Cahya memang sakit hati, tetapi ia tidak buta akan cinta. Dia masih memiliki akal sehat untuk berpikir dengan jernih bagaimana sebaiknya sikap bersikap dengan Hardian yang sudah semena-mena dengannya. Jika ditanya Apakah ia masih cinta, tentu saja. 7 tahun bukanlah waktu yang singkat dalam menjalin hubungan rumah tangga. Banyak suka duka yang mereka lewati bersama dan itu kandas begitu saja akan hadirnya orang kedua yang sudah benci dimadu dalam hidup suaminya."Kamu sedih, Ya?"tanya sang ibu saat melihat anaknya terdiam setelah kejadian tadi. Cahya memang memilih diam dan fokus menyetir daripada marah tidak jelas yang mengakibatkan kerugian pada dirinya sendiri."Buat hal tadi?" tanya Cahya sambil tersenyum getir."Ibu saja yang melihatnya sangat marah. Bisa-bisanya suamimu melakukan halnya sejahat itu kepada wanita yang sudah menemaninya dari nol sampai seperti sekarang ini," gerutu Gayatri. "Kenapa kamu tidak menunggu saja bertemu datang biar tahu kelakuan anaknya yang sangat keter
Cahya tertarik dengan obrolan yang sedang Mentari adukan. Pembahasan mengenai Silvi yang datang lebih menarik daripada tumpukan pekerjaan yang sedang ia kerjakan di depannya.Ya, Cahya sengaja melamar pekerjaan sebagai guru di taman kanak-kanak. Ia sengaja melamar pekerjaan menjadi guru karena itu memang cita-citanya sedang dulu. Meski hanya honorer, tetapi ia merasa nyaman kerja di sana. Bahkan meski ia kuliah mengambil jurusan manajemen bisnis, tetapi sikap cintanya kepada anak-anak tidak pernah hilang sampai kini ia telah menikah dan hendak menjadi janda."Lalu?" tanya Cahya serius."Ye ... kepo ya?" kelakar Mentari."Kagak. Karena kamu cerita begitu semangat ya ... aku dengerin juga harus yang semangat. Biar kamu tidak meleot dan sedih saat aku tidak mendengarkan," sahut Cahya mulai berlagak santai. Padahal hatinya memang penasaran akut, akan informasi yang Mentari sampaikan."CK! Segitunya. Ya dah deh, kagak jadi cerita," ucap Mentari jengkel."Oke oke, aku kagak bercanda lagi.
"Sidang perceraian kamu kapan, Hardian?" tanya Marta saat datang berkunjung ke rumah Hardian."Lusa kayaknya. Kenapa, Bu?" tanya Hardian yang baru saja bangun tidur. Hari Minggu ini Ia memang sedikit bersantai karena tidak berangkat bekerja dan ia memilih bangun lebih siang karena ingin istirahatkan tubuhnya yang lelah bekerja selama satu pekan."Mau kamu percepat?" tanya Marta."Bukan Hardian. Tapi Cahya sendiri yang mengurus semua proses sidang dan meminta pengacaranya mungkin untuk mempercepat jalannya persidangan ini. Sengaja Hardian membiarkan Cahya yang mengurusnya karena perceraian ini memang keinginannya. Hardian manut saja lah," ucap Hardian santai."Nggak bisa begitu dong, Mas. Kamu harus menuntut hak gono gini dahulu nanti. Katanya Cahya punya usaha laundry, mana? Kemarin Silvia cek ke sana, Silvia tidak menemukan Cahya. Bahkan seorang wanita mengatakan jika dirinya adalah bos di tempat itu. Apa mungkin Cahya sudah menjual usahanya dan pergi jauh dari kota ini?" tanya Silvi
Marta yang awalnya menyetujui saran Silvi dan Hardian untuk merestui hubungan keduanya, kini merasa ragu setelah melihat sifat Silvi yang seakan ingin merebut apa yang sudah ia peroleh."Bu. tidak perlu berbicara pakai emosi kita bisa berbicara dengan baik-baik dan mengkomunikasikan ini dengan kepala dingin. Sidang perceraian Hardian saja masih lusa dan pembagian harta gono gini belum jelas seberapa yang akan Hardian dapatkan. Setelah itu barulah kita memikirkan langkah apa yang harus kita kerjakan untuk menata semuanya kembali dengan lebih mudah kedepannya," sela Hardian. "Silvi, tolong berbicara lebih sabar ketika dengan Ibu, karena beliau ini adalah orang tua kita. Selayaknya kita sebagai anak itu menghormati. Minta maaflah!" lirih Hardian pada Silvi.Tentu saja Silvia kesal karena suaminya membela ibunya di depannya namun jika ia memberontak dan melawan maka bisa jadi sidang keputusan besok Hardian menolak untuk mengurus dan melanjutkan perceraian dengan Cahya."Baiklah. Maaf, ya,
