Salma langsung masuk ke dalam kamar setelah sampai di rumah. Amar yang hendak mengikuti Salma pun terkejut saat pintu kamar ditutup dengan keras tepat di depan wajahnya."Untung aja gak kena hidungku. Bisa bengkok kalau tadi aku kebablasan," ucap Amar seraya mengusap hidung mancungnya.Karena tak bisa bersama dengan isteri pertamanya, Amar tersenyum melihat pintukamar Ayu yang sedikit terbuka. Buru-buru laki-laki itu berjalan kesana dan masuk secara diam-diam.Rencananya, Amar hendak mengageti Ayu dengan cara memeluknya dari belakang. Namun, yang Amar dapati saat itu adalah Ayu yang tengah menangis sendirian."Yu, kenapa? Kok, nangis?" Dengan perlahan Amar menghampiri isteri mudanya itu. Ta ikut naik ke atas ranjang dan duduk di samping Ayu yang langsung menubruk dada bidangnya."Mereka jahat, Mas! Mereka ngatain aku pelakor."Salma yang hendak pergi ke dapur dantidak sengaja mendengar ucapan Ayu itu pun berhe
Sejak ia diketahui menjadi selingkuhan seorang pria beristri, ketiga teman Ayu seakan menjauhinya. Kecuali Sany yang sebenarnya masih ingin berteman dengan Ayu. Tapi kata-kata yang selalu dilontarkan Ayu saat ia mencoba mendekatinya seakan menyayat hati Sany."Ngapain lo kesini? Mau ngehina gue juga?""Kapan, sih, gue ngehina lo, Yu?""Halah! Sekarang emang enggak, tapi gue yakin, nanti juga kata-kata hinaan itu bakal keluar dari mulut lo. Secara, lo, Kiki sama Rika tuh sama aja. Munafik!"Sany yang hendak kembali merangkul temannya itu pun segera mengurungkan niat. Rupanya yang dikatakan oleh Rika dan Kiki benar. Percuma jika ingin membela Ayu karena sejatinya gadis itu adalah orang yang tak tahu terimakasih."Gue udah gak butuh teman kaya kalian, pergi aja, sana!" gumam Ayu saat Sany telah memutuskan untuk pergi darinya.Di sela makan siangnya kali ini, Ayu rupanya merasa bosan. Jika bisanya ia akan tertawa bersama teman-t
Ayu masih saja mengerucutkan bibirnya meski saat ini ia tengah berada di dalam ruang rawat ibu mertuanya.Nadya pun yang juga tengah berada di dalam sana, rupanya sedari tadi menatap tak suka pada sosok kakak iparnya itu.Nasi goreng yang tadi dibawakan Amar, kini terbuka di atas dinginnya lantai rumah sakit karena memang tadi ia tak sempat membawa karpet dari rumah."Kenapa gak ada yang makan? Ayu, Nadya, kalian gak suka nasi gorengnya?" tanya Amar yang seolah sudah frustasi dengan keadaan yang ada.Ia sudah merelakan uang bensinnya untuk membeli makanan tersebut. Jika isteri dan adiknya tak mau makan, maka ia akan merasa sangat kesal."Kan, aku udah bilang kalau aku gak mau makanan pinggir jalan!" ucap Ayu dengan nada ketus setengah membentak."Kalau aku jadi gak napsu makan gara-gara lihat muka dia yang kaya valak. Bukannya hidung yang mancung tapi malah bibirnya!" sungut Nadya membuat Ayu mendelik tak suka."Apa lo b
Selama bu Mila dirawat di rumah sakit, Amar senantiasa menemani ibunya itu. Meskipun itu harus memakan waktu lebih banyak karena jarak antara rumah sakit tempat bu Mila dirawat dan tempat kerja Amar cukup jauh.Di samping itu, Ayu tengah uring-uringan di rumah. Setelah kejadian dimana ia merajuk malam-malam di rumah sakit yang berakhir ia lari terbirit-birit karena melihat sesuatu berwarna putih yang berjalan di salah satu lorong gelap tak jauh dari tempat ia duduk.Sudah dua hari ini bu Mila dirawat, artinya, sudah dua hari pula Amar tidak pulang ke rumah dan Ayu meminta bu Asih, ibunya untuk datang menemaninya."Tega banget si Amar ninggalin anak Ibu sendirian di rumah.""Itu pasti gara-gara bocah kencur si Nadya yang suka ngompor-ngomporin mas Amar. Dia gak pernah nganggap aku ini kakak iparnya, justru udah kaya musuk, Bu."Bu Asih berdecak sebal. Dari awal bertemu, ia memang sudah tidak suka dengan adik dari menantunya itu. Tatap
