Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya.
"Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat"Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.
"Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan
Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.
Bu Asih kini tengah bingung. Rupanya Salma tak main-main dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjatah uang bulanan untuk sang ibu. Awalnya, bu Asih mengira Salma hanya menggertak saja. Namun, hingga dua minggu lewat dari tanggal biasanya Salma mengirim uang, uang itu tak kunjung masuk ke dalam nomor rekeningnya.Bu Asih memang mempunyai toko sembako kecil-kecilan. Seharusnya, hasil dari toko itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari bu Asih jika hanya untuk makan sendiri meskipun pas-pasan. Tapi, ternyata sifat Ayu yang gemar bergaya itu turunan dari ibunya.Sebulan yang lalu, bu Asih mengambil baju gamis yang cukup mewah di salah satu teman arisannya. Harganya tak main-main untuk sebuah gamis yang hanya dikenakan di kampung. Satu gamis seharga sembilan ratus ribu. Belum jilbab dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Jika ditotal, hutang bu Asih pada temannya itu sudah berjumlah satu juta tujuh ratus ribu. Bu Asih berjanji akan membayarnya saa
Hari ini adalah hari pernikahan Ayu dan Amar. Sesuai kesepakatan, Amar hanya akan menikahi Ayu secara agama dan acara tersebut dilaksanakan di rumah Salma.Jangan tanya bagaimana perasaan Salma sekarang. Meski mulutnya mengatakan bahwa ia sudah begitu jijik dengan Amar. Tapi tak bisa dipungkiri jika masih ada sisa-sisa perasaan yang melekat dalam hatinya.Perjalanan rumah tangga selama lima tahun, tentu tak bisa dengan mudah Salma lupakan. Ia pun memutuskan untuk berada di dalam kamar selama proses akad nikah berlangsung.Tak banyak saksi yang diundang. Hanya tetangga kanan dan kiri yang awalnya mereka sangat tidak menyangka jika Amar tega berselingkuh dengan adik iparnya sendiri. Meskipun kini mereka sudah tahu bahwa Salma dan Ayu bukanlah saudara kandung."Saaah!" Suara serentak dari para saksi membuat dada Salma berdenyut nyeri.Tapi, ia ingat akan tujuannya mempertahankan rumah tangganya dengan Amar. Salma ingin membalas rasa sak
Acara sudah selesai, para tamu pun sudah pulang ke rumah masing-masing. Mungkin beberapa ada yang mampir ke suatu tempat.Di rumah Salma, bukannya kebahagiaan yang dirasakan kedua keluarha mempelai. Melainkan adu mulut tentang siapa yang akan membersihkan rumah Salma setelah acara selesai."Yang ngebet nikah, kan, anak Bu Asih. Ya, Bu Asih sama Ayu, tuh, yang harus beresin. Kita du sini itu cuma tamu," ucap bu Mila kesal karena bu Asih memintanya untuk membereskan sisa-sisa makanan yang ada di dapur luas milik Salma."Ya bukan anak saya aja yang kebelet nikah, Bu Mila. Anak Ibu, si Amar itu malah yang kemaruk. Udah ada Salma masih kurang. Sekarang, ayo bantu beresin. Itu, si Nadya juga suruh ikut beresin."Nadya yang sedari tadi duduk di meja makan kini bangkit untuk menghampiri ibunya dan juga mertua dari kakaknya itu."Aku dari awal udah gak setuju sama acara ini ya, Bu. Ngapain juga aku harus ikut-ikut beresin. Kalau Bu Asih gak m
Salma dan Nadya sudah pulang setelah mereka berdua menghabiskan waktu di kafe dan mall. Sudah lama Salma tidak belanja dan karena adanya Nadya, rasa suntuk Salma sedikit berkurang."Makasih ya, Mbak, udah beliin aku baju ini. Aku udah lama gak bisa belanja-belanja gini, soalnya jatah uang saku dari mas Amar udah ada yang ambil," ucap Nadya seraya melirik ke arah Ayu yang duduk di sofa bersama bu Asih."Sama-sama. Ya udah, Mbak mau istirahat dulu, ya. Capek muter-muter mall, mana belanjaan segini banyak lagi."Rupanya tak hanya Nadya, Salma juga tengah memanas-manasi Ayu dengan menunjukkan beberapa paper bag yang ada di tangannya. Ia yakin, sebentar lagi pasti Ayu akan merengek pada Amar untuk meminta hal yang sama."Kamu beliin Nadya, tapi kok gak beliin aku, Mbak? Aku ini juga adikmu, Iho," protes Ayu pada akhirnya setela ia berusaha untuk diam, tapi rupanya sifat irinya tak bisa membuat ia diam saja."Mana ada seorang adik ngembat
"MBAK SALMAAA!"Setelah teriakan itu, lalu muncul Ayu dari arah belakang. Kini, ia berdiri dengan sedikit membungkuk sembari memegangi perut di depan Salma. Salma yang melihat hal itu hanya mampu menahan tawanya."Apa sih, Yu? Ini di dalam rumah, bukan di hutan. Pakai teriak-teriak kaya Tarzan.""Gak usah ngelucu deh, Mbak. Kenapa pintu kamar mandinya kekunci?""Emang gak ada yang lagi ngelucu, kok. Eh, tapi kayanya kamu, tuh, yang lagi ngelawak. Pake nungging-nungginh gitu, ngapain?"Ayu semakin kesal dibuatnya. Sebab, Salma seakan mengulur waktu untuk menjawab pertanyaannya."Mbak! Aku gak lagi becanda, ya. Mana kunci kamar mandi. Aku kebelet, nih. Mau kalau aku berak di sini?" ucap Ayu setengah berteriak karena kesal.Salma masih betah menahan tawanya. Ia hendak menjawab saat tiba-tiba suara mesin sepeda motor terdengar berhenti di depan rumahnya. Pasti itu Amar.Salma pun semakin mengulur waktu. Ia
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"