"Cie ... yang udah resmi jadi janda. Traktir makan-makan dong. Masa iya kebahagiaan dirasakan sendiri, bagi-bagi lah pada kawanmu ini," ucap Mentari."Iya nih, Ya. Kita makan-makan yuk di restoran yang baru buka di cabang kota itu loh. Restoran AgaYumi kayaknya kalau nggak salah," ajak Rio."Restoran mahal yang ada di samping Mall Elite Plaza?" tanya Cahya."Iya. Restoran itu cabang dari restoran terkenal di Senayan. Tahu gak?""Nggak!" jawab Cahya jujur."Pokoknya kamu harus traktir kami makan di restoran itu. Oke?" desak Rio.Cahya memang minta ditemani oleh kedua sahabatnya Rio dan Mentari untuk hadir di persidangannya. Hari ini ia sudah resmi menjadi janda setelah Hardian mengiyakan permintaan Cahya berpisah di persidangan akhir. Tentu awalnya Cahya berharap jika Hardian datang meminta maaf serta mau bermediasi untuk meluruskan semua yang sudah terjadi. Namun sejak keluar dari rumah itu, Hardian tidak pernah mengklarifikasi bahkan mencoba untuk menemuinya dan meminta maaf, sehingg
Hardian hanya menurunkan Silvia dan ibunya di rumah karena ia memilih pergi setelah mengantar keduanya di rumah masing-masing."Mau ke mana, Mas? Katanya tadi ngantuk dan lelah pengen istirahat di rumah. Tali kok malah pergi lagi?" tanya Silvia penuh rasa penasaran."Mas mau ambil sesuatu yang tertinggal di kantor untuk dikerjakan di rumah. Sebentar saja, nanti Mas kembali lagi. Kamu bisa berbincang dahulu dengan ibu selagi Mas keluar.""Tapi, Mas ..."Hardian tidak mendengarkan panggilan Silvi. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan ingin menyusul Cahya yang sedang berpesta ria di restoran yang sempat tadi ia dengar tempatnya. Ia ingin meminta maaf secara langsung, agar ada kelegaan dalam hatinya. Setelah dari awal Silvia dan Marta melarangnya menemui cahaya, jika sudah bercerai begini pastilah keduanya tidak akan keberatan karena status yang sudah ditetapkan dalam persidangan perceraian tadi.Hardian menengok ke kanan dan ke kiri mencari meja di mana Cahya berada. Namun ia kaget ka
"Makasih, Pak, atas bantuannya," ucap Cahya saat Hardian sudah pergi dari restoran."Makasih buat hal yang memang harus saya lakukan karena dia memang melakukan kesalahan-kesalahan di kantor. Bukan hanya karena dia yang memutuskan menikah lagi," terang Hasbi.Waiters mengantarkan pesanan mereka. Rio dan Mentari sangat senang melihat makanan begitu banyak tersaji di atas meja. "Wah, tiap hari gini bisa gendut aku, Ya," celetuk Rio."Laki-laki gendut ya jelek, Rio. Lelaki tuh yang gantle, sangar, macho, maskulin, sixpack. Bukan gendut macam ibu hamil," protes Mentari yang tidak setuju Rio mengatakan hal tersebut."Gak apa. Gendut asal sehat, fine-fine aja. Ya nggak, Pak?" seloroh Rio pada Hasbi yang sedari tadi diam memainkan ponselnya."Papa!!" Panggilan seorang anak kecil berumur 6 tahun, membuat semuanya menoleh. Termasuk Cahya yang kaget melihat gadis kecil yang sangat manis menurutnya itu, mendekat setengah berlari pada Hasbi."Hei, Nau. Sama siapa, Sayang?" tanya Hasbi ramah sam
"Pak, ini nggak ver dong. saya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa saya dipecat?" tanya Hardian dengan wajah tanpa dosanya."Yakin?" tanya Hasbi memandang Hardian tajam."Yakin, Pak."Hasbi mengeluarkan sebuah map berisi catatan rincian keuangan yang digarap oleh salah satu karyawan baru di bagian keuangan."Kenapa hasil laporan keuangan bulan lalu tidak sesuai dengan laporan yang kamu buat dan laporkan kepada saya? Ini juga! Kenapa kamu membuat satu karyawan dipecat padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Ini juga! Kamu sudah menuliskan rincian yang salah tentang apa yang sudah dikeluarkan perusahaan sehingga perusahaan mengalami kerugian yang lumayan. Masih mengelak mau tanya apa salahnya? Perlu saya beberkan juga foto-foto tentang hubungan kamu dengan wanita yang bernama Silvia itu?" tunjuk Hasbi pada semua bukti yang ada di dalam map yang tadi ia tunjukkan pada Hardian. Tentu saja Hardian kaget karena melihat foto Silvia saat masih bersamanya dahulu, ketika menja