"Gimana, Yu, udah kamu kasih di depan pintu?" tanya bu Asih pada Ayu yang baru saja kembali dari dapur untuk mengembalikan botol minya goreng."Beres, Bu. Pokoknya rencana ini harus berhasil. Mbak Salma gak boleh melahirkan anaknya mas Amar atau aku bisa saja tersisihkan."Bu Asih mengangguk menyetujui. Kini, mereka hanya menunggu kepulangan Salma dari salon. Biasanya, ia pulang tak terlalu sore. Ayu dan ibunya pun memutuskan untuk menonton televisi bersama."Tapi, Yu, emang beneran yang di HP Salma tadi? Kamu ada main sama laki-laki lain?"Setelah sekian lama menahan rasa penasaran, akhirnya bu Asih menyanyakan hal itu juga pada Ayu."Mau gimana lagi, Bu. Aku butuh uang. Kan, waktu itu semua uangku udah Ibu ambil buat bayar utang. Aku niatnya cuma mau pinjem aja sama si Arjun, tapi dia bilang boleh gak dibalikin, bahkan dikasih bonus kalau aku mau melayani dia."Bu Asih sebenarnya tak habis pikir dengan anaknya itu. Tapi, diriny
Ayu melotot ke arah Nadya. Keduanya kini saling berhadapan. Nadya tanpa rasa takut menatap tajam kakak ipar keduanya itu. Sedangkan Ayu, meskipun ia sebenarnya tak takut pada Nadya, tapi kali ini ia terlihat cukup gugup. Sebab, ia tak ingin ketahuan jika sudah memasang jebakan untuk Salma yang pada akhirnya justru mencelakai Amar."Kalau ngomong itu jangan sembarang, ya. Udah kaya kucing berak aja kamu. Emangnya, kamu pikir aku gak rugi apa kalau mas Amar sakit!"Nadya tersenyum miring. Tanpa berniat memancing, akhirnya Ayu secara tidak sadar mengakui kedoknya sendiri."Jadi bener, kan, apa yang aku pikirin selama ini? Kamu itu cuma ngincer uangnya kakakku aja. Nyatanya, di saat mas Amar sakit begini, kamu malah mikirin rugi untung."Ayu yang baru menyadari kesalahannya pun menatap ke segala arah untuk menghindari berkontak mata dengan Nadya.Sadar jika anaknya tak mampu melawan gadis seperti Nadya, bu Asih pun ikut angkat bicara.
"Apa aku yang salah dengar, ya?" gumam Salma. Masih terngiang di kepalanya kalimat yang diucapkan Rega terakhir kali sebelum dokter muda itu memutuskan keluar dari ruangannya.Karena malas untuk berpikir terlalu dalam, Salma memutuskan untu tidak ambil pusing. Toh, dokter Rega juga tak pernah berbuat hal yang macam-macam padanya.Karena rasa kantuknya, Salma kembali jatuh tertidur. Setidaknya setengah jam mungkin cukup untuk kembali mengisi tenaganya.Di ruangan tempat Amar dirawat, laki-laki itu menunjukkan tanda-tanda gegar otak yang sebelumnya sudah dokter katakan pada keluarganya.Amar mengalami mual-mual yang mirip orang hamil. Ia juga mengeluh dunia di sekitarnya berputar."Ayu, pegang wadah ini! Kalau Amar muntah biar gak kemana-mana. Gimana, sih jadi isteri, gak peka banget sama keadaan suami," ucap bu Mila yang tengah memijit tengkuk Amar.Amar sendiri tengah terduduk sembari sedikit menunduk karena rasa mual di perutnya
Tiga hari sudah Amar dirawat di rumah sakit. Untungnya, gejala dari gegar otak yang dialaminya bisa segera hilang. Kini, ia tengah bersiap untuk pulang. Dibantu oleh bu Mila dan juga Nadya, Amar bersiap-siap.Pintu kamar terbuka, muncul sosok Salma dari balik pintu yang membuat Amar tersenyum. Sejak ia sakit, Salma jadi sedikit lebih perhatian padanya. Salma setiap hari akan selalu menyempatkan dirinya untuk sekadar melihat kondisi Amar."Kamu datang, Salma?" tanya Amar meskipun ia sendiri sudah tahu jawabannya."Yaelah, Mas. Udah jelas-jelas Mbak Salma ada disini. Udah pasti dateng, dong. Gak kaya isteri mudamu itu. Mana, udah dri kemarin gak kelihatan batang hidungnya," sahut Nadya yang gemas dengan sikap sang kakak.Salma memberi kode mata pada Nadya agar gadis itu diam. Salma berjalan menuju ke arah Amar yang masih duduk di pinggiran ranjang lalu menyodorkan sebuah kertas padanya."Apa ini, Sal?""Itu tagihan rumah sakit, Mas