"Amar? Ngapain kamu kesini?" tanya Mely saat melihat Amar baru saja keluar dari ruangan Tantri, bawahannya di divisi keuangan."Eh, Mely. Gak ngapa-ngapain, kok. Aku balik ke ruangn dulu, ya."Mely hanya mengangguk. Sebenarnya, ia melihat gelagat aneh dari suami sahabat lamanya itu.Mely yang penasaran, langsung masuk ke dalam ruangan Tanti untuk menanyakan kepentingan Amar datang ke ruangan staf keuangan itu."Tantri, tadi pak Amar habis dari sini, ya?""Iya, Bu Mely. Bu Mely ketemu beliau tadi?""Iya, Tan. Kalai boleh tahu, ngapain ya dia kesini? Tadi aku tanya tapi dia bilangnya gak ngapa-ngapain. Masa dia kesini mau apelin kamu, sih?" Pertanyaan Mely mengundang tawa Tanti. Tantri tentu saja tahu bahwa kepala divisi pemasaran itu adalah seorang pria beristri dan ia adalah gadis cantik yang bisa saja mendapatkan pria lajang yang tak kalah tampan dengan Amar"Bu Mely ada-ada aja. Saya gak mau disebut pelakor, Bu. Mana
Salma sudah tiba di kota kelahirannya. Ia sangat bersyukur karena bisa kembali ke rumah dengan kondisi sehat. Mengingat beberapa kali di Bali ia mengalami masalah kesehatan. Ia juga bersyukur karena bertemu dengan Rega yang sudah banyak membantunya.Namun, kelegaan Salma tak berlangsung lama. Ia melongo saat tiba di rumah. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pikir, di rumah tidak ada orang karena biasanya di jam ini, Amar sedang bekerja dan Ayu sedang kuliah.Bekas gelas dan juga piring kotor berceceran di meja ruang tamu. Sampah-sampah makanan juga turut mengotori lantai. Pintu depan terbuka lebar tapi tak ada suara siapapun di dalam.Hingga saat ia tiba di dapur, Salma merasa semakin kehilangan napas. Bekas piring kotor menumpuk di westafel. Bau menyengat seketika menusuk hidungnya. Bahan makanan mentah tergeletak begitu saja di meja dapur.Tapi, ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Ia pikir, itu suara Ayu yang sedang m
Ayu serasa dikuliti habis-habisan oleh Salma saat ini. Ia tak lagi bisa berkilah saat Salma menunjukkan layar ponsel miliknya yang menampilkam sosok Ayu dan Arjun di ruang tamu.Awalnya, mereka memang terlihat hanya berbincang sembari makan dan minum. Namun, lama kelamaan, tubuh Arjun mulai mendekati Ayu.Dalam sekali sentakan, tubuh Ayu sudah berada di atas pangkuan Arjun. Mereka pun memulai sesi panas dengan sebuau ciuman yang sangat terlihat jelas di rekaman CCTV yang sudah lama Salma pasang di beberapa titik rumahnya, termasuk ruang tamu.Karena selama ini tidak pernah ada hal-hal yang perlu untuk diselidiki, Salma jadi tidak pernah memantau CCTV yang langsung terhubung dengan ponselnya itu.Setelah sesi ciuman, tangan Arjun mulai merambah baju Ayu. Satu per satu pakaian Ayu dilucuti oleh lelaki muda itu. Dilemparkannya ke sembarang arah hingga Ayu terlihat protes dengan mendorong tubuh Arjun sedikit menjauh.CCTV itu hanya menan
Keringat dingin mulai bercucuran di dahi sempit Amar. Mely menatap Ayu dan Amar secara bergantian."Mar, apa maksud perempuan ini? Kamu selingkuh?""Heh! Kamu wanita hamil, ngapain sok akrab sama suamiku? Apa jangan-jangan, kamu juga dihamili sama dia, ya? Sama kaya aku?"Amar langsung membungkam mulut Ayu dan menyeretnya menjauh dari Mely yang melongo di tempatnya."Jangan dengerin dia, Mel. Ini salah paham," ucap Amar seraya menjauh dari Mely.Amar memaksa Ayu untuk masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Ayu menggigit tangan Amar hingga laki-laki itu mengaduh dan melepaskan tangannya dari mulut Ayu."Kamu apa-apaan sih, Mas? Kalau aku kehabisan napas gimana? Sengaja kamu mau bunuh aku, terus nikahin perempuan itu?" sentak Ayu membuat Amar nyaris ingin memukul Ayu jika saja pintu lift tak buru-buru terbuka.Amar menyeret Ayu keluar dari gedung rumah sakit. Ayu meronta hingga orang-orang yang melihat mereka merasa was-was jika saja Amar akan melakukan hal buruk pada Ayu."Kamu gak usah ng
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"