Keringat dingin mulai bercucuran di dahi sempit Amar. Mely menatap Ayu dan Amar secara bergantian."Mar, apa maksud perempuan ini? Kamu selingkuh?""Heh! Kamu wanita hamil, ngapain sok akrab sama suamiku? Apa jangan-jangan, kamu juga dihamili sama dia, ya? Sama kaya aku?"Amar langsung membungkam mulut Ayu dan menyeretnya menjauh dari Mely yang melongo di tempatnya."Jangan dengerin dia, Mel. Ini salah paham," ucap Amar seraya menjauh dari Mely.Amar memaksa Ayu untuk masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Ayu menggigit tangan Amar hingga laki-laki itu mengaduh dan melepaskan tangannya dari mulut Ayu."Kamu apa-apaan sih, Mas? Kalau aku kehabisan napas gimana? Sengaja kamu mau bunuh aku, terus nikahin perempuan itu?" sentak Ayu membuat Amar nyaris ingin memukul Ayu jika saja pintu lift tak buru-buru terbuka.Amar menyeret Ayu keluar dari gedung rumah sakit. Ayu meronta hingga orang-orang yang melihat mereka merasa was-was jika saja Amar akan melakukan hal buruk pada Ayu."Kamu gak usah ng
Saat ini, Amar sedang berada di dalam kamar Ayu. Tadi, setelah Salma mengatakan hal-hal yang nyaris membuat Amar curiga, Ayu langsung berpura-pura merasakan sakit pada perutnya.Salma hanya bisa tersenyum remeh melihat aksi adiknya itu. Saat Amar sigap membantu Ayu untuk masuk ke dalam kamar, sudah tak ada lagi rasa cemburu yang Salma rasakan."Usap terus, Mas. Ini mungkin anaknya ngambek gara-gara papanya curigaan terus sama mamanya," ucap Ayu sembari menggerakkan tangan Amar untuk terus mengusap perutnya."Bukan begitu, Ayu. Aku, kan juga lagi pusing dengan semuanya. Apalagi tadi kamu yang tiba-tiba marah-marah gak jelas sama Mely. Sampai sekarang aku masih kepikiran, gimana kalau Mely tahu bahwa aku selingkuh. Bisa gawat."Ayu menghentikan tangannya yang tadinya bergerak. Posisi tidurnya yang semula miring ke kiri, kini jadi terlentang menghadap ke arah Amar yang memang pahanya menjadi alas kepala Ayu."Gawat gimana, sih, Mas?""Kamu tahu, gak, di kantor tempat aku kerja itu ada atu
Ayu mengunci diri di dalam kamar setelah Amar menemukan tanda merah di lehernya tadi. Tanpa menjawab pertanyaan Amar, Ayu langsung lari dan mengunci pintu kamarnya. Tak peduli saat Amar terus saja berteriak dan memukul pintunya kuat-kuat.Ayu berterima kasih pada waktu yang sudah cukup siang. Sebab, akhirnya Amar pergi bekerja karena jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Jam kerja kantor akan dimulai pukul setengah delapan."Sial! Kenapa tadi gak gue pakein concelar, sih! Kalau gini, gue mesti jawab apa nanti? Emang dasar brengsek si Arjun. Ngasih cuma sejuta, mintanya yang ekstra plus-plus," gerutu Ayu.Tiba-tiba saja perut Ayu berbunyi. Memang, sejak semalam, Ayu belum mengisi perutnya sama sekali. Uang dari Arjun yang rencananya akan ia pakai untuk makan-makan di luar, nyatanya belum sempat ia gunakan.Ayu membuka pintu kamarnya secara perlahan. Mula-mula, ia hanya mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. Melihat situasi di luar kamar yang ternyata begitu sepi.Salma memang sudah pergi
"Silakan masuk," ucap seorang wanita berumur empat puluhan yang tengah duduk di kursi kebesarannya sembari menanda tangani beberapa berkas di atas meja."Permisi, Bu Marwa." Muncul seorang perempuan hamil dari balik pintu dan setelah masuk ke dalam ruangan, wanita itu kembali menutup pintu."Oh, Bu Mely. Silakan duduk."Wanita bernama Marwa itu pun mempersilakan Mely untuk duduk. Ia juga menutup semua berkas-berkas yang tadi sedang ia tandatangani."Ada apa Bu Mely menghadap kepada saya? Apa ada masalah di divisi yang anda pimpin?"Wanita bernama Marwa itu sangatlah anggun dan tegas secara bersamaan. Pembawaannya yang tenang justru membuat semua orang semakin segan padanya."Tidak ada, Bu. Saya kemari hanya ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin ini memang tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. Tapi, saya rasa ini cukup penting untuk Bu Marwa ketahui. Bahwasanya, ada salah satu karyawan di perusahaan ini yang sudah memboh