"Jangan-jangan, Ayu ada hutang lagi sama si Arjun, terus karena gak bisa bayar, dia mau diajakin ngamar," tebak Kiki yang membuat dua temannya memasang wajah kaget."Hah? Masa gitu, sih? Ayu, kan, udah ada pacar.""Ya buktinya dia ngikutin si Arjun, tuh. Selama ini, Ayu gak pernah terlibat hubungan apa-apa, kan, sama Arjun? Lagian, coba kalian inget-inget, deh. Udah lama kita lihat Ayu kalau berangkat ke kampus itu sendirian, udah gak pernah dianterin lagi sama pacarnya," ucap Kiki panjang lebar."Bener juga, ya. Bisa jadi, Ayu udah putus sama pacarnya. Karena udah gak ada yang jajanin lagi, si Ayu khilaf pinjem uang sama Arjun," imbuh Rika."Gimana kalau kita ikutin mereka aja? Perasaan gue, kok, jadi gak enak," usul Sany yang memang hanya dia satu-satunya yang masih peduli dengan Ayu."Idih! Ogah gue. Ngapain juga ngikutin mereka. Ayu juga ikut sama Arjun tanpa paksaan, kan? Itu artinya dia juga mau menyerahkan dirinya sama Arjun. Ngapa
Sany masih berada di balik tembok dekat dengan gudang sekolah saat dua orang pria keluar dari gudang tempat Ayu dan Arjun tadi masuk.Sany mengerutkan keningnya heran. Sebab, sedari tadi ia disana, ia tak melihat kedua orang itu masuk."Mereka masuk lewat mana, ya? Apa dari tdi emang udah di gudang itu? Duh, kenapa perasaanku jadi gak enak, sih? Gue samperin aja kali, gue takut Ayu kenapa-kenapa di dalam."Rupanya, sejak tadi Sany memang sengaja mengikuti Ayu dan Arjun karena Sany merasa khawatir dengan sahabatnya yang kini bahkan sudah menjauhi dirinya.Dengan sedikit rasa ragu, Sany mencoba melangkahkan kakinya menuju pintu gudang tersebut. Rupanya pintu gudang itu tidak tertutup rapat sehingga Sany bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya.Matanya membulat saat melihat Ayu sudah berbaring di atas lantai gudang tanpa busana. Arjun berada di atasnya dengan hanya memakai celana panjang saja.Mulut Ayu disumpal dan tangannya dita
Rega merasa tak enak dengan Salma karena pertanyaan ibunya tadi. Jadi, Rega memutuskan untuk menghubungi Salma dan meminta maaf.[Salma, maaf atas pertanyaan mamaku tadi. Mama hanya ingin melihat anak laki-laki satu-satunya ini segera menikah. Jadi, tolong jangan diambil hati.]Tak disangka, balasan pesan dari Salma begitu cepat sampai. Rega buru-buru membuka pesan tersebut.[Gak apa-apa, Mas. Aku ngerti, kok. Yang kaya gitu bukan cuma mama Mas Rega aja.]Ada rasa getir dalam hati Rega saat membaca balasan pesan dari Salma. Apakah itu artinya banyak para calon mertua yang mengincar Salma untuk menjadi menantunya?[Kamu rupanya incaran para mertua, ya.] balas Rega dengan diakhiri emotikon terawa.Namun, apa yang ia rasakan berbanding terbalik dengan apa yang ia tulis disana.Rega menyimpan ponselnya karena setelah ini, ia harus bersiap-siap untuk kembali keluar. Kali ini, Rega memanfaatkan waktu liburnya dengan mengu
Dada Salma kembang kempis setelah melayangkan tamparan pada suaminya itu. Amar sendiri tanya bisa melotot dengan pipi dan hati panas terbakar sebab di depan laki-laki lain, Salma bisa menjatuhkan harga dirinya dengan sebuah tamparan. Klaim"Kamu berani nampar aku demi laki-laki lain, Salma?""Kalau iya, memangnya kenapa? Kamu pantas mendapatkannya, Mas!""Salma, kamu-" tangan Amar sudah melayang di udara, nyaris saja ia daratkan tamparan serupa di pipi mulus Salma jika saja tangan Rega tak buru-buru menahan."Jangan berani mengangkat tanganmu untuk seorang wanita atau kamu siap dipanggil banci," ucap Rega dengan nada begitu rendah yang cukup untuk mengintimidasi Amar. Rega juga mencengkeram erat tangan Amar hingga laki-laki yang lebih pendek dari Rega beberapa centi itu meringis.Amar menyentak tangannya, akan tetapi, cengkeraman Rega yang begitu kuat nyatanya tak bisa dengan mudah Amar lepaskan."Lepaskan!" desis Amar.