil jerih payah Amar. Mengingat kini jabatannya yang sudah cukup tinggi dari sebelumnya.

Hingga saat makan siang di kantin, Amar tak sengaja melihat Mely. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah teman Salma. Tentu karena dulu ia bisa bekerja disini juga karena bantuannya. Meski satu kantor, ternyata mereka jarang sekali bertemu. Bertemu pun hanya sekedar menyapa. Tak pernah terlihat mereka terlibat percakapan yang berarti.

Mely tampak membawa nampan makanannya sendiri, ia terlihat celingak-celinguk mencari tempat duduk. Namun, sialnya hari itu semua kursi telah terisi. Ada satu kursi yang kosong tapi Mely tak melihatnya.

Melihat wanita dengan perut besar karena tengah hamil itu, Amar jadi kasihan. la tentu tahu jika Mely tengah mencari tempat duduk untuk menikmati makanannya. Mengingat kedua wanita yang ia cintai kini juga mengandung, Amar memutuskan untuk memanggil Mely.

"Sini, Mel. Ada kursi kosong, nih!" ujar Amar dengan sedikit berteriak.

Meski sebenarnya Mely merasa tak enak karena harus duduk satu meja dengan para pria, tapi itu satu-satunya pilihan atau jika mau, ia bisa makan di pantry, hanya saja tempatnya terlalu jauh. Ia merasa kesulitan membawa nampan penuh makanan itu dengan perutnya yang besar.

"Gak apa-apa, nih, duduk disini?" tanya Mely tentu tak hanya pada Amar. Disana juga ada beberapa orang lainnya. Mereka justru terlihat segan pada Mely karena jabatan mereka semua masih di bawah Mely, kecuali Amar.

"Santai aja, gak apa-apa. Dari pada kudu pergi ke pantry, kan, jauh."

"Iya, Bu Mely. Gak apa-apa gabung disini saja. Kami gak akan ngerokok, deh," sahun Romi yang memang lebih mengenal Mely karena dia satu divisi dengan Mely, atau bisa dibilang bawahan mely.

"Oke. Makasih, ya. Silakan nikmati makanan kalian. Jangan sungkan-sungkan."

Semuanya memakan makan siang mereka dengan khidmat, tak terkecuali Amar dan Mely. Sepuluh menit cukup bagi para pria itu untuk menghabiskan makanan dan juga kopi. Mereka lantas pamit untuk pergi karena kebiasaan mereka merokok setelah makan tentu tak bisa mereka lakukan disini karena adanya Mely. Hanya Amar dan Mely yang belum menghabiskan makanan mereka.

"Duluan, Pak Amar, Bu Mely," ujar Ary yang diangkugi keduanya.

"Gak ngerokok juga, Mar?" tanya Mely melihat Amar sudah menghabiskan makanannya tapi tak juga beranjak dari duduknya.

"Enggak, Mel. Udah berenti, nih, gantinya."

Amar menunjukkan sebuah permen yang ia ambil dari saku kemejanya lalu memakannya setelah membuka bungkusnya.

"Udah lama?" tanya Mely penasaran. Setahunya, Amar cukup gemar merokok. Ia kerap kali melihat Amar merokok bersama karyawan yang lain di smooking area.

"Gak, sih. Baru dua bulan ini, ada yang hamil di rumah, kasian."

Seketika mata Amar melotot, ia langsung menoleh ke arah Mely untuk melihat reaksi teman Salma itu. Amar keceplosan barusan. Untung saja ia tak menyebut jika selingkuhannya yang hamil. Namun, tetap saja dalam hatinya merawa was was jika Mely mencurigainya.

"Oh, iya. Salma, kan, hamil ya? Kemarin aku ketemu, lho pas periksa kandungan di rumah sakit. Akhirnya kalian diberikan kepercayaan itu, ya. Sudah lima tahun, kan?"

Tentu yang Mely maksud adalah usia pernikahan Amar dan Salma. Amar hanya tertawa canggung. Ia merasa sangat lega karena Mely tahu jika Salma juga tengah hamil. Untuk saat ini, Amar tidak mau bertindak gegabah dengan mempublikasikan hubungannya dengan Ayu. Meskipun Salma sudah mengetahui, tapi ia malu jika orang luar tahu kalau dia berselingkuh.

Rencananya, ia akan membuka status barunya saat ia menikahi Ayu secara resmi nanti.