Ayu mendudukkan diri pada sofa, lalu diikuti oleh bu Asih yang tampak terengah-engah karena emosi. Belum lagi tadi ia harus jalan kaki dari jalan besar setelah menaiki angkot, sebab ia tak lagi punya pegangan uang."Jangankan Ibu, aku aja cuma dikasih dua juta sama mas Amar, padahal biasanya empat juta.""Nah, itu kamu masih enak dikasih segitu. Bagi Ibu kenapa, Yu?""Enak aja! Kemarin Ibu juga udah ambil tabungan Ayu, ya, sampai Ayu harus rela jual-" ucapan Ayu terpotong saat ia menyadari sesuatu."Jual apa, Yu? Kamu habis jual apa?"Tiba-tiba Amar datang dari dalam. Ayu bersyukur dalam hati karena ia tak melanjutkan ucapannya tadi. Bisa perang dunia kalau sampai ia keceplosan sudah jual diri pada Arjun."Iya, Yu, jual apaan kamu?" tanya bu Asih yang juga ikut penasaran, sama seperti Amar."Jual apem, deh, kayanya," sahut Salma yang juga baru saja keluar dari dalam. Kini, Salma berjalan santai menuju kamar untuk mengamb
Kini, di rumah Salma hanya tersisa Ayu dan bu Asih. Amar sudah berangkat ke kantor dan Salma juga sudah berangkat ke salon karena ada sesuatu yang harus ia lakukan.Ayu menangis tersedu di dalam kamarnya dengan bu Asih yang mengusap-usap punggung anak satu-satunya itu."Tenang dong, Yu. Ibu yakin, Amar gak akan bisa berpaling dari kamu begitu saja. Amar itu udah cinta mati sama kamu," ucap bu Asih mencoba membuat Ayu berhenti menangis."Kalau cinta mati, harusnya dia tidak sampai mengangkat tangannya, Bu. Dia juga udah mulai pelit dan kurang perhatian sama aku. Gimana kalau aku diceraikan sama mas Amar?"Tatapan Ayu tampak sekali jika ia tengah takut dan cemas. Bagiamana tidak, ia takut jika kemarahan Amar membuat laki-laki itu berpikir pendek dan mungkin saja menceraikannya.Ayu belum siap menjanda, apalagi kini ia tengah berbadan dua."Tidak akan mungkin, Ayu. Di dalam perut kamu itu ada benih dia, calon anak yang sudah lama dinantikannya, mana mungkin dia tinggalkan begitu saja.""T
"Gimana, Yu, udah kamu kasih di depan pintu?" tanya bu Asih pada Ayu yang baru saja kembali dari dapur untuk mengembalikan botol minya goreng."Beres, Bu. Pokoknya rencana ini harus berhasil. Mbak Salma gak boleh melahirkan anaknya mas Amar atau aku bisa saja tersisihkan."Bu Asih mengangguk menyetujui. Kini, mereka hanya menunggu kepulangan Salma dari salon. Biasanya, ia pulang tak terlalu sore. Ayu dan ibunya pun memutuskan untuk menonton televisi bersama."Tapi, Yu, emang beneran yang di HP Salma tadi? Kamu ada main sama laki-laki lain?"Setelah sekian lama menahan rasa penasaran, akhirnya bu Asih menyanyakan hal itu juga pada Ayu."Mau gimana lagi, Bu. Aku butuh uang. Kan, waktu itu semua uangku udah Ibu ambil buat bayar utang. Aku niatnya cuma mau pinjem aja sama si Arjun, tapi dia bilang boleh gak dibalikin, bahkan dikasih bonus kalau aku mau melayani dia."Bu Asih sebenarnya tak habis pikir dengan anaknya itu. Tapi, diriny
Ayu melotot ke arah Nadya. Keduanya kini saling berhadapan. Nadya tanpa rasa takut menatap tajam kakak ipar keduanya itu. Sedangkan Ayu, meskipun ia sebenarnya tak takut pada Nadya, tapi kali ini ia terlihat cukup gugup. Sebab, ia tak ingin ketahuan jika sudah memasang jebakan untuk Salma yang pada akhirnya justru mencelakai Amar."Kalau ngomong itu jangan sembarang, ya. Udah kaya kucing berak aja kamu. Emangnya, kamu pikir aku gak rugi apa kalau mas Amar sakit!"Nadya tersenyum miring. Tanpa berniat memancing, akhirnya Ayu secara tidak sadar mengakui kedoknya sendiri."Jadi bener, kan, apa yang aku pikirin selama ini? Kamu itu cuma ngincer uangnya kakakku aja. Nyatanya, di saat mas Amar sakit begini, kamu malah mikirin rugi untung."Ayu yang baru menyadari kesalahannya pun menatap ke segala arah untuk menghindari berkontak mata dengan Nadya.Sadar jika anaknya tak mampu melawan gadis seperti Nadya, bu Asih pun ikut angkat bicara.
Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter
Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p
Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.
Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya
Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu cepetan datengin tuh, mbak Salma dan minta hak kamu dari sebagian mobil itu.""Iya, Yu. Sabar kenapa, sih. Sah cerai juga baru satu jam yang lalu, kamu udah mencak-mencak aja," jawab Amar kesal karena sedari keluar dari gedung pengadilan tadi, Ayu tak henti-hentinya mengoceh."Gimana gak mencak-mencak, kamu udah bohongin aku. Katanya kamu bakal dapat separuh dari semua harta punya mbak Salma. Tahunya cuma mobil, itupun harus dibagi dua. Kamu juga bikin aku malu di depan orang-orang waktu mbak Salma bilang kalau harta kamu yang ada di rumah itu cuma satu rak sepatu plastik." Ayu melengos lagi, kesal jika mengingat kejadian beberapa saat lalu di dalam persidangan."Ya mau gimana lagi, memang cuma itu yang aku beli dari uangku. Kan, kamu yang lebih banyak merasakan uang gajiku, bahkan orang tua dan adikku saja kalah denganmu.""Itu memang sudah kewajiban kamu ya, Mas. Berani nikahin ya harus mau nafkahin," sahut Ayu t
Bu Asih terus saja menggerutu meskipun bu Anis sudah pergi dari hadapannya. Tadinya, ia berpikir jika ia akan mendapatkan uang ratusan juta dari bu Anis dan masih bisa untuk memintanya lagi kemudian hari. Namun, kenyataan pahit justru ia dapat.Jangankan untuk memerasnya terus menerus, saat ini saja ia hanya mendapatkan secuil dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.Karena kesal, bu Asih memilih untuk pergi ke rumah Amar setelah tahu kini Ayu tinggal disana."Yu... Ayu!" teriak bu Asih saat melihat pintu depan rumah Amar terbuka. Tak lama kemudian, Ayu keluar dari kamar dan menyambut sang ibu."Kenapa sih, Bu, kok teriak-teriak?""Ibu tuh lagi kesel tahu, gak?""Ya mana aku tahu.""Ibu kesel sama ibu kandungnya Salma." Ucapan bu Asih membuat Ayu menatap ibunya heran."Ibu kandungnya mbak Salma? Ibu udah ketemu sama dia?""Iya. Rupanya dia sekarang udah jadi orang kaya. Dulu aja buat bayar biaya lahira
"Uhuhu... benar, kan, dugaanku. Kalau bos muda ini pasti lagi kasmaran. Gak biasa-biasanya lihat mukanya ceria begitu. Dan apa aku tadi gak salah dengar? Anak SMA? Wow! Seleramu bagus juga, pilih yang seger-seger."Haris menepuk bibir teman sekaligus bawahannya itu hingga membuat pekikan kecil dari mulut lelaki di depannya."Hati-hati kalau ngomong. Eh, tapi bener juga, sih ." Tawa menguar dari mulut keduanya."Semoga sukses, Bos. Aku udah bosen lihat kamu terus-terusan sedih kalau lagi keinget dia."Tawa yang semula terdengar renyah itu kini berangsur menghilang. Rio yang melihat perubahan pada wajah Haris pun merasa tak enak."Ngopi aja, yuk. Kali ini, biar karwayan ini yang traktir. Bos cukup pesan dan menikmatinya.""Gas lah!"Nadya sampai di depan rumah milik ibunya. Ia berdecak kesal karena Amar tak menutup pintu rumah mereka padahal di dalam terlihat sangat sepi."Kebiasaan banget gak pernah nutup pintu,"