"Iya, Mel. Alhamdulillah."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ery d'Roses
ayu yg g tau diri,dikasih ht minta jantung,ko ada ya orang seperti itu
goodnovel comment avatar
Lilawati Dharma Prana
ayu sangat jahat n ambisinya utk menguasai harta Salma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 8 Dilabtak ibu mertua

    "Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mbak. Mas Amar harus menikahiku secara sah, baik agaman maupun negara. Aku tidak mau anak ini nanti lahir tidak ada kejelasan statusnya kalau Mas Amar hanya menikahiku secara siri," protes Ayu tak terima saat Salma tidak menyetujui niatan Ayu dan Amar yang akan mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor urusan agama.Sembari memakan buah anggur yang sudah dibuang bijinya, Salma berujar dengan santai, masih dengan posisi duduk berselonjor di atas sofa dan menikmati acara televisi kegemarannya."Kalau aku tidak setuju, bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku dan mas Amar akan tetap mendaftarkan pernikahan kami secara administrasi negara. Ya, kan, Mas?" tanya Ayu pada Amar bermaksud mencari pembelaan. Amar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.menikah tanpa persetujuan istri pertama itu ada hukumnya?"Ayu menghentakkan kakinya kesal. la sudah tahu sebenarnya, tapi ia hanya berniat menggertak Salma. Namun, Salma bukan wanita lemah dan bodoh. Ia tidak akan mengalah

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 9 Gara - gara bubur ayam

    Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya."Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 10 Kedatangan calon mertua

    "Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 11 Kemarahan salma

    "Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 12 Ranjang baru

    Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 13 Bayar dengan sembako

    Bu Asih kini tengah bingung. Rupanya Salma tak main-main dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjatah uang bulanan untuk sang ibu. Awalnya, bu Asih mengira Salma hanya menggertak saja. Namun, hingga dua minggu lewat dari tanggal biasanya Salma mengirim uang, uang itu tak kunjung masuk ke dalam nomor rekeningnya.Bu Asih memang mempunyai toko sembako kecil-kecilan. Seharusnya, hasil dari toko itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari bu Asih jika hanya untuk makan sendiri meskipun pas-pasan. Tapi, ternyata sifat Ayu yang gemar bergaya itu turunan dari ibunya.Sebulan yang lalu, bu Asih mengambil baju gamis yang cukup mewah di salah satu teman arisannya. Harganya tak main-main untuk sebuah gamis yang hanya dikenakan di kampung. Satu gamis seharga sembilan ratus ribu. Belum jilbab dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Jika ditotal, hutang bu Asih pada temannya itu sudah berjumlah satu juta tujuh ratus ribu. Bu Asih berjanji akan membayarnya saa

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 14 Akad nikah

    Hari ini adalah hari pernikahan Ayu dan Amar. Sesuai kesepakatan, Amar hanya akan menikahi Ayu secara agama dan acara tersebut dilaksanakan di rumah Salma.Jangan tanya bagaimana perasaan Salma sekarang. Meski mulutnya mengatakan bahwa ia sudah begitu jijik dengan Amar. Tapi tak bisa dipungkiri jika masih ada sisa-sisa perasaan yang melekat dalam hatinya.Perjalanan rumah tangga selama lima tahun, tentu tak bisa dengan mudah Salma lupakan. Ia pun memutuskan untuk berada di dalam kamar selama proses akad nikah berlangsung.Tak banyak saksi yang diundang. Hanya tetangga kanan dan kiri yang awalnya mereka sangat tidak menyangka jika Amar tega berselingkuh dengan adik iparnya sendiri. Meskipun kini mereka sudah tahu bahwa Salma dan Ayu bukanlah saudara kandung."Saaah!" Suara serentak dari para saksi membuat dada Salma berdenyut nyeri.Tapi, ia ingat akan tujuannya mempertahankan rumah tangganya dengan Amar. Salma ingin membalas rasa sak

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 15 Perlawanan Nadya

    Acara sudah selesai, para tamu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Mungkin beberapa ada yang mampir ke suatu tempat.Di rumah Salma, bukannya kebahagiaan yang dirasakan kedua keluarha mempelai. Melainkan adu mulut tentang siapa yang akan membersihkan rumah Salma setelah acara selesai."Yang ngebet nikah, kan, anak Bu Asih. Ya, Bu Asih sama Ayu, tuh, yang harus beresin. Kita du sini itu cuma tamu," ucap bu Mila kesal karena bu Asih memintanya untuk membereskan sisa-sisa makanan yang ada di dapur luas milik Salma."Ya bukan anak saya aja yang kebelet nikah, Bu Mila. Anak Ibu, si Amar itu malah yang kemaruk. Udah ada Salma masih kurang. Sekarang, ayo bantu beresin. Itu, si Nadya juga suruh ikut beresin."Nadya yang sedari tadi duduk di meja makan kini bangkit untuk menghampiri ibunya dan juga mertua dari kakaknya itu."Aku dari awal udah gak setuju sama acara ini ya, Bu. Ngapain juga aku harus ikut-ikut beresin. Kalau Bu Asih gak m

Bab terbaru

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 82 Ungkapan Cinga

    Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 81 Ada apa dengan rega

    Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 80 Perdebatan Antar Saudara

    Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 79 jual beli mobil

    "Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 78 Penolakan Maya

    Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 77 Rumah Mewah

    Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 76 Mendatangi Bu Asih

    "Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 75 Sah bercerai

    Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 74 Pemerasan

    "Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"

DMCA.com Protection